Halaman

Cari Blog Ini

September 16, 2025

Bahasa Gaul Kekinian itu Bumbu atau Racun Budaya sih?

Ada sensasi yang selalu menarik setiap kali saya sengaja jalan kaki menembus kerumunan. Di satu sisi ada kelompok bapak-bapak yang duduk di warung, ngobrol soal biaya sekolah anak-anaknya, harga sembako yang makin mahal, atau kabar teman lamanya. Di sisi lain ada kumpulan anak muda yang obrolannya penuh tawa, cepat, banyak singkatan, campur bahasa Inggris, ditambah istilah baru seperti “bestie”, “auto”, atau “kepo” yang bikin saya perlu loading beberapa detik untuk memproses. Rasanya seperti melintasi dua dunia dalam jarak beberapa meter saja.

Fenomena bahasa gaul kekinian yang digunakan Gen Z —ataupun generasi sebelumnya yang numpang update, memang menarik. Mereka cepat menyerap istilah, menciptakan kata baru, lalu menyebarkannya lewat TikTok, Instagram, dan WhatsApp. Kata-kata seperti “anjay”, “cupu”, atau “santuy” bisa viral dalam semalam dan dipakai di mana-mana. Dalam istilah sosiolinguistik, ini contoh linguistic innovation, cara kelompok menciptakan identitas unik. Dari sisi psikologi sosial, ini wajar: remaja dan dewasa muda selalu mencari cara untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya. Bahasa jadi simbol keanggotaan komunitas, semacam “kode rahasia” yang membuat mereka merasa punya dunia sendiri.

Namun ada konsekuensi yang harus kita perhatikan. Semakin banyak bahasa campuran dipakai, semakin jarang bahasa ibu terdengar. Saya sendiri sehari-hari memakai bahasa Indonesia di rumah. Akibatnya, anak-anak saya tak pernah berbicara bahasa Sunda seperti saya dulu. Secara teori, ini yang disebut language shift, pergeseran bahasa yang terjadi ketika satu bahasa lebih dominan daripada bahasa lain dalam domain kehidupan sehari-hari. Jika dibiarkan, bahasa yang jarang dipakai bisa kehilangan penuturnya secara alami.

Tapi tidak semua dampaknya negatif. Justru banyak kata dari bahasa daerah (misalnya dari Jawa Barat) yang menemukan “panggung” baru di ruang digital. Istilah seperti “udud”, “rungkad”, atau “pisan” bisa muncul lagi lewat konten lucu, meme, atau video kreatif, membuat generasi baru mengenalnya dengan cara yang segar. Dalam kacamata language maintenance, ini peluang penting: teknologi yang dituduh merusak bahasa, ternyata bisa juga menjadi alat revitalisasi.

Di kantor saya juga melihat percampuran gaya komunikasi ini. Rekan senior berbicara dengan kalimat runut dan serius, sementara rekan muda cepat, langsung, dan santai. Dalam rapat, kadang saya mendengar “baik Pak” berdampingan dengan “bro” dan “siap gaskeun!” dalam satu percakapan. Bagi sebagian orang ini terasa mengganggu, tapi sebenarnya ini potret bahasa yang hidup: lentur, adaptif, dan mengikuti ritme zaman.

Jadi, apakah bahasa gaul kekinian bumbu atau racun budaya? Jawabannya tergantung pada kita. Kalau kita memakainya tanpa sadar, ia bisa menjauhkan kita dari akar bahasa ibu. Tapi kalau kita bijak, bahasa gaul bisa menjadi bumbu yang membuat percakapan lebih hidup, sementara bahasa daerah tetap kita rawat.

Bahasa gaul tidak harus dilihat sebagai musuh. Yang penting, kita sadar bahwa bahasa daerah adalah bagian dari identitas. Kita bisa tetap memakai istilah gaul yang membuat percakapan cair, sambil sengaja menanamkan kosakata asli kepada keluarga atau lingkungan sekitar. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arsip cara kita melihat dunia.

Maka, setiap kali saya kembali jalan kaki melintasi kerumunan, saya merasa seperti sedang mendengar dua simfoni berbeda yang dimainkan di panggung yang sama. Yang tua dengan nada pelan dan penuh jeda, yang muda dengan tempo cepat dan penuh improvisasi. Dan saya berdiri di tengah-tengah, mendengarkan keduanya, sambil tersenyum: bahasa akan terus berubah, tetapi akar cerita yang dibawanya tetap harus kita jaga. Jalan-jalan saya pun berakhir dengan kesan sederhana: gaul boleh, lupa jangan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar