Perjalanan sejauh ±115 km ditempuh dalam 3 jam 45 menit, itu pun dengan dua kali berhenti: yang pertama untuk sarapan di warung kecil, sambil ngopi bareng pemotor yang sudah tiba duluan, dan yang kedua terpaksa ngopi lagi karena ada warung dengan pemandangan yang bagus, bukit hijau di seberang lembah yang tenang. Kopi-kopi itu terasa istimewa, bukan hanya karena aroma robustanya, tetapi karena ia menjadi sajian kecil menuju petualangan yang lebih besar.
Memasuki Citorek: Negeri Leuit di Kaki Pegunungan
Setelah menembus perkebunan kelapa sawit Rangkasbitung, jalanan berkelok dan medan naik turun arah ke "Negeri di Atas Awan" Gunung Luhur membawa kami masuk ke kawasan Citorek Timur. Sinyal ponsel hilang, memaksa kami kembali ke cara lama: berhenti dan bertanya. Dua sampai tiga kali bertanya warga, baru akhirnya kami menemukan petunjuk jalan yang benar. Dari samping Masjid Nurul Iman Citorek Tengah, rombongan belok kanan ke arah Citorek Barat — jalan menuju Kampung Cibedug.
Di kiri-kanan jalan, deretan leuit — lumbung padi tradisional masyarakat Banten — berdiri berjajar di pinggir sawah, seakan memberi penghormatan bagi siapa pun yang melintas. Di belakangnya, dinding hijau pegunungan menjulang. Ada rasa aneh yang menyelinap: seperti sedang memasuki halaman masa lalu, tempat waktu bergerak lebih lambat.
Disambut Sang Tetua
Kampung Cibedug menyambut kami dengan udara sejuk, suasana damai, dan rumah panggung berlantai kayu yang licin. Di sanalah kami bertemu Abah Asbaji, tokoh adat yang dengan ramah membuka pintu silaturahmi. Rumahnya adem, penuh nuansa kayu, seperti menyimpan rahasia masa lalu.
Selepas dhuhur, seorang warga memimpin doa bersama sebelum makan siang. Hidangan sederhana — ikan goreng, tumis jamur, jengkol, cabe rawit, dan rengginang — tersaji hangat. Nasinya — yang hampir pulen, hasil panen dari sawah dekat rumah, katanya. Rasa makan siang itu benar-benar berbeda; ada cita rasa kampung, ada aroma sawah, ada rasa syukur yang diam-diam meresap.
Menginjak Tanah Zaman Batu
Perut kenyang, hati riang. Kami dipandu penjaga situs menuju lokasi punden. Jalan setapak yang menajak membawa kami ke bukit kecil penuh lumut. Di sanalah punden berundak itu berdiri. Sunyi, sakral, dikelilingi pepohonan tua yang juga berlumut. Tadi di bawah, sebuah menhir besar yang disebut “Batu Paseuk” menyambut di pintu masuk, seakan menjadi penjaga dari masa lalu. Di sini di atas sini, “Batu Bedug”, Batu Kursi”, “Batu Sajadah”, dan banyak batu lainnya seperti menebar magis yang menarik ke dunia lain.
Punden berundak Cibedug diyakini berasal dari zaman megalitikum, sekitar 2500–1500 SM. Secara umum, bentuknya menyerupai piramida berundak (step pyramid), tetapi dibangun dengan teknik sederhana tanpa perekat. Ada sembilan teras berundak yang membentuk struktur ini, dengan undakan terbesar berada di bawah dan semakin mengecil ke atas. Situs Cibedug ini berarti sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum kerajaan-kerajaan legendaris di Tanah Sunda berdiri. Konsep punden ini diyakini menjadi cikal bakal arsitektur candi di Nusantara.
Menurut arkeolog, punden berundak adalah bentuk monumen yang mencerminkan konsep kosmologi masyarakat prasejarah. Setiap undakan diyakini memiliki makna yang melambangkan tingkatan dunia: dunia bawah (alam arwah leluhur), dunia tengah (tempat manusia hidup), dan dunia atas (tempat para dewa atau kekuatan supranatural).
Penelitian Balai Arkeologi menemukan bahwa batu-batu yang digunakan berasal dari sekitar situs, dipilih dengan cermat, dan ditata dengan teknik sederhana namun efektif. Hingga kini, belum ditemukan bukti penggunaan perekat, sehingga ketahanan struktur ini kemungkinan besar mengandalkan berat batu itu sendiri.
Sejumlah artefak dan struktur dari zaman Megalitikum, termasuk punden berundak (bangunan suci bertingkat), menhir (batu tegak), batu datar, dan dolmen (meja batu). Selain itu, ditemukan juga struktur sumur kuno, batu bergores (batu tulis?) yang diduga digunakan untuk ritual, serta batu-batu penanda lainnya seperti batu kursi, batu tumpeng, dan batu kesucian. Temuan ini mengindikasikan bahwa situs ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ritual, tetapi mungkin juga menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat setempat.
Masyarakat prasejarah yang membangun punden berundak meyakini adanya hubungan antara manusia, leluhur, dan kekuatan kosmis. Upacara ritual kemungkinan dilakukan di punden berundak sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang atau untuk memohon kesuburan tanah dan keselamatan.
Hingga kini, sebagian masyarakat sekitar masih menganggap situs ini keramat. Ada yang datang untuk berziarah atau melaksanakan ritual sederhana. Hal ini memperlihatkan kesinambungan tradisi penghormatan kepada leluhur dari masa lampau hingga sekarang.
Membayangkan undakan dilihat dari atas membuat saya takjub. Memandang dan merasakan langsung dari bawah lebih merinding lagi: bayangan sekelompok manusia zaman batu, dengan peralatan sederhana, memikul batu-batu besar, menyusunnya dengan tekun, seolah muncul di pelupuk mata. Di sinilah, ribuan tahun lalu, mungkin terdengar suara mantra, bau dupa dedaunan, dan dentuman alat musik batu. Di sinilah, mungkin ada upacara panen, pernikahan, bahkan penguburan leluhur.
Pulang Ditemani Gerimis
Matahari tak tampak lagi, bersembunyi di balik awan yang mulai kelabu. Sekitar pukul 14.40 WIB langit mendung, rintik-rintik gerimis mulai turun tipis. Kami pamit, kembali menuruni dan menaiki jalan berbatu, kali ini menuju Gajrug, Cipanas di mana salah seorang teman seperjalanan kami hendak melepas rindu kepada anak dan istrinya. Untunglah tak jadi hujan. Cuaca yang teduh membuat perjalanan pulang terasa syahdu. Di Gajrug kami berhenti lagi — tentu saja ngopi lagi.
Menjelang remang-remang, kami kembali memacu motor ke arah Rangkasbitung. Sempat berhenti shalat Magrib di Mushalla An-Nur Cijoro Pasir. Kali ini tak ada kopi, tapi sebatang Djisamsoe cepat sekali habisnya. Malam turun, lampu-lampu jalanan berlarian seolah melawan arah. Di kejauhan Kota Serang setia menunggu. Ada rasa puas bercampur letih saat akhirnya sampai di rumah.
Perjalanan ke Cibedug hari itu bukan sekadar momotoran santai. Ia terasa seperti perjalanan waktu — menembus ribuan tahun sejarah, berdiri di hadapan warisan nenek moyang, dan menyadari bahwa kita, di abad ke-21 ini, hanyalah kelanjutan dari doa dan kerja keras mereka. Punden berundak itu mengingatkan kita bahwa manusia selalu mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, sejak zaman batu hingga sekarang.
Dan entah kenapa, rasa kopi sore di Gajrug pun jadi terasa seperti persembahan kecil kepada semesta.***


Tidak ada komentar:
Posting Komentar