Pernah
nggak kamu merenung di kamar mandi sambil megang sabun, terus mikir: “Ternyata hidup ini mirip sabun juga, ya?”
Kalau belum, berarti kamu terlalu cepat mandinya.
Sabun itu makhluk paling ikhlas di dunia. Tugasnya mulia: membersihkan kotoran. Tapi tiap kali berhasil, dia malah makin tipis. Jadi kalau kamu merasa hidupmu makin terkikis padahal selalu berbuat baik —tenang, kamu cuma sedang jadi sabun yang baik.
Ada juga sabun-sabun berkelas: bentuknya elegan, wanginya mewah, kemasannya eksklusif. Tapi begitu digosok, busanya banyak, hasilnya biasa aja. Mirip orang yang jago pencitraan —tampak hebat di luar, tapi di dalam ya begitu aja. Sementara sabun murahan di warung, bentuknya jelek, kadang penyok, tapi tetap bekerja dengan tulus tanpa perlu slogan “lembut di kulitmu.”
Dan coba pikir, sabun itu nggak pernah
protes dipakai bolak-balik, dicubit, jatuh ke lantai, bahkan dibelah dua biar
irit. Ia tetap diam, pasrah, dan rela hilang demi kebersihan orang lain. Ini
jenis pengabdian yang bahkan pengurus RT paling ikhlas pun belum tentu sanggup.
Lucunya, orang baru sadar pentingnya
sabun justru saat sabunnya nggak ada. Selama ada, ia dianggap remeh. Padahal
tanpa sabun, dunia bisa jadi tempat yang dipenuhi orang-orang yang pura-pura
bersih, padahal kotorannya cuma ngumpet di balik baju. Mereka saling menuduh siapa
yang paling kotor, sambil sok wangi sendiri. Tanpa disadari, semua sibuk tampil
kinclong di luar, tapi lupa mencuci yang di dalam.
Dan ketika sabun tinggal seupil, menempel
di rak kamar mandi, sering kita cuekin
begitu saja. Sudah tak layak dipakai, tapi tak tega juga buru-buru membuangnya.
Persis kayak sisa gajian tanggal tua —nggak cukup buat apa-apa, tapi bikin
tenang juga karena masih ada.
Jadi kalau ada orang yang merasa hidupnya kayak
sabun —selalu membersihkan tapi pelan-pelan habis— ingatlah: sabun aja rela
berkorban tanpa pamrih, tanpa pujian, tanpa pengakuan. Kamu gimana?***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar