Prolog:
Belajar Tanpa Panduan Belajar
Setiap orang sepakat, sekolah adalah tempat belajar. Di sanalah
anak-anak dikenalkan dengan angka, huruf, rumus, sejarah, bahasa, sampai ilmu
pengetahuan yang lebih rumit. Namun, ada satu hal mendasar yang sering
dilupakan dalam sistem pendidikan kita: sekolah jarang mengajarkan bagaimana
cara belajar.
Akibatnya, banyak murid menjalani rutinitas belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan: mengerjakan PR, menyiapkan ulangan, lulus ujian. Setelah itu? Lupa. Pengetahuan yang seharusnya jadi bekal hidup hanya bertahan sebentar di kepala. Ironisnya, bukan hanya murid yang kebingungan. Guru pun sering kali tidak tahu bagaimana cara mengajarkan strategi belajar. Begitu pula orang tua yang mendampingi anak di rumah.
Tulisan ini mencoba membentangkan persoalan itu dalam tiga
lapisan: sekolah, guru, dan orang tua. Tiga-tiganya berperan penting, tetapi
sama-sama terjebak dalam pusaran yang sama: mengajarkan isi tanpa mengajarkan
metode.
Sekolah: Tempat Belajar yang Tidak Mengajarkan Cara Belajar
Mari kita mulai dari sekolah. Bayangkan seorang siswa SMP yang
setiap harinya mengikuti enam sampai delapan mata pelajaran. Matematika, IPA,
IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PKN, Seni, Olahraga—semuanya menuntut
perhatian. Guru datang silih berganti, setiap jam menambah catatan di papan
tulis, memberikan tugas, atau meminta hafalan.
Dalam situasi seperti itu, siswa sebenarnya menghadapi persoalan
sederhana: bagaimana caranya memahami dan mengingat semua ini? Sayangnya,
sekolah jarang memberi jawabannya. Murid dianggap otomatis tahu bagaimana
belajar, padahal tidak demikian.
Maka lahirlah budaya belajar “kebut semalam”. Menjelang ujian,
siswa memaksa diri begadang, menjejalkan puluhan halaman ke dalam kepala dalam
waktu singkat. Hasilnya, sebagian masuk, sebagian lagi terbuang. Setelah ujian
selesai, memori pun menguap. Belajar jadi mirip ritual sesaat, bukan
keterampilan jangka panjang.
Seandainya sejak awal sekolah mengajarkan strategi belajar,
ceritanya bisa berbeda. Murid akan tahu bahwa otak manusia lebih efektif
menyerap informasi lewat pengulangan bertahap (spaced repetition), bukan
hafalan instan. Mereka akan paham bahwa menguji diri sendiri (active recall)
jauh lebih ampuh daripada sekadar membaca ulang catatan. Mereka juga bisa
menemukan kegunaan mind mapping, teknik Pomodoro, atau bahkan sekadar trik
sederhana: menjelaskan materi kepada teman.
Sayangnya, ruang kelas lebih sering fokus pada target kurikulum
ketimbang memberi bekal keterampilan belajar. Murid diajari isi buku, tapi
tidak diajari bagaimana menggunakan otaknya.
Guru: Pengajar yang Tak Mengajari Pelajar Cara Belajar
Bergeser ke lapisan berikutnya: para guru. Di mata masyarakat,
guru adalah sosok yang “pasti tahu” tentang belajar. Bukankah mereka
sehari-hari mengajar di kelas? Bukankah mereka digembleng di universitas atau
sekolah tinggi keguruan?
Nyatanya, banyak guru memang hebat dalam menguasai materi
pelajaran, tetapi tidak otomatis ahli dalam mengajarkan cara belajar.
Pendidikan calon guru di Indonesia lebih banyak berfokus pada content
knowledge (isi pelajaran) dan pedagogical knowledge (cara
mengajar materi), tetapi kurang memberi ruang pada learning strategies
knowledge (bagaimana belajar itu sendiri).
Akibatnya, guru cenderung melihat proses belajar sebagai
penyampaian materi. Mereka mengejar target RPP, kurikulum, dan administrasi.
Murid diharapkan menyerap, lalu diuji dengan ulangan. Selesai.
Padahal, guru punya peluang besar untuk menanamkan keterampilan
belajar sejak dini. Misalnya, alih-alih hanya memberi PR, guru bisa mengenalkan
pola spaced repetition dengan meminta murid mengulang materi
di jeda waktu tertentu. Saat memberi tugas rangkuman, guru bisa mendorong murid
membuat peta konsep (mind map). Bahkan ketika memberi kuis, guru bisa
menjelaskan bahwa itu bukan sekadar penilaian, tapi juga latihan active
recall.
Namun, bagaimana mungkin guru bisa melakukan itu jika mereka
sendiri tidak dibekali ilmunya? Maka, sebelum menuntut murid agar lebih pintar
belajar, barangkali kita perlu membekali guru terlebih dahulu. Tidak harus
rumit. Cukup pelatihan sederhana tentang prinsip-prinsip dasar belajar bisa
membuat perbedaan besar.
Orang Tua: Membimbing Anak, tapi Ikut Tersesat
Lapisan ketiga adalah orang tua. Mereka sering menjadi “guru
kedua” di rumah. Ketika anak pulang sekolah, PR menumpuk, atau ujian mendekat,
orang tua biasanya turun tangan. Namun, kebanyakan orang tua tidak tahu
bagaimana mendampingi anak belajar dengan efektif.
Yang sering terjadi justru pemandangan klasik: anak dipaksa duduk
di meja belajar, buku dibuka, lalu perintah keluar: “Belajar sana,
jangan main terus!” Seakan-akan belajar adalah aktivitas mekanis:
duduk, membaca, selesai.
Masalahnya, tidak semua anak bisa belajar dengan cara itu. Ada
yang cepat bosan, ada yang perlu jeda, ada yang butuh visualisasi, ada pula
yang justru lebih paham kalau belajar sambil mengajarkan ke orang lain. Sayangnya,
orang tua cenderung mengukur hasil belajar dari nilai ulangan. Kalau nilai
bagus, berarti sukses. Kalau jelek, berarti kurang belajar.
Padahal, belajar bukan sekadar mengejar nilai. Belajar adalah
keterampilan hidup. Orang tua bisa membantu anak dengan cara yang lebih ramah:
mengajarkan teknik jeda belajar (Pomodoro), bermain kuis sebagai
latihan active recall, atau sekadar mendiskusikan pelajaran dengan
bahasa sehari-hari.
Lebih penting lagi, orang tua perlu menanamkan mindset bahwa
belajar bukan hukuman, melainkan bekal menghadapi kehidupan. Dengan begitu,
anak akan melihat belajar sebagai perjalanan panjang, bukan sekadar naik kelas.
Sayangnya, banyak orang tua sendiri tidak pernah diajari hal ini.
Maka wajar bila mereka ikut tersesat, hanya mengulang pola yang mereka alami
saat kecil.
Simpul: Belajar untuk Belajar
Jika sekolah, guru, dan orang tua sama-sama abai pada keterampilan
belajar, maka murid akan terus terjebak dalam lingkaran lama: belajar hanya
untuk ujian, bukan untuk kehidupan.
Padahal, dunia hari ini menuntut kita untuk terus belajar.
Pekerjaan berubah, teknologi berganti, tantangan baru muncul. Siapa pun yang
tidak tahu cara belajar akan cepat tertinggal. Sebaliknya, siapa yang menguasai
keterampilan belajar akan selalu punya bekal untuk beradaptasi.
Karena itu, sudah saatnya kita menata ulang cara pandang. Sekolah
tidak cukup hanya mengajarkan isi. Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi.
Orang tua tidak cukup hanya menyuruh anak belajar. Ketiganya harus bekerja sama
untuk mengajarkan satu keterampilan yang paling mendasar: cara belajar
itu sendiri.
Epilog: Warisan yang Sesungguhnya
Mungkin, suatu hari nanti, kita akan melihat ruang kelas di mana
guru tidak hanya menulis rumus di papan, tetapi juga menjelaskan cara otak
mengingat rumus itu. Kita akan melihat orang tua yang tidak sekadar memarahi
anak karena nilai jelek, tetapi menemani mereka menemukan strategi belajar yang
cocok. Kita akan melihat sekolah yang bukan sekadar tempat “belajar materi”,
tetapi juga laboratorium untuk belajar belajar.
Kalau hari itu tiba, kita bisa berkata: akhirnya, sekolah benar-benar menjadi tempat belajar—dengan makna yang sesungguhnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar