Jejak Ruang Publik Pasca Proklamasi
Ketika proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia tidak hanya memperoleh
kedaulatan politik, tetapi juga “warisan” berupa berbagai aset fisik: kantor
pemerintahan, alun-alun, pasar, sekolah, rumah sakit, hingga gedung pertunjukan.
Semua tempat itu adalah ruang tempat aparatur dan masyarakat beraktivitas sosial, ekonomi,
pendidikan, budaya, keagamaan, dan sebagainya.
Namun, status kepemilikan aset-aset
itu tidak sederhana. Sebagiannya jelas bekas penguasaan pemerintah kolonial Belanda
maupun Jepang. Sebagiannya lagi berasal dari tanah bengkok desa, yang dipakai
untuk menghidupi perangkat desa tetapi kemudian dialihkan untuk fasilitas umum.
Tidak sedikit pula yang awalnya milik perorangan, baik berupa tanah hibah,
tanah yang dibebaskan, atau tanah yang ditelantarkan.
Bagaimana semuanya kemudian sah beralih menjadi aset pemerintah? Di sinilah hukum positif Indonesia bekerja, memberi legitimasi bahwa aset publik adalah bagian dari kedaulatan negara dan harus dikelola pemerintah.
Aset Eks Kolonial: Dari Domein ke
Tanah Negara
Pada masa kolonial, berlaku asas domein
verklaring (pernyataan domein), yaitu bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan sebagai eigendom (milik pribadi) adalah milik negara.
Akibatnya, banyak tanah untuk alun-alun, kantor pemerintahan, pasar, dan
fasilitas umum lain tercatat sebagai domein pemerintah Hindia Belanda.
Ketika Indonesia merdeka, muncul
pertanyaan: siapa yang berhak atas tanah dan bangunan itu? Jawabannya diberikan
oleh Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang menyatakan bahwa segala
badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diganti menurut
UUD ini. Artinya, segala aset yang dahulu dikuasai pemerintah kolonial
otomatis beralih ke Republik Indonesia.
Hal ini kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Pasal 1 ayat (1) UUPA menegaskan: seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia. Konsep domein kolonial dihapus, diganti
dengan prinsip hak menguasai oleh negara.
Contoh konkret: alun-alun di berbagai kota Jawa, yang pada zaman kolonial
menjadi simbol kekuasaan dan ruang administrasi, pasca kemerdekaan otomatis
menjadi milik pemerintah daerah. Demikian pula kantor-kantor residen
atau assistant resident, beralih fungsi menjadi kantor gubernur atau
bupati.
Dengan demikian, klaim pemerintah
atas aset eks kolonial tidak perlu diragukan lagi. Landasan yuridisnya kokoh:
UUD 1945 dan UUPA memberi mandat langsung bahwa tanah negara hasil warisan
kolonial menjadi milik Republik.
Aset Eks Bengkok Desa: Dari Tanah
Penghasilan ke Fasilitas Publik
Selain aset kolonial, Indonesia juga mewarisi sistem tanah bengkok desa (fungsi tanah yang serupa di beberapa daerah memiliki penyebutan yang berbeda-beda: tanah lungguh, tanah pangarem-arem, tanah titisara). Tanah bengkok adalah tanah desa yang dipergunakan untuk memberi penghasilan kepada perangkat desa. Namun, dalam perjalanan sejarah, banyak tanah bengkok yang dialihkan fungsinya menjadi fasilitas umum—misalnya untuk balai desa, sekolah dasar, lapangan olahraga, atau pasar desa.
Peralihan fungsi ini bukan sekadar
praktik sosial, tetapi juga memiliki dasar hukum. UU No. 6/2014 tentang Desa,
yang kemudian diperbarui dengan UU No. 3/2024, menegaskan bahwa aset
desa mencakup tanah kas desa atau tanah bengkok, pasar desa, kuburan dan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum lainnya. Pasal 76 UU Desa menyatakan bahwa aset desa dapat dipergunakan untuk
sebesar-besar kesejahteraan masyarakat desa.
Artinya, ketika tanah bengkok
berubah fungsi menjadi fasilitas umum yang dikelola pemerintah desa atau bahkan
kabupaten, hal itu sah secara hukum. Pemerintah daerah memiliki legitimasi
karena:
- Tanah tersebut sudah sejak awal berstatus tanah desa
(aset komunal).
- Undang-undang memberi ruang penggunaan tanah desa untuk
kepentingan masyarakat luas.
- Pemerintah daerah berwenang melakukan inventarisasi dan
penetapan status penggunaannya sebagai Barang Milik Daerah (BMD).
Contoh konkret: banyak pasar desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
berdiri di atas tanah bengkok. Dengan pengaturan modern, pasar tersebut kini tercatat
sebagai aset pemerintah kabupaten. Lapangan bola yang dulunya hanya tanah
kosong sederhana di atas tanah bengkok, kini berkembang menjadi stadion olah
raga permanen dengan status hukum yang sah sebagai aset pemerintah.
Dengan demikian, klaim pemerintah
atas aset eks bengkok desa didukung oleh UU Desa dan praktik sosial yang
mengakar sejak lama.
Aset Eks Perorangan: Dari Hak
Milik ke Aset Publik
Kategori ketiga, dan sering kali
paling menimbulkan sengketa, adalah aset publik yang berasal dari tanah milik
perorangan. Ada beberapa jalur hukum yang memungkinkan peralihan ini:
- Hibah atau Penyerahan SukarelaBanyak warga dengan sukarela menghibahkan tanahnya untuk sekolah, masjid, atau lapangan. Meskipun akta hibah kadang sederhana, hukum agraria mengakuinya. Setelah penguasaan fisik dan administrasi apalagi balik nama di BPN dan dicatat sebagai Barang Milik Negara/Daerah, statusnya sah menjadi aset pemerintah.
- Pengadaan Tanah untuk Kepentingan UmumSejak UUPA, negara memiliki wewenang mencabut hak atas tanah demi kepentingan umum dengan kompensasi yang layak. Mekanisme modernnya diatur dalam UU No. 2/2012. Inilah jalur sah pembebasan tanah untuk jalan raya, rumah sakit, dan fasilitas strategis lain.
- Pelepasan Hak atau PenelantaranBila pemilik meninggalkan tanahnya atau melepas hak, tanah otomatis kembali menjadi tanah negara. Pemerintah berhak menetapkan penggunaannya untuk fasilitas umum.
- Putusan PengadilanBanyak sengketa aset publik yang diputuskan pengadilan. Bila hakim menetapkan tanah tersebut adalah milik pemerintah, maka klaim individu gugur secara hukum.
Contoh konkret: di banyak desa, SD Negeri berdiri di atas tanah hibah
warga. Di kota, pembangunan jalan tol dan jalur kereta api baru dilakukan
dengan mekanisme pembebasan tanah. Semua ini menunjukkan bahwa peralihan hak
dari individu ke pemerintah bukan tindakan sewenang-wenang, tetapi diatur
dengan mekanisme hukum yang jelas.
Bagaimana Tanah Negara Menjadi Aset Pemerintah?
Perlu dibedakan: tanah negara
(dalam arti agraria) belum tentu otomatis tercatat sebagai Barang Milik
Negara/Daerah (BMN/BMD). Agar sah secara administrasi keuangan, perlu
langkah tambahan:
- Penguasaan fisik tanah untuk kepentingan pelayanan umum dan pemerintahan.
- Pencatatan dalam daftar inventaris BMN/BMD.
- Penetapan Status Penggunaan oleh pengelola barang (Kementerian Keuangan untuk pusat, atau kepala daerah untuk daerah).
- Pendaftaran sertifikasi di BPN atas nama instansi pemerintah.
Langkah-langkah inilah yang mengubah
status tanah/bangunan menjadi aset resmi pemerintah yang tidak bisa lagi
diklaim pihak lain sembarangan.
Mengapa Klaim Pemerintah Tetap
Kuat Meski Dokumen Hilang?
Fakta di lapangan, banyak aset
publik tidak memiliki dokumen otentik yang lengkap. Surat hibah hilang, arsip
kolonial lenyap, atau akta desa tidak pernah dibuat. Namun, klaim pemerintah
tetap kuat karena:
- Asas kepentingan umum dan fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA) → tanah tidak boleh hanya dipandang
sebagai hak individual, tetapi juga sebagai sarana kesejahteraan bersama.
- Penguasaan nyata
→ jika sejak puluhan tahun tanah itu dipakai sebagai sekolah atau pasar,
hukum mengakui penggunaan itu sebagai bukti penguasaan sah oleh
pemerintah.
- Aturan peralihan UUD 1945 → aset yang dikuasai pemerintah sejak kemerdekaan
otomatis sah menjadi milik Republik.
- UU Desa dan UU Keuangan Negara → mewajibkan inventarisasi dan pencatatan aset, yang
memperkuat posisi pemerintah meskipun dokumen awal tidak lengkap.
Penutup: Aset Publik sebagai Simbol
Kedaulatan
Dari aset kolonial yang beralih
melalui prinsip domein, tanah bengkok desa yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum, hingga tanah perorangan yang dihibahkan atau dibebaskan, semua
menunjukkan satu hal: aset publik adalah simbol kedaulatan negara dan wujud
gotong royong rakyat.
Walaupun dokumen asli kadang hilang,
posisi hukum pemerintah tetap kokoh karena dilandasi konstitusi, UUPA, UU Desa,
UU Pengadaan Tanah, dan putusan pengadilan.
Aset publik bukan sekadar soal tanah atau bangunan, melainkan bukti hadirnya negara di tengah rakyat. Dari alun-alun kota hingga sekolah desa, dari pasar rakyat hingga balai budaya, semuanya kini berdiri sebagai milik bersama, dijaga oleh pemerintah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar