Halaman

Cari Blog Ini

September 03, 2025

Sekolah, Guru, dan Orang Tua dalam Pusaran Belajar Cara Belajar

Prolog: Belajar Tanpa Panduan Belajar

Setiap orang sepakat, sekolah adalah tempat belajar. Di sanalah anak-anak dikenalkan dengan angka, huruf, rumus, sejarah, bahasa, sampai ilmu pengetahuan yang lebih rumit. Namun, ada satu hal mendasar yang sering dilupakan dalam sistem pendidikan kita: sekolah jarang mengajarkan bagaimana cara belajar.

Akibatnya, banyak murid menjalani rutinitas belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan: mengerjakan PR, menyiapkan ulangan, lulus ujian. Setelah itu? Lupa. Pengetahuan yang seharusnya jadi bekal hidup hanya bertahan sebentar di kepala. Ironisnya, bukan hanya murid yang kebingungan. Guru pun sering kali tidak tahu bagaimana cara mengajarkan strategi belajar. Begitu pula orang tua yang mendampingi anak di rumah.

Tulisan ini mencoba membentangkan persoalan itu dalam tiga lapisan: sekolah, guru, dan orang tua. Tiga-tiganya berperan penting, tetapi sama-sama terjebak dalam pusaran yang sama: mengajarkan isi tanpa mengajarkan metode.

Sekolah: Tempat Belajar yang Tidak Mengajarkan Cara Belajar

Mari kita mulai dari sekolah. Bayangkan seorang siswa SMP yang setiap harinya mengikuti enam sampai delapan mata pelajaran. Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PKN, Seni, Olahraga—semuanya menuntut perhatian. Guru datang silih berganti, setiap jam menambah catatan di papan tulis, memberikan tugas, atau meminta hafalan.

Dalam situasi seperti itu, siswa sebenarnya menghadapi persoalan sederhana: bagaimana caranya memahami dan mengingat semua ini? Sayangnya, sekolah jarang memberi jawabannya. Murid dianggap otomatis tahu bagaimana belajar, padahal tidak demikian.

Maka lahirlah budaya belajar “kebut semalam”. Menjelang ujian, siswa memaksa diri begadang, menjejalkan puluhan halaman ke dalam kepala dalam waktu singkat. Hasilnya, sebagian masuk, sebagian lagi terbuang. Setelah ujian selesai, memori pun menguap. Belajar jadi mirip ritual sesaat, bukan keterampilan jangka panjang.

Seandainya sejak awal sekolah mengajarkan strategi belajar, ceritanya bisa berbeda. Murid akan tahu bahwa otak manusia lebih efektif menyerap informasi lewat pengulangan bertahap (spaced repetition), bukan hafalan instan. Mereka akan paham bahwa menguji diri sendiri (active recall) jauh lebih ampuh daripada sekadar membaca ulang catatan. Mereka juga bisa menemukan kegunaan mind mapping, teknik Pomodoro, atau bahkan sekadar trik sederhana: menjelaskan materi kepada teman.

Sayangnya, ruang kelas lebih sering fokus pada target kurikulum ketimbang memberi bekal keterampilan belajar. Murid diajari isi buku, tapi tidak diajari bagaimana menggunakan otaknya.

Guru: Pengajar yang Tak Mengajari Pelajar Cara Belajar

Bergeser ke lapisan berikutnya: para guru. Di mata masyarakat, guru adalah sosok yang “pasti tahu” tentang belajar. Bukankah mereka sehari-hari mengajar di kelas? Bukankah mereka digembleng di universitas atau sekolah tinggi keguruan?

Nyatanya, banyak guru memang hebat dalam menguasai materi pelajaran, tetapi tidak otomatis ahli dalam mengajarkan cara belajar. Pendidikan calon guru di Indonesia lebih banyak berfokus pada content knowledge (isi pelajaran) dan pedagogical knowledge (cara mengajar materi), tetapi kurang memberi ruang pada learning strategies knowledge (bagaimana belajar itu sendiri).

Akibatnya, guru cenderung melihat proses belajar sebagai penyampaian materi. Mereka mengejar target RPP, kurikulum, dan administrasi. Murid diharapkan menyerap, lalu diuji dengan ulangan. Selesai.

Padahal, guru punya peluang besar untuk menanamkan keterampilan belajar sejak dini. Misalnya, alih-alih hanya memberi PR, guru bisa mengenalkan pola spaced repetition dengan meminta murid mengulang materi di jeda waktu tertentu. Saat memberi tugas rangkuman, guru bisa mendorong murid membuat peta konsep (mind map). Bahkan ketika memberi kuis, guru bisa menjelaskan bahwa itu bukan sekadar penilaian, tapi juga latihan active recall.

Namun, bagaimana mungkin guru bisa melakukan itu jika mereka sendiri tidak dibekali ilmunya? Maka, sebelum menuntut murid agar lebih pintar belajar, barangkali kita perlu membekali guru terlebih dahulu. Tidak harus rumit. Cukup pelatihan sederhana tentang prinsip-prinsip dasar belajar bisa membuat perbedaan besar.

Orang Tua: Membimbing Anak, tapi Ikut Tersesat

Lapisan ketiga adalah orang tua. Mereka sering menjadi “guru kedua” di rumah. Ketika anak pulang sekolah, PR menumpuk, atau ujian mendekat, orang tua biasanya turun tangan. Namun, kebanyakan orang tua tidak tahu bagaimana mendampingi anak belajar dengan efektif.

Yang sering terjadi justru pemandangan klasik: anak dipaksa duduk di meja belajar, buku dibuka, lalu perintah keluar: “Belajar sana, jangan main terus!” Seakan-akan belajar adalah aktivitas mekanis: duduk, membaca, selesai.

Masalahnya, tidak semua anak bisa belajar dengan cara itu. Ada yang cepat bosan, ada yang perlu jeda, ada yang butuh visualisasi, ada pula yang justru lebih paham kalau belajar sambil mengajarkan ke orang lain. Sayangnya, orang tua cenderung mengukur hasil belajar dari nilai ulangan. Kalau nilai bagus, berarti sukses. Kalau jelek, berarti kurang belajar.

Padahal, belajar bukan sekadar mengejar nilai. Belajar adalah keterampilan hidup. Orang tua bisa membantu anak dengan cara yang lebih ramah: mengajarkan teknik jeda belajar (Pomodoro), bermain kuis sebagai latihan active recall, atau sekadar mendiskusikan pelajaran dengan bahasa sehari-hari.

Lebih penting lagi, orang tua perlu menanamkan mindset bahwa belajar bukan hukuman, melainkan bekal menghadapi kehidupan. Dengan begitu, anak akan melihat belajar sebagai perjalanan panjang, bukan sekadar naik kelas.

Sayangnya, banyak orang tua sendiri tidak pernah diajari hal ini. Maka wajar bila mereka ikut tersesat, hanya mengulang pola yang mereka alami saat kecil.

Simpul: Belajar untuk Belajar

Jika sekolah, guru, dan orang tua sama-sama abai pada keterampilan belajar, maka murid akan terus terjebak dalam lingkaran lama: belajar hanya untuk ujian, bukan untuk kehidupan.

Padahal, dunia hari ini menuntut kita untuk terus belajar. Pekerjaan berubah, teknologi berganti, tantangan baru muncul. Siapa pun yang tidak tahu cara belajar akan cepat tertinggal. Sebaliknya, siapa yang menguasai keterampilan belajar akan selalu punya bekal untuk beradaptasi.

Karena itu, sudah saatnya kita menata ulang cara pandang. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan isi. Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi. Orang tua tidak cukup hanya menyuruh anak belajar. Ketiganya harus bekerja sama untuk mengajarkan satu keterampilan yang paling mendasar: cara belajar itu sendiri.

Epilog: Warisan yang Sesungguhnya

Mungkin, suatu hari nanti, kita akan melihat ruang kelas di mana guru tidak hanya menulis rumus di papan, tetapi juga menjelaskan cara otak mengingat rumus itu. Kita akan melihat orang tua yang tidak sekadar memarahi anak karena nilai jelek, tetapi menemani mereka menemukan strategi belajar yang cocok. Kita akan melihat sekolah yang bukan sekadar tempat “belajar materi”, tetapi juga laboratorium untuk belajar belajar.

Kalau hari itu tiba, kita bisa berkata: akhirnya, sekolah benar-benar menjadi tempat belajar—dengan makna yang sesungguhnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar