Jalan itu meliuk-liuk seperti ular, sempit, menanjak, lalu tiba-tiba curam. Aspal sebagian mulus, sebagian lagi bopeng, sisanya tanah merah licin setelah hujan. Motor matic saya meraung seperti sedang protes, berjuang melawan gravitasi. Di tanjakan paling terjal, teman saya —yang maniak boncengan— sempat turun, mendorong sekuat tenaga sambil berharap tidak ada kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan. Begitulah, perjalanan menuju destinasi wisata seakan menjadi ujian: siapa yang lebih gigih, saya atau alam?
Dan justru di situlah letak kenikmatannya. Ada kepuasan tersendiri saat akhirnya sampai di puncak bukit, memarkir motor, dan disambut pemandangan 3600 yang seolah menjadi hadiah. Udara sejuk, hamparan sawah, kabut yang turun perlahan, spot-spot foto yang instagramable: jembatan gantung, kursi rotan berbentuk hati, dan tentu saja gardu pandang dengan pemandangan yang memukau—semuanya terasa seperti imbalan atas perjuangan.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam ilmu kepariwisataan, dikenal konsep tourist gaze —tatapan wisatawan yang mencari sesuatu yang berbeda dari keseharian. Dulu orang pergi ke alam untuk merasakan ketenangan. Sekarang, tidak sedikit yang pergi ke alam justru untuk “memproduksi” konten. Tidak salah, karena kebutuhan rekreasi memang berubah, dan tren pariwisata sudah bergeser. Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan penting: apakah kita sedang menikmati alam, atau secara perlahan menggerusnya demi kepentingan ekonomi?
Konflik antara konservasi alam dan pariwisata adalah cerita lama. Kepentingan ekonomi melawan kelestarian ekologi tak pernah benar-benar rukun. Di satu sisi, pariwisata memberi lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan memicu kreativitas warga lokal. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur wisata —mulai dari jalan, parkir, sampai kafe— sering mengorbankan ekosistem: pohon ditebang, tanah diratakan, satwa terusir. Konsep sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan mengingatkan kita bahwa kegiatan wisata seharusnya tidak merusak sumber daya untuk generasi mendatang.
Ada pertentangan yang nyata di lapangan. Pelaku usaha butuh lebih banyak pengunjung untuk menutup biaya investasi. Pemerintah daerah ingin pendapatan asli daerah naik. Wisatawan ingin kenyamanan dan akses mudah. Tapi alam? Alam hanya bisa memberi isyarat ketika daya dukungnya terlampaui: longsor, banjir bandang, atau hancurnya ekosistem.
Lalu, adakah jalan tengahnya? Ada. Teori carrying capacity (daya dukung kawasan) bisa menjadi panduan. Setiap kawasan wisata punya batas jumlah pengunjung yang mampu ditampung tanpa menimbulkan kerusakan berarti. Menghitung daya dukung ini tidak sulit jika ada kemauan. Pemerintah daerah bersama pengelola bisa menetapkan kuota harian, menyesuaikan fasilitas dengan lingkungan, dan mendorong wisatawan membayar tiket konservasi yang hasilnya digunakan untuk rehabilitasi lingkungan.
Selain itu, pelibatan masyarakat lokal menjadi kunci. Ketika warga ikut mengelola dan merasakan manfaat pariwisata, mereka akan lebih peduli menjaga hutan, sumber air, dan satwa liar. Contohnya, di beberapa desa wisata, warga membuat aturan larangan menebang pohon tertentu, menutup jalur pada musim tertentu, atau mengatur jadwal kunjungan demi menjaga habitat burung.
Akhirnya, kita sebagai wisatawan pun punya peran. Berwisata bukan hanya soal berfoto lalu pulang. Kita bisa memilih destinasi yang ramah lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, dan ikut mempromosikan tempat yang dikelola secara berkelanjutan. Karena percuma kita sibuk berburu konten jika suatu hari nanti yang tersisa hanya cerita: "Dulu di sini pernah ada air terjun."
Pariwisata dan konservasi tidak harus bermusuhan. Dengan kesadaran bersama, keduanya bisa berjalan beriringan —ibarat dua sisi mata uang— mendatangkan kesejahteraan tanpa menggadaikan masa depan alam.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar