“Konon.” Kata sederhana ini sering kali menjadi pintu masuk ke banyak cerita sejarah. Kita mendengar bahwa bangsa A dahulu membangun kota megah di tepi sungai, konon raja mereka punya ribuan pasukan, konon ada tradisi yang diwariskan turun-temurun. Tapi kata “konon” juga menjadi tanda tanya: seberapa jauh cerita itu benar, seberapa banyak mitos yang menyelinap, dan seberapa besar bagian yang hilang tanpa bisa diverifikasi?
Sejarah dunia, sejak manusia mengenal tulisan, penuh dengan “konon” semacam itu. Mesir kuno, Mesopotamia, Yunani, hingga peradaban Amerika pra-Kolumbus —semuanya meninggalkan jejak, tapi jejak yang kadang patah-patah, bolong, atau bertumpu pada satu-dua sumber yang masih diperdebatkan. Tidak jarang, pengetahuan kita tentang masa lalu lebih mirip puzzle yang keping-kepingnya tercecer dan sebagian sudah hancur.
Namun, di tengah lanskap sejarah dunia yang rapuh itu, sejarah Islam sejak abad pertengahan tampil berbeda. Ia hadir bukan hanya sebagai kumpulan kisah, tetapi juga catatan yang terjaga dengan disiplin. Dari tradisi pencatatan hadis, arsip administrasi kekhalifahan, hingga literatur ilmu pengetahuan, kita menemukan sesuatu yang relatif jarang di peradaban lain: kesinambungan sumber.
Ambil contoh periwayatan hadis. Bukan sekadar cerita dari mulut ke mulut, melainkan sebuah sistem yang memeriksa rantai perawi (isnād) dengan ketat. Siapa meriwayatkan dari siapa, apa reputasinya, bagaimana akhlaknya —semua diteliti. Sehingga, satu kalimat yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad ﷺ tidak sekadar diterima karena “konon beliau pernah bersabda,” melainkan diverifikasi secara metodologis. Bandingkan dengan legenda Yunani, Romawi atau kisah raja-raja Mesir, yang kita terima nyaris tanpa tahu siapa yang pertama kali menuliskannya.
Selain itu, bahasa Arab sebagai medium utama Islam punya peran besar. Berbeda dengan banyak bahasa kuno yang hilang, punah, atau berubah sampai tak terbaca, bahasa Arab Al-Qur’an tetap hidup dan bisa dipelajari secara global hingga hari ini. Meskipun dalam perkembangannya mengalami perubahan tulisan dan bahasa, masih banyak ahli yang mampu membaca teks-teks Islam klasik —dan makna aslinya pun relatif terjaga. Hal ini sangat jarang terjadi dalam sejarah. Sebagian besar teks dunia kuno hanya kita kenal lewat interpretasi berlapis, yang rawan salah tafsir maupun pemahamannya.
Kita juga melihat warisan dokumentasi administratif. Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, misalnya, memiliki tradisi arsip pajak, catatan surat-menyurat, hingga dokumen-dokumen hukum. Banyak yang masih bisa kita akses dalam bentuk manuskrip. Jika dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Eropa abad pertengahan, yang catatannya sering lenyap dalam perang atau hanya menyisakan kronik gereja, keutuhan dokumentasi Islam tampak menonjol.
Apakah sejarah Islam sempurna tanpa cela? Tentu tidak. Ada juga versi-versi yang diperdebatkan, ada bias politik, ada catatan yang hilang. Tetapi dalam perbandingan global, tingkat keterjagaan sumber Islam menempatkannya sebagai salah satu sejarah paling akurat di masa pra-modern.
Inilah yang membuatnya jadi pengecualian di tengah sejarah dunia yang “penuh konon.” Ketika kita berbicara tentang banyak peradaban lain, kita sering berkata “konon begini” atau “konon begitu.” Tetapi ketika berbicara tentang Islam, kita masih bisa membaca langsung teks abad ke-7 atau ke-8 Masehi, menelusuri rantai periwayatan, bahkan membandingkan manuskrip yang tersebar dari Andalusia hingga Asia Tengah.
Sejarah Islam, dengan segala dinamika dan perdebatan internalnya, setidaknya memberi kita satu hal yang langka dalam sejarah dunia: kepastian yang bisa diverifikasi. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya istimewa —bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami sejarah manusia dengan lebih jernih.
Kalau kita tarik lebih jauh, keterjagaan sejarah Islam tidak lahir begitu saja. Ia merupakan hasil dari sebuah kesadaran kolektif sejak dini bahwa “ilmu” harus ditulis, disimpan, dan diwariskan. Kesadaran itu berakar pada Al-Qur’an sendiri—kitab yang sejak awal ditulis, dihafal, dan dijaga. Dari situ lahirlah kultur ilmiah yang berbeda dibandingkan peradaban lain pada periode yang sama.
Dari Hafalan ke Manuskrip
Tradisi menghafal (ḥifẓ) di dunia Arab sudah ada jauh sebelum Islam. Puisi-puisi panjang dituturkan dari generasi ke generasi. Namun, setelah turunnya Al-Qur’an, hafalan bukan hanya seni, melainkan kewajiban religius. Ayat-ayat dihafal ribuan orang sekaligus, dan pada masa Abu Bakar, segera dibukukan secara resmi. Bayangkan: hanya berselang dua tahun setelah wafatnya Nabi, sudah ada upaya kodifikasi. Inilah yang membuat teks Al-Qur’an jauh lebih terlindungi dibandingkan dengan kitab-kitab suci lain yang proses kodifikasinya berlangsung ratusan tahun.
Dari titik ini, budaya menulis menguat. Hadis, tafsir, fikih, sejarah Nabi (sīrah), hingga catatan-catatan peperangan terdokumentasi. Awalnya masih berupa catatan pribadi, kemudian beralih menjadi kompilasi sistematis. Di abad ke-9 M, karya semacam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī atau Tarīkh al-Ṭabarī sudah beredar luas—sebuah pencapaian luar biasa jika dibandingkan dengan Eropa saat itu yang masih terjebak dalam “Dark Ages.”
Bahasa yang Stabil
Kekuatan lain adalah bahasa. Bahasa Arab, khususnya dalam bentuk fushā, terjaga konsistensinya. Ini bukan hal kecil. Bahasa Latin, misalnya, berubah dan terpecah menjadi Prancis, Spanyol, Italia, hingga akhirnya teks Latin klasik hanya bisa dipahami oleh segelintir akademisi. Sementara itu, karya ulama abad pertengahan Islam masih dapat dibaca mahasiswa Al-Azhar atau pesantren di Nusantara hari ini tanpa kehilangan makna substantifnya.
Bahasa yang stabil berarti makna tidak meleset jauh. Interpretasi boleh beragam, tetapi kata dasarnya tetap sama. Ini menjadikan sejarah Islam bukan sekadar dokumen kuno, melainkan teks hidup yang bisa diuji lintas zaman.
Disiplin Ilmiah dalam Periwayatan
Salah satu warisan paling unik Islam adalah ilmu al-jarḥ wa al-ta‘dīl —ilmu untuk menilai kredibilitas narasumber hadis. Bayangkan, abad ke-8 M sudah ada “biografi ilmiah” ribuan orang, lengkap dengan catatan reputasi, perilaku, kejujuran, dan kapasitas intelektualnya. Ini mirip dengan sistem peer-review akademik modern, hanya saja diterapkan pada tradisi oral.
Ilmu ini memungkinkan sejarawan Muslim memilah mana informasi yang valid, mana yang lemah. Jadi, alih-alih hanya berkata “konon Nabi bersabda,” mereka bisa menyatakan, “hadis ini diriwayatkan oleh A dari B dari C, dan A dikenal tsiqah (terpercaya).” Standar semacam ini jarang ditemukan di peradaban lain pada periode yang sama.
Infrastruktur Pengetahuan
Keakuratan sejarah Islam juga didukung oleh infrastruktur pengetahuan. Bayt al-Ḥikmah di Baghdad, misalnya, bukan sekadar perpustakaan, melainkan pusat penelitian dan penerjemahan. Manuskrip-manuskrip Yunani, Persia, dan India diterjemahkan, dikomentari, dan disimpan. Hasilnya, dunia Islam memiliki koleksi naskah raksasa yang berperan sebagai bank data sejarah.
Selain itu, wakaf (endowment) menjadi motor pendanaan. Universitas seperti al-Qarawiyyīn di Fez atau al-Azhar di Kairo hidup dari dana wakaf, memungkinkan generasi demi generasi melanjutkan tradisi menyalin, mengajar, dan menyimpan pengetahuan. Bandingkan dengan Eropa abad pertengahan, di mana buku begitu langka hingga harga sebuah manuskrip bisa setara sebidang tanah.
Perbandingan dengan Peradaban Lain
Mari kita letakkan dalam konteks global. Mesir Kuno meninggalkan piramida dan hieroglif, tetapi membaca hieroglif saja baru mungkin setelah ditemukannya Batu Rosetta (1799). Artinya, selama ribuan tahun, isi teks itu “terkunci”. Peradaban Yunani banyak kita kenal dari karya penulis Romawi, bukan langsung dari sumber Yunani. Plato dan Aristoteles bertahan, tetapi banyak karya lain hilang atau hanya tersisa fragmen. India kaya tradisi sastra, tetapi sebagian besar dalam bahasa Sanskerta kuno yang kini hanya dipahami segelintir pakar. Cina memiliki kronik yang relatif lengkap, tetapi seringkali terikat legitimasi dinasti.
Di tengah itu, Islam tampil unik: teks-teksnya masih bisa dibaca luas, metode periwayatan relatif ketat, dan dokumentasi administratif bertahan. Maka, tak berlebihan bila kita menyebutnya sebagai sejarah yang paling “terjaga” dalam periode pra-modern.
Kritik dan Catatan
Tentu, kita juga tidak boleh naif. Sejarah Islam bukan tanpa masalah. Ada konflik politik yang mempengaruhi narasi (misalnya perbedaan Sunni-Syiah dalam melihat peristiwa tertentu), ada pula manuskrip yang hilang karena perang dan invasi (perpustakaan Baghdad hancur pada 1258). Namun, dibandingkan dengan peradaban lain, ruang “rekonstruksi”-nya jauh lebih besar.
Yang menarik, perdebatan internal itu justru memperkaya. Karena masing-masing pihak terdorong untuk menuliskan versinya, maka semakin banyak dokumen yang bertahan. Ini berbeda dengan banyak kerajaan yang hanya meninggalkan satu versi resmi, lalu hancur begitu kerajaan itu runtuh.
Relevansi Bagi Kita
Mengapa semua ini penting? Karena sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang identitas. Banyak bangsa modern mencari legitimasi dengan menggali sejarah, tetapi seringkali yang didapat hanya “konon.” Islam, dengan catatan yang lebih terjaga, memberikan fondasi identitas yang lebih kokoh.
Lebih dari itu, keterjagaan sejarah Islam mengajarkan kita tentang pentingnya collective memory yang disiplin. Tidak cukup hanya menghafal, tapi juga menulis, memverifikasi, dan melestarikan.
Pada akhirnya, sejarah bukan hanya kumpulan data di lembar kertas, melainkan juga cermin tentang bagaimana manusia memahami dirinya. Dari Mesir hingga Mesopotamia, dari Yunani hingga Dinasti-dinasti Cina, kita melihat jejak yang kadang indah, kadang hancur, dan seringkali penuh “konon.” Sementara itu, Islam menampilkan wajah lain: sejarah yang relatif utuh, bahasa yang masih hidup, dan tradisi ilmiah yang memungkinkan kita menelusuri jejak masa lalu tanpa harus selalu berpegang pada desas-desus.
Apakah itu berarti sejarah Islam sempurna? Tidak. Tetapi justru di sanalah letak nilai reflektifnya. Keistimewaan sejarah Islam bukan pada klaim tanpa cela, melainkan pada kenyataan bahwa ia tetap bisa diuji, dikritisi, dan diverifikasi lintas zaman. Inilah yang membuatnya relevan bagi dunia modern yang haus akan kepastian di tengah banjir informasi.
Mungkin pertanyaan yang lebih penting bagi kita hari ini adalah: apa yang bisa kita pelajari dari keterjagaan itu? Satu jawabannya adalah kesadaran kolektif. Sejarah Islam tidak terjaga hanya karena ada satu-dua tokoh besar, tetapi karena ada jutaan manusia yang bersama-sama menghafal, menyalin, menulis, dan merawat. Dari para sahabat yang menghafal Al-Qur’an, ulama hadis yang menelusuri rantai periwayatan, hingga para penyalin manuskrip di perpustakaan Baghdad dan Kairo —semuanya membentuk jaring pengaman pengetahuan.
Dalam konteks kekinian, di mana informasi bergerak lebih cepat daripada kemampuan kita memverifikasi, pelajaran itu terasa semakin mendesak. Kita ditantang untuk tidak sekadar menjadi penerima pasif cerita sejarah baru atau narasi politik masa kini, tetapi juga menjadi penjaga yang kritis, sadar, dan bertanggung jawab.
Sejarah Islam yang terjaga mengingatkan kita: kebenaran memang bisa rapuh, tetapi ia bisa diperkuat dengan disiplin kolektif. Dan selama kita masih mau merawat memori bersama dengan kesungguhan yang sama, mungkin suatu hari nanti, generasi setelah kita tidak perlu lagi terlalu sering membuka cerita dengan kata “konon”.*** (Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar