Hari Sabtu sering terasa seperti
oase di tengah padang pasir panjang bernama rutinitas. Setelah lima hari
berjalan di bawah teriknya tanggung jawab dan debu pekerjaan, tibalah satu hari
yang memberi jeda — tempat kita meneguk air segar, menenangkan langkah, dan
mengingat kembali arah perjalanan. Sabtu bukan sekadar tanggal di kalender,
melainkan napas yang menandai bahwa kita masih manusia, bukan mesin.
Dalam pandangan psikologi, manusia membutuhkan “ritme pemulihan” untuk menjaga keseimbangan mental dan emosi. Tanpa jeda, produktivitas menurun dan stres meningkat. Karena itu, hari Sabtu berperan seperti mata air: kecil, tapi menyelamatkan. Ia menampung segala lelah yang tak sempat dituang sepanjang minggu, memberi ruang bagi kepala yang penuh rencana untuk sekadar diam.
Secara
biologis, tubuh kita pun mengenal waktunya sendiri. Pola tidur, hormon stres,
hingga energi otak beradaptasi dengan siklus kerja dan istirahat. Maka tak
heran jika Sabtu pagi terasa berbeda — jantung berdetak lebih tenang, langkah
lebih ringan, dan pikiran mulai menata ulang prioritas hidup. Dalam kesunyian
itu, kita seperti sedang minum dari sumur yang dalam: sedikit saja cukup untuk
menyegarkan jiwa.
Namun
oase bukan tempat untuk tinggal selamanya. Ia hanya perhentian, bukan tujuan. Hidup
tetap menuntut kita berjalan lagi, menghadapi hari-hari berikutnya. Justru
karena itu, Sabtu menjadi berharga: keindahannya ada pada kefanaan. Kita tahu
ia akan segera berlalu, tapi justru di sanalah kita belajar menikmati setiap
teguk waktu yang tersisa.
Barangkali,
Sabtu bukan sekadar hari libur. Ia adalah simbol bahwa dalam perjalanan hidup
yang gersang sekalipun, selalu ada kesempatan untuk berhenti sejenak, menatap
langit, dan berkata, “Aku masih sanggup melangkah.” Dan ketika matahari mulai
condong ke barat, kita sadar — tak apa berjalan lagi, karena kita pernah
singgah di oase yang memberi hidup.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar