Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid
Ruang belajar tanpa papan tulis, tanpa bel masuk, tapi penuh ujian mendadak.
“Dunia kerja itu
sekolah paling keras, karena kurikulumnya tidak tertulis, gurunya kadang cuek,
dan ujiannya datang tanpa pemberitahuan.”
Di sekolah dulu, jadwal belajar jelas: ada matematika jam pertama, biologi jam kedua, lalu istirahat. Di kantor, jadwal itu diganti dengan rapat pagi, deadline sore, dan laporan mendadak. Tidak ada bel yang mengingatkan jam masuk. Tidak ada lembar absensi guru. Tetapi ada jam finger print yang lebih sakral daripada daftar hadir kelas.
Kalau murid sekolah punya guru yang
berdiri di depan kelas, murid bernama karyawan punya guru yang lebih cair:
atasan yang rewel, rekan kerja yang cerewet, klien yang cerewetnya tiga kali
lipat. Semua memberi pelajaran, meski tidak ada yang menulis RPP atau silabus.
Atasan mengajarkan ketelitian lewat komentar pedas, rekan kerja mengajarkan
kolaborasi sekaligus kompetisi, sementara klien mengajarkan seni mengendalikan
emosi.
Dan tentu saja, ujiannya. Murid
sekolah punya ulangan harian, mid semester, dan ujian akhir. Murid bernama
karyawan? Ujiannya bisa muncul kapan saja. Saat atasan tiba-tiba menunjuk kita
di rapat: “Kamu, presentasikan data minggu ini!” Saat sistem komputer error
padahal deadline tinggal sejam. Saat perusahaan mengumumkan restrukturisasi,
dan nasib kita ikut terombang-ambing. Semua ujian datang tanpa kisi-kisi, tanpa
lembar jawaban yang seragam. Kadang yang bisa menyelamatkan hanyalah insting,
pengalaman, dan keberanian improvisasi.
Rapor karyawan juga berbeda. Tidak
ada nilai 7, 8, atau 9. Tidak ada ijazah di akhir tahun. Yang ada hanyalah
penilaian kinerja yang seringkali samar: pujian singkat di lorong kantor, bonus
akhir tahun, promosi jabatan, atau justru teguran keras. Kadang nilai kita lebih
ditentukan politik kantor ketimbang kerja keras kita. Tapi bukankah itu juga
pelajaran? Bahwa di luar kelas formal, dunia ini memang tidak selalu adil.
Murid yang baik tidak hanya pandai mengerjakan soal, tapi juga pandai bertahan
dalam sistem yang kadang timpang.
Dengan begitu, kantor sejatinya
adalah sekolah kedua. Bedanya, kurikulumnya tidak pernah tertulis, gurunya
tidak selalu peduli, dan kelasnya tidak pernah libur. Namun justru karena
itulah, pelajaran yang kita dapat lebih nyata, lebih keras, dan lebih relevan
dengan kehidupan.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar