Lalu jadilah dunia kerja seperti panggung sinetron: ada yang sungguh-sungguh berperan, ada yang hanya numpang eksis di layar, dan ada juga yang tak punya peran jelas, tapi selalu ingin muncul di setiap episode.
Fenomena ini bukan cuma soal individu, tapi soal kultur. Dalam banyak kantor, loyalitas sering lebih dihargai daripada kompetensi. Orang yang “patuh” lebih cepat naik jabatan daripada yang “pintar tapi terlalu kritis.” Akibatnya, organisasi dipenuhi para yes man yang lihai berkata “baik, Pak” meski dalam hati bergumam “nggak masuk akal, Pak.”
Sebagian
orang akhirnya belajar seni bertahan hidup: bekerja secukupnya, bicara
seperlunya, dan tersenyum sebanyak-banyaknya. Sebab di kantor, senyum bisa jadi
mata uang sosial yang lebih berharga dari performa.
Tentu
saja, tidak semua begitu. Masih banyak pekerja idealis yang sungguh-sungguh
ingin berkarya. Tapi mereka sering tampak seperti atlet lari yang harus
berkompetisi dengan orang yang naik motor matic —kecepatan bukan lagi soal
kemampuan, tapi akses.
Kondisi
ini menciptakan ketimpangan emosional: yang rajin merasa lelah, yang malas
merasa aman. Padahal, kalau semua pihak mau jujur, organisasi yang sehat bukan
diukur dari seberapa banyak aturan dibuat, tapi seberapa banyak orang yang
merasa punya makna di dalamnya.
Jadi,
sebelum menyalahkan generasi muda karena “kurang loyal,” mungkin kita perlu
bertanya dulu: apakah lingkungan kerja kita masih layak untuk diloyalkan?
Karena kalau kantor sudah lebih mirip drama daripada tempat berkembang, siapa pun akan belajar satu hal penting: bekerja bukan lagi soal kontribusi, tapi tentang bagaimana tetap waras di tengah absurditas yang dilembagakan.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar