Antara Polemik Aset dan Pertarungan Hukum yang Tak Kunjung Usai
Lahirkan kota lewat operasi sesar, kini induknya diusir dari rumah sendiri. Begitulah nasib Kabupaten Serang setelah enam kecamatannya dipaksa berpisah untuk membentuk Kota Serang pada 2007.
Delapan belas tahun berlalu, polemik aset tak kunjung usai: Pendopo bersejarah dipersoalkan, kantor pemerintahan diperebutkan, hingga delapan pulau di Teluk Banten ikut digugat. Konflik anak dan induk ini kian panas, meninggalkan pertanyaan besar: sampai kapan para pejabat temporer membiarkan drama ini tetap abadi?
Dari Provinsi Baru ke Kota Baru: Sejarah Pemisahan yang "Disesar"
Provinsi Banten resmi terbentuk pada tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.Penetapan Serang sebagai ibukota provinsi membawa konsekuensi logis: wilayah induk, Kabupaten Serang, harus “merelakan” sebagian tubuhnya dijadikan ibukota provinsi. Tujuh tahun kemudian, keluarlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 yang melahirkan Kota Serang dengan memisahkan enam kecamatan.
Pemisahan ini banyak disebut publik sebagai “persalinan sesar” —bukan kehendak alami masyarakat Kabupaten Serang, melainkan paksaan demi kepentingan administratif negara. Banyak suara warga kala itu yang mempertanyakan: mengapa Kabupaten Serang yang telah mapan harus diamputasi, sementara usianya sendiri beranjak lima abad?
Sejak itulah relasi induk–anak ini berjalan pincang. Pemkot Serang, sebagai anak kandung, kerap merasa pemberian aset dari induknya tidak pernah cukup. Sementara Pemkab Serang berdalih bahwa semua itu dilakukan berdasarkan aturan pemerintah pusat: penyerahan aset tidak harus seluruhnya, melainkan hanya sebagian sebagaimana diatur dalam undang-undang. Menyerahkan seluruhnya, malah akan menjadi pelanggaran amanat konstitusi.
Konflik Tahunan: Dari Pendopo ke Pulau
Konflik simbolik paling menonjol adalah soal Pendopo Bupati di jantung Kota Serang. Bangunan bersejarah ini, bagi Pemkab Serang, adalah rumah jimat yang tak ternilai harganya. Ia bukan sekadar kantor, melainkan representasi sejarah panjang Kabupaten Serang sebagai salah satu daerah tertua di Banten.
Namun bagi sebagian pihak di Kota Serang, keberadaan kantor-kantor Pemkab di wilayah mereka dianggap anomali. Seiring waktu, tuntutan agar semua aset dan kantor OPD diserahkan semakin keras. Perseteruan ini menjalar ke ranah publik, memicu komentar warganet hingga forum diskusi kampus. Banyak yang menyindir Pemkot Serang sebagai “anak durhaka” yang terus menuntut warisan induknya.
Belum selesai urusan darat, kini laut pun dipersoalkan. Delapan pulau kecil di Teluk Banten —Pulau Lima, Kubur, Pisang, Pamujan Besar, Pamujan Kecil, Panjang, Semut, dan Tunda— ikut digugat oleh Pemkot. Padahal, berdasarkan Permendagri Nomor 98 Tahun 2014, seluruh pulau itu jelas-jelas masuk wilayah Kabupaten Serang. Wakil Bupati Najib Hamas bahkan menyatakan, “Kami akan kibarkan Merah Putih di sana,” dan mempercepat kajian serta kerangka legal melalui OPD hingga ke Kementerian. Ini tidak emosi, tetapi pelembagaan hukum bahwa wilayah itu sah milik kabupaten.
Pertarungan Hukum: Permendagri vs Undang-Undang
Poin terpenting dari seluruh polemik ini adalah soal dasar hukum. Pemkot kerap bersandar pada Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 yang mengatur bahwa semua aset induk di wilayah anak harus diserahkan. Tetapi perlu diingat, regulasi itu lahir enam tahun sebelum terbentuknya Kota Serang, ketika transisi dan keberlanjutan suatu pemerintahan daerah pemekaran pasca pemberlakuan otonomi daerah harus diamankan.
Sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007, yang secara spesifik mengatur pembentukan Kota Serang, menyebut dengan tegas bahwa daerah induk menyerahkan sebagian aset kepada daerah hasil pemekaran. Frasa “sebagian” inilah yang menjadi kunci, sekaligus sumber api.
Dalam ilmu hukum, dikenal asas lex superior derogat legi inferiori (aturan lebih tinggi mengalahkan aturan yang lebih rendah) dan lex posterior derogat legi priori (aturan yang lebih baru mengalahkan aturan yang lama). Dengan asas itu, UU 32/2007 jauh lebih kuat daripada Kepmendagri 42/2001. Maka, Pemkab Serang sah secara hukum mempertahankan sebagian aset strategis dan simbolik.
Segelintir pengamat hukum di Banten, dan bahkan Tim Korsupgah KPK Wilayah II sekali waktu, sempat menyatakan alasan sejarah tidak cukup untuk mempertahankan aset seperti Pendopo. Tetapi argumentasi ini bisa dipatahkan: sejarah hanyalah bumbu, sedangkan hukum positiflah yang menjadi sandaran utama Pemkab. Sejarah memperkuat legitimasi moral, sementara UU 32/2007 memperkuat legitimasi legal.
Fakta Lapangan: Lebih dari 98 Persen Aset Sudah Diserahkan
Wakil Bupati Najib Hamas mengungkap bahwa hingga 2025, lebih dari 98 persen aset sudah diserahkan kepada Pemkot Serang. Klaim ini menunjukkan bahwa Pemkab telah menjalankan kewajiban hukumnya dengan maksimal.
Notulensi rapat bersama yang difasilitasi KPK pada 29 Desember 2022 juga mencatat dengan jelas: ada 12 aset yang diserahkan, dan 10 yang dipertahankan. Dari jumlah itu, dua aset sudah diserahkan (Disperta dan Rumah Dinas Sekda), dua sedang menunggu kelengkapan sarana prasarana (DKBPPPA dan Disdukcapil), dan sisanya antre menunggu terbangunnya kantor baru di Pusat Pemerintahan Kabupaten (PUSPEMKAB) Serang di Ciruas.
Dengan fakta ini, narasi bahwa Pemkab “menghambat” atau “merampas” jelas terbantahkan. Pemkab tidak menahan aset tanpa alasan, melainkan menunggu kesiapan infrastruktur baru agar pelayanan publik tidak terganggu.
Dimensi Sosial: Rakyat yang Jadi Korban (?)
Sayangnya, yang paling menderita dalam konflik ini adalah masyarakat. Ketidakjelasan status aset membuat pelayanan publik tidak maksimal. Banyak OPD Kabupaten masih berkantor di wilayah Kota, sehingga koordinasi pemerintahan terhambat. Pembangunan Puspemkab di Ciruas pun tersendat karena keterbatasan dana.
Alokasi dana besar yang diperlukan untuk membangun kantor baru justeru berebutan dengan kewajiban pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Sementara di sisi Kota Serang, energi yang habis untuk memperjuangkan aset seharusnya bisa difokuskan pada penataan kota, pelayanan masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup warganya.
Dimensi Politik: Pertarungan Ego dan Simbol
Konflik ini juga sarat nuansa politik. DPRD Kota Serang berkali-kali mendesak Pemkot untuk melaporkan Pemkab ke KPK, seolah ingin menunjukkan ketegasan. Sementara DPRD Kabupaten Serang berdiri di barisan induk, menguatkan narasi bahwa mereka sudah lebih dari patuh.
Di ruang publik, narasi “anak durhaka” semakin kuat. Media sosial dipenuhi komentar yang mengolok-olok Pemkot karena selalu menuntut tambahan aset. Di sisi lain, ada juga suara yang menuding Pemkab Serang terlalu defensif, menahan simbol-simbol lama demi gengsi. Sentimen ini membuat konflik semakin sulit didamaikan.
Dimensi Ekonomi: Rebutan Pulau yang Sarat Kepentingan
Delapan pulau di Teluk Banten bukan hanya soal simbol, tetapi juga soal potensi ekonomi. Pulau Lima, Pulau Pamujan Kecil (populer sebagai “Pulau Empat”) dan Pulau Pamujan Besar (dikenal wisatawan dengan sebutan “Pulau Tiga”) misalnya, memiliki potensi wisata bahari yang besar. Pulau Panjang dan Tunda yang memang telah dihuni entah sejak kapan bisa menjadi basis perikanan dan wisata alam berbasis budaya atau alternatif kreativitas ekowisata lainnya. Potensi ini membuat siapa pun yang menguasai pulau-pulau itu akan memiliki posisi strategis dalam peta ekonomi daerah.
Maka tidak mengherankan jika Pemkot Serang ikut “ngiler” merebutnya. Tetapi dasar hukum tidak berpihak pada mereka: batas wilayah laut sudah jelas diatur, dan semua pulau itu sah berada di wilayah Kabupaten Serang. Rebutan ini hanyalah memperpanjang daftar konflik anak–induk yang seharusnya sudah bisa diselesaikan.
Jalan Rekonsiliasi: Mengembalikan Marwah Otonomi
Di tengah konflik panjang ini, publik berharap ada jalan rekonsiliasi. Pemprov Banten, sebagai payung kedua daerah, seharusnya mengambil peran lebih aktif sebagai mediator solutif yang mengedepankan keadilan. Pemerintah pusat, melalui Kemendagri dan KPK, juga perlu memastikan bahwa kesepakatan yang sudah dicatatkan benar-benar dijalankan tanpa tafsir sepihak.
Penyelesaian bukan sekadar soal aset, tetapi juga soal marwah. Pendopo Bupati, misalnya, tidak bisa dilihat semata sebagai bangunan fisik, melainkan sebagai memori kolektif Banten. Menyerahkan pendopo sama dengan memotong leher identitas induk. Padahal sudah terang benderang ius constitutum memberi ruang sebagian aset memang boleh dipertahankan.
Penutup: Ironi Anak–Induk yang Tak Berujung
Konflik Kabupaten dan Kota Serang adalah potret paradoks otonomi daerah. Induk yang melahirkan justru terusir, anak yang dilahirkan tak pernah puas. Dari daratan hingga lautan, dari pendopo hingga pulau, perebutan aset ini menelanjangi wajah politik lokal yang masih sibuk dengan warisan, alih-alih menciptakan masa depan.
Jika tidak segera diselesaikan dengan kepala dingin dan hukum sebagai panglima, sejarah hanya akan mencatat tragedi: induk yang melahirkan dipinggirkan, anak yang lahir selalu menuntut. Pada akhirnya, masyarakatlah yang paling menderita.
Hukum harus ditegakkan, identitas harus dihormati, dan rekonsiliasi harus dipilih sebagai jalan pulang. Karena tanpa itu semua, ironi Serang akan terus menjadi luka terbuka lintas generasi dalam sejarah Banten.***
terdengar seperti seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya
BalasHapusFYI: Rakyat yang lahir di kabupatennya/kota/prop sendiri aja menjadi tamu di negerinya sendiri, dari penerimaan karyawan pabrik sampai ke sendi sendi kekuasaan saja SDMnya kebanyakan dari luar daerah maka pribumi terpinggirkan. Jika "Vox populi, vox dei", apakah suara rakyat masih sebagai suara Tuhan ? Aje kendorr ya ngendoor
BalasHapus