Manusia punya naluri aneh saat menghadapi
kesulitan: bukannya menangis, ia justru bisa tertawa. Kadang tawa itu bukan
tanda bahagia, melainkan mekanisme agar tidak gila. Humor, dalam banyak hal,
adalah cara jiwa bertahan ketika hidup terlalu keras untuk dihadapi secara
serius.
Psikolog menyebutnya defense mechanism — cara tubuh melindungi diri
dari tekanan yang terlalu berat. Namun di luar istilah ilmiah, orang kecil
sudah lama mempraktikkannya. Tukang becak yang berseloroh, “Kalau rejeki lagi
seret, yang dipompa bukan cuma ban — semangat juga,” bukan sedang lucu-lucuan.
Ia sedang beradaptasi dengan realitas yang tak bisa diubah.
Lucunya lagi, tawa sering jadi tanda paling jujur dari penderitaan. Semakin gelap humor seseorang, semakin besar kemungkinan ia pernah terluka. Dari situlah muncul istilah dark humor — menertawakan hal-hal yang sebenarnya tidak lucu. Tapi justru di situ letak keajaibannya: dengan menertawakan luka, manusia mengambil alih kendali dari hal yang menyakitinya.
Komedian-komedian
besar sering lahir dari hidup yang keras. Mereka menertawakan kemiskinan,
diskriminasi, atau masa kecil yang rumit. Bagi mereka, panggung bukan tempat
melarikan diri, melainkan arena penyembuhan. Tawa penonton menjadi terapi
kolektif — semacam kesepakatan tak tertulis bahwa hidup memang absurd, tapi
masih bisa dijalani bersama.
Dalam konteks lebih
luas, humor menjadi semacam coping strategy
sosial. Ia meredakan ketegangan, membangun kedekatan, dan membuka ruang empati.
Kadang, satu lelucon bisa memecah kebekuan yang tak bisa dicairkan oleh seribu
kata serius. Di tempat kerja, di rumah, bahkan di ruang publik, humor
menurunkan ego dan mempertemukan manusia dalam kerentanan yang sama.
Yang sering kita
lupa: humor bukan berarti menyepelekan penderitaan. Justru sebaliknya, ia
menunjukkan bahwa seseorang cukup kuat untuk tidak dikalahkan oleh
penderitaannya. Orang yang masih bisa tertawa di tengah luka, sejatinya sedang
menyembuhkan diri dengan caranya sendiri.
Mungkin itu
sebabnya, bangsa yang masih bisa menertawakan dirinya sendiri adalah bangsa
yang belum kalah. Karena tawa bukan tanda menyerah — tawa adalah bentuk lain
dari keberanian. Sebab di dunia yang terlalu sering membuat kita ingin
menangis, menertawakan hidup adalah keputusan yang luar biasa rasional.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar