Katanya hidup yang tenang itu ideal. Tapi coba pikir lagi — tanpa kerepotan, apa kita masih bisa bilang sedang hidup beneran?
Pagi-pagi niatnya cuma bikin
kopi. Tapi air malah tumpah, sendok jatuh, dan kompor belum dibersihkan
semalam. Lima menit kemudian, dapur sudah mirip lokasi syuting film bencana. Belum
sempat beres, WA kantor bunyi: kirim file urgent
banget. Biasanya “urgent” versi mereka artinya masih bisa nunggu sampai
jam makan siang.
Kadang saya heran, kenapa hidup ini hobi sekali bikin repot? Kita sudah berusaha rapi, disiplin, bahkan menyiapkan rencana B dan C. Tapi selalu saja ada hal kecil yang bikin jungkir balik —kabel charger hilang, jemuran kehujanan, listrik mati pas mau nyetrika. Dan entah kenapa, setelah semua lewat, kita justru bisa tertawa sendiri.
Mungkin karena kerepotan memang
bagian dari resep hidup. Tanpa itu, hari-hari terasa datar. Kalau semua
berjalan lancar, kita malah bingung mau ngapain. Seorang psikolog pernah
bilang, “Jadikan kerepotan sebagai bumbu.” Saya pikir, betul juga. Hidup tanpa
repot itu seperti sayur tanpa garam, aman sih, tapi hambar.
Kerepotan membuat kita bergerak,
berpikir, dan —anehnya— bersyukur. Kita belajar sabar karena antre, belajar
tangguh karena macet, dan belajar ikhlas karena uang receh kembalian beli bakso
jatuh di jalan. Kacau, tapi justru di situ rasa hidupnya muncul.
Mungkin memang begitu cara
semesta memasak kita: direbus oleh masalah, ditumis oleh harapan, lalu
disajikan jadi versi diri yang lebih matang. Setiap kerepotan, sekecil apa pun,
sedang menambah rasa pada “masakan” bernama hidup.
Jadi kalau hari ini terasa repot,
nikmati saja. Mungkin hidup sedang menambahkan cabai sedikit —biar lebih sedap,
dan supaya kita sadar: ya, ini tandanya kita sedang hidup beneran.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar