Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 12, 2025

Looping, Rekreasi Harian yang Bikin Hidup Nggak Monoton

Subuh belum benar-benar jadi pagi ketika motor mulai melaju. Jalan masih sepi, udara dingin menampar wajah, dan hanya sesekali ada angkot kosong melintas dengan lampu sorot yang seolah ngajak duel. Jalur yang diambil —seperti biasa— yang paling cepat dan aman: lurus, efisien, tanpa kejutan. Tapi nanti sore, pulangnya, itu cerita lain. Karena seperti hari-hari sebelumnya, rencananya mau looping —semacam rekreasi kecil buat orang yang tabungannya belum cukup untuk piknik beneran.

Istilah looping di sini bukan istilah teknis yang rumit atau teori besar ciptaan pakar transportasi. Ia lahir dari kebiasaan sederhana: biar hidup nggak terasa bosan. Pergi lewat rute A, pulang lewat rute B. Sekilas remeh, tapi buat sebagian orang, hal kecil seperti ini bisa jadi bentuk rekreasi harian —cara murah meriah untuk merasa masih punya kuasa atas hidup yang kadang terasa dikendalikan jam kerja, kuota internet, dan cicilan.

Bukan perjalanan jauh, bukan pula petualangan besar. Sekadar pulang lewat jalur berbeda. Tapi dari kebiasaan kecil itu, ada sensasi yang sering bikin senyum sendiri. Kadang nemu warung kopi yang entah kenapa rasanya lebih enak padahal sama-sama sachetan. Kadang lewat jalan kampung yang bikin mikir, “Ini masih bumi atau udah dunia lain?” Atau sekadar melihat matahari tenggelam di tikungan yang dulu dikira cuma jalan buntu —tapi ternyata, ya… buntu beneran.

Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi, penemu konsep flow, bilang kebahagiaan muncul saat kita larut dalam kegiatan yang menantang tapi masih bisa dikendalikan. Mungkin itu juga yang terjadi saat looping —nggak cuma suasana baru, tapi juga perasaan baru. Ada flow kecil di antara getaran stang motor, suara bebek di kali yang keruh, dan ibu-ibu nyeberang yang tiba-tiba nongol di balik tikungan. Kadang malah muncul ide-ide jenius yang, sayangnya, langsung hilang begitu motor diparkir di rumah.

Dalam dunia sosial, perilaku seperti ini disebut micro-adventure —petualangan kecil di sekitar keseharian. Alastair Humphreys, penulis asal Inggris, bilang kita tidak perlu naik gunung atau pergi ke kota lain untuk menemukan hal baru. Cukup keluar dari kebiasaan, meski cuma sejauh tujuh belokan. Dan kalau salah belok? Ya, tanya aja GPS-nya baik-baik.

Looping bukan cuma cara ngusir bosan. Ia semacam strategi halus buat menipu rutinitas, supaya otak nggak terus-terusan protes, “Ini-ini lagi, ini-ini lagi!” Bahkan perjalanan pulang —ke rumah yang sama, dengan pemandangan berbeda— bisa jadi pelajaran kecil dari hidup itu sendiri: tujuan tetap, tapi jalannya selalu bisa kita pilih. Kalau tersesat sedikit, ya anggap aja bonus eksplorasi.

Menjelang magrib ini, perjalanan pulang bakal lewat rute lain. Mungkin sedikit lebih jauh, mungkin lebih lambat. Tapi nggak apa-apa. Dua bingkai dalam satu perjalanan bisa menampilkan dunia yang sama dengan wajah berbeda. Dan kalau ujung-ujungnya nyasar ke jalan buntu, ya tinggal putar balik aja —namanya juga looping.

Seperti kata Marcel Proust, “The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.” Barangkali looping hanyalah cara sederhana untuk menjaga mata tetap baru —melihat hidup dari arah berbeda, sambil tetap bisa pulang tepat waktu buat makan malam.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar