Halaman

Cari Blog Ini

September 15, 2025

Jejak Kampung di Tengah Kota

Ada cara paling asyik mengenali wajah asli Kota Serang: naik motor atau sepeda, lalu biarkan roda membawamu masuk ke gang-gang sempit, kampung-kampung pelosok, dan jalan setapak yang sering luput dari pandangan orang yang cuma lewat jalan utama.

Sabtu pagi itu saya nyalakan “si kukut” —motor lejen yang sudah lama menjadi teman perjalanan, mengenakan jaket jeans yang sudah pudar warnanya, lalu melaju pelan dari kawasan Kepandean, Lontar Baru. Jalan protokol terasa sepi, saya berbelok ke jalan kolektor dan belok lagi ke jalan lokal. Masih cukup sepi, tetapi begitu masuk jalan lingkungan yang tembus ke gang kecil, saya seperti masuk ke dunia lain. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, bau tanah basah menyeruak, dan di kejauhan terlihat sawah dengan latar bukit menghijau. Ini Kota Serang? Serius?

Banyak orang mengira kota itu hanya deretan ruko, kantor pemerintahan, dan super market. Padahal, Kota Serang itu unik: di semua kecamatan masih banyak kampung dengan kebun, sawah, bahkan bukit-bukit kecil. Di Kasemen, saya melewati jalan yang membelah hamparan sawah, dengan latar Menara Masjid Agung Banten Lama di kejauhan. Di Taktakan, jalanan menanjak memberi pemandangan yang bikin betis memanas kalau pakai sepeda, tapi bikin hati adem. Di Cipocok Jaya, Walantaka atau Curug, suasana kampung terasa klasik: orang mencangkul kebun, penggembala kambing menyabit rumput, ibu-ibu menjemur padi. Bahkan di Kecamatan Serang, pusatnya kota ini, semua pemandangan kampung tak susah ditemui.

Di tengah perjalanan, saya teringat cerita tentang lahirnya Kota Serang, Provinsi Banten. Sebagai daerah pemekaran dari Jawa Barat, Provinsi Banten sendiri baru berumur tujuh tahun kala itu. Tahun 2007, Kota Serang resmi “dilahirkan” dari rahim Kabupaten Serang. Akta kelahirannya: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tertanggal 10 Agustus. Tapi kata para sesepuh, kelahirannya cukup dramatis, seperti bayi yang lahir lewat operasi sesar! Bukan karena ibunya siap, tapi karena keadaannya mendesak. Provinsi Banten waktu itu butuh ibu kota. Para pejuang pembentukan provinsi menginginkan Serang sebagai letak pusat pemerintahannya. Maka terpakasalah Kabupaten Serang dibedah sesar untuk melahirkan si jabang bayi yang imut, Kota Serang.

Namun seperti bayi sesar yang perlu penyesuaian, Kota Serang juga mengalami masa-masa merangkak dan teringsut-ingsut belajar berjalan sendiri. Pemerintahnya harus mencari identitas, membangun fasilitas, dan menata ruang yang tadinya bercampur dengan kabupaten. Itu sebabnya sampai sekarang kita masih bisa menemukan sawah luas di tengah wilayah yang namanya kota, hutan kecil yang belum tersentuh, bahkan jalan setapak yang seperti membawa kita ke masa lalu.

Sore hari, saya berhenti di sebuah warung kopi di pinggir jalan kampung. Kopi hitam mengepul di gelas sederhana, ditemani pisang goreng yang renyah dan sebungkus Djisamsoe. Dari kejauhan terdengar sayup suara azan magrib. Kota Serang terasa hidup, tetapi tidak tergesa-gesa.

Perjalanan seperti ini selalu memberi saya perasaan aneh: setengah nostalgia, setengah kagum. Kota Serang memang “anak sesar”, tapi justru itu yang membuatnya istimewa —ada jejak kampung di setiap sudut kota, ada hutan di antara gedung, ada bukit di belakang ruko, ada pesawahan mengelilingi perkantoran. Kalau nyadar, sebenarnya ini potensi lho!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar