Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 06, 2015

Ketika Pengendara Motor Merasa Jalanan Milik Nenek Moyangnya

Kata orang, yang sering bikin semrawut jalanan itu bukan cuma becak atau angkot. Pengguna sepeda motor juga kadang suka berlaku kayak “raja jalanan.” Pagi hari, ketika lalu lintas padat, ketemu mereka ini bisa bikin jantung naik turun. Mending kalau aturan lalu lintas ditaati, masalahnya sopan santun berkendara sering kali entah ke mana.

Salip kiri, salip kanan. Jegal depan, serobot belakang. Klakson tet-tot tet-tot bersahutan kayak tahun baruan. Persimpangan atau tikungan, semua diterabas. Boncengan tumpuk tiga, tanpa helm lagi? Anggap angin lalu. Bawa barang segede kulkas di atas motor? Jalan terus. Penyebrang aki-aki renta atau mobil mogok di pinggir jalan? Lewat aja, cuek bebek. Lagi berangkat kerja atau lagi narik ojol? Sama saja: prinsipnya “kumaha aing bae!”

Padahal, para ahli etika lalu lintas sudah sering bilang: jalan raya itu ruang publik, bukan gelanggang adu cepat. Menurut pakar transportasi, etika berkendara bukan cuma soal taat aturan, tapi juga soal kesadaran bahwa ada hak orang lain yang mesti dijaga. Filsuf moral Immanuel Kant bahkan punya konsep categorical imperative —bertindaklah seolah aturan yang kamu buat berlaku universal. Artinya, kalau semua orang salip sembarangan kayak kamu, apa jadinya jalanan? Mungkin bukan cuma macet, tapi chaos.

Jadi... sebagai sesama pengendara motor, saya cuma mau bilang: kita ini bukan satu-satunya penghuni jalan. Etika dan sopan santun itu bukan sebatas teori, tapi nyawa kita dan orang lain yang jadi taruhannya.

Pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab? Polisi? Pemerintah? Pabrikan motor yang terus gencar jualan? Atau kita sendiri, yang setiap hari menyalakan mesin dan memilih bagaimana bersikap di jalanan?

Kalau jawabannya selalu “kumaha aing bae,” ya jangan salahkan kalau jalan raya makin lama makin terasa seperti sirkuit balap amatiran yang kacau.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar