Halaman

Cari Blog Ini

November 11, 2025

Takut Mengkritik? Ya Sudah, Tertawa Saja!

Di negeri yang terlalu serius, tawa sering dianggap gangguan. Padahal, justru dari tawa-lah banyak kebenaran berani muncul. Ketika mulut dibungkam, meme yang berbicara. Ketika kritik dianggap makar, candaan berubah jadi peluru paling halus — tapi mematikan.

Sejarah membuktikan, rakyat kecil selalu punya cara cerdik untuk melawan kuasa. Dulu, orang menertawakan raja lewat kisah punakawan di panggung wayang. Sekarang, lewat video berdurasi 30 detik di TikTok. Bedanya cuma medianya, bukan semangatnya. Di balik tawa yang tampak receh itu, sering tersimpan keberanian untuk menyindir tanpa harus berteriak.

Meme politik, karikatur, plesetan nama pejabat — semua mungkin tampak sepele. Tapi di dunia yang alergi kritik, kelucuan semacam itu justru jadi bentuk perlawanan paling aman sekaligus paling efektif. Ia menyusup pelan-pelan, menyentuh nurani, lalu menancap di kepala. Kadang, bahkan penguasa ikut tertawa... mungkin tanpa sadar sedang ditertawakan.

Tentu saja, tidak semua humor lahir dengan niat subversif. Ada yang datang dari rasa frustrasi, ada pula sekadar untuk menghibur diri di tengah absurditas kebijakan publik. Tapi sering kali, humor jadi jembatan antara yang tak berani bicara dan yang tak mau mendengar. Ia melucuti jarak antara rakyat dan penguasa, bahkan ketika hubungan keduanya sedang renggang.

Menariknya, humor tidak butuh panggung megah. Ia hidup di warung kopi, di kolom komentar, di obrolan driver ojek. Bahasa satire rakyat itu bisa menelanjangi kebijakan yang tak masuk akal — tanpa perlu menulis laporan akademik. Satu kalimat lucu kadang lebih mengguncang daripada seribu orasi.

Mungkin karena itulah, penguasa yang takut pada humor biasanya juga takut pada rakyatnya sendiri. Sebab, tawa bukan cuma hiburan — tawa adalah tanda bahwa rakyat masih punya akal sehat. Dan akal sehat itulah, yang paling berbahaya bagi kekuasaan yang tak mau dikritik.

Jadi, kalau hari ini kita masih bisa menertawakan ketidakadilan, barangkali kita belum sepenuhnya kalah. Sebab perlawanan tak selalu datang dalam bentuk teriakan. Kadang, ia datang dalam bentuk tawa kecil — yang terdengar remeh, tapi mengguncang diam-diam.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar