“Selalu ada jalan”, kalimat penyemangat
yang sering kita dengar di momen-momen buntu: saat rencana gagal, uang menipis,
atau urusan berbelit di kantor. Rasanya menenangkan, seolah semesta sedang
berbisik, tenang, nanti juga kelar. Tapi
kalau dipikir ulang, seberapa benarkah pernyataan itu?
Kadang, kenyataannya tidak seindah itu. Ada kalanya tidak ada jalan —setidaknya, bukan jalan yang kita mau. Ada yang terpaksa berhenti di tengah perjalanan karena kesehatan, kehilangan, atau waktu yang tak berpihak. Tapi lucunya, justru di situ makna kalimat itu berubah bentuk. “Selalu ada jalan” ternyata bukan berarti “semua masalah pasti selesai seperti yang kita inginkan”, melainkan: “selalu ada cara untuk tetap berjalan, meski bukan di jalan yang sama.”
Jalan
itu bisa berupa penerimaan, perubahan arah, atau bahkan berhenti sejenak.
Kadang yang disebut jalan bukanlah pintu terbuka, tapi keberanian untuk menutup
pintu lama.
Dan di situ, pernyataan tadi menemukan kebenarannya —bukan karena hidup selalu
mudah, tapi karena manusia selalu bisa menemukan makna baru di tengah
kebuntuan.
Jadi, ya. “Selalu ada jalan.” Hanya
saja, jangan lupa: kadang jalannya belok, menanjak, atau bahkan balik arah.
Tapi tetap saja —itu jalan juga, bukan?***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar