Kita hidup di zaman yang
aneh: bertanya dikira kepo, berbuat baik dibilang modus. Padahal kalau
manusia tidak punya rasa ingin tahu, kita tidak akan pernah menemukan listrik,
roket, atau bahkan gorengan tahu isi tauge. Otak kita ini secara biologis
memang dirancang untuk penasaran. Dopamin — si hormon bahagia — muncul setiap
kali kita mendapatkan informasi baru. Jadi kalau kamu dibilang kepo, sebenarnya
kamu cuma sedang mempraktikkan hukum alam.
Masalahnya, masyarakat modern kebanyakan trauma sosial. Terlalu sering disakiti oleh “modus”, akhirnya semua kebaikan dikurung dalam kecurigaan. Kamu bantu nyebrangin ibu-ibu, dibilang pencitraan. Kamu ngasih minum ke teman kantor, dikira naksir. Padahal bisa jadi kamu cuma orang haus yang kebetulan punya dua gelas.
Teknologi
juga membuat semuanya tambah parah. Di media sosial, semua orang sibuk
menampilkan image, sampai yang tulus malah kelihatan mencurigakan. Akibatnya,
manusia modern harus punya “izin moral” dulu sebelum berbuat baik, dan “bukti
ilmiah” dulu sebelum bertanya. Ironis, kan? Kita hidup di era paling canggih
dalam sejarah, tapi kepercayaan antar manusia malah drop seperti baterai HP
menjelang tengah malam.
Tapi
sudahlah. Teruslah kepo, teruslah modus — dalam artian positif tentunya. Karena tanpa
orang yang penasaran dan berniat baik, tak akan ada tahu bulat yang digoreng
dadakan; tahunya cuma tahu kotak yang dimakan sesudah dingin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar