Di kantor atau tempat kerja,
wajar kalau pembicaraan berkutat pada target, rapat, dan strategi. Tapi kalau
lagi jalan-jalan masih bahas kerjaan, piknik ngobrol kerjaan, nongkrong di
warung kopi pun topiknya tetap kerjaan — itu tanda bahwa batas antara hidup dan
pekerjaan mulai kabur. Lama-lama, kita bukan lagi ngerjain pekerjaan, tapi justru dikerjain
sama kerjaan.😅
Secara psikologis, fenomena ini disebut work-life blur — kondisi di mana batas waktu dan ruang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi hilang karena teknologi dan budaya produktivitas berlebih. Menurut penelitian dari American Psychological Association, individu yang sulit melepaskan diri dari urusan pekerjaan saat waktu pribadi lebih rentan mengalami stres kronis, insomnia, dan penurunan kepuasan hidup.
Dalam konteks sosial, masyarakat
modern sering mengukur nilai diri dari kesibukan. Ungkapan seperti "sibuk
itu keren" atau "nggak sempat istirahat tandanya produktif"
memperkuat budaya kerja tanpa jeda. Padahal, riset dari University of Illinois
menunjukkan bahwa otak manusia hanya bisa fokus optimal selama 90 menit sebelum
perlu istirahat singkat untuk memulihkan energi mental.
Secara budaya, kita juga hidup
di tengah perubahan paradigma. Dulu, jam kerja punya batas jelas — pulang
kantor ya berarti selesai. Sekarang, pesan WhatsApp kerja bisa datang kapan
saja, bahkan saat makan malam keluarga. Norma sosial yang menganggap balasan
cepat sebagai tanda profesionalisme membuat banyak orang sulit menolak.
Seorang psikolog klinis pernah
mengatakan, "Bekerja keras itu baik, tapi kalau kehilangan waktu untuk
diri sendiri, justru produktivitas jangka panjangnya turun." Istirahat
bukan kemewahan, tapi kebutuhan biologis.
Jadi, kalau libur ya benar-benar
libur. Kalau nongkrong ya ngobrolin hidup, bukan laporan. Karena kadang cara
terbaik menghargai pekerjaan adalah dengan menutup laptop, menonaktifkan
notifikasi, dan menikmati kopi tanpa embel-embel deadline.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar