Halaman

Cari Blog Ini

September 15, 2025

Bertelanjang Dada dengan Bangga

Pernahkah Anda menatap foto-foto lawas dari abad ke-19, lalu merasa seperti melihat dua dunia yang sama sekali berbeda? Di satu sisi, para pejabat kolonial tampil gagah dengan jas rapi, rompi, sepatu mengilap, dan topi tinggi. Di sisi lain, orang Jawa duduk di tanah, berkain selembar, bertelanjang dada, rambut acak-acakan, dan kaki telanjang.

Sekilas, kontras itu seperti film hitam-putih tentang “peradaban versus keterbelakangan.” Tapi benarkah sesederhana itu?

Mari kita tarik napas sebentar. Ingat, ini era sebelum pabrik tekstil berproduksi masal. Di Jawa, kain adalah barang mewah. Untuk membuat satu lembar kain, kapas harus dipintal, ditenun, diwarnai —semuanya manual. Tidak heran kain dipakai sehemat mungkin. Satu kain bisa dipakai untuk upacara, kerja di sawah, bahkan tidur. Anak-anak? Ah, mereka sering dibiarkan telanjang bulat sampai cukup besar, bukan karena orang tuanya lalai, tapi karena baju terlalu berharga untuk dipakai main lumpur.

Sementara itu, orang Eropa sudah menikmati hasil revolusi industri. Pabrik tekstil di Manchester dan Belanda mencetak kain seperti mencetak koran. Baju menjadi murah dan melimpah. Mereka bisa ganti pakaian dua kali sehari. Jadi, wajar kalau di foto-foto kolonial, mereka tampak selalu rapi dan gagah.

Ironisnya, setelah teknologi tekstil masuk, kita jadi merasa wajib menutup tubuh dengan berbagai lapisan. Simbol status sosial pun bergeser. Dulu, dada terbuka adalah hal biasa —sekarang, salah kostum sedikit bisa bikin kita kehilangan percaya diri. Ada rapat daring saja, kita buru-buru pakai kemeja, meski di bawah masih sarungan😂.

Padahal, ada kebijaksanaan yang hilang di sana. Kita lupa bahwa nenek moyang kita dulu bisa berdiri tegak tanpa kemeja, percaya diri menghadapi matahari dan hujan. Tidak ada keinginan pamer, tidak ada kewajiban mengikuti “dress code.” Mereka bekerja, makan, beristirahat, semua dalam satu kesatuan yang apa adanya.

Foto-foto lama itu sebetulnya bukan cermin yang menuduh kita primitif. Mereka adalah pengingat: kita datang dari akar yang sederhana, dari masa ketika hidup tidak seribet sekarang. Kita bisa tertawa melihatnya, tapi juga merenung —apakah kita semakin modern, atau hanya semakin repot?

Tulisan ini tentu bukan ajakan untuk kembali berkain selembar sambil berjalan ke kantor. Namun, mungkin ini ajakan untuk mengingat bahwa harga diri kita tidak seharusnya tergantung pada label baju yang kita kenakan. Bahwa menjadi “beradab” bukan soal setelan baju, tapi bagaimana kita memperlakukan sesama.

Jadi, lain kali Anda melihat foto kakek buyut yang kurus bertelanjang dada sambil berdiri di tepi sawah, jangan buru-buru malu. Mungkin mereka sedang hidup lebih jujur, lebih ringan, dan lebih bebas dari tuntutan dunia yang sekarang membuat kita sering sesak napas —meskipun kita sudah memakai baju paling mahal.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar