Dulu, setiap malam di kampung adalah festival kecil. Jangkrik bernyanyi bersahut-sahutan, belalang melompat di rerumputan basah, dan kunang-kunang beterbangan di pinggir sawah seperti bintang jatuh yang tak habis-habis. Anak-anak menangkapnya dengan toples kaca, lalu melepaskannya lagi sebelum tidur. Sekarang, toples hanya berisi lampu senter dari ponsel.
Perubahan ini tidak terjadi
tiba-tiba. Ilmuwan menyebutnya efek dari polusi cahaya, pestisida, dan
hilangnya habitat alami. Kunang-kunang, misalnya, membutuhkan kegelapan total
untuk berkomunikasi lewat cahaya. Ketika malam dipenuhi lampu jalan dan sorot
kendaraan, mereka kehilangan sinyal satu sama lain. Sedangkan serangga lain
seperti jangkrik dan belalang tak tahan dengan suhu permukaan yang makin panas
akibat permukaan beton dan minimnya vegetasi. Malam yang dulu milik mereka, kini
sudah direbut manusia.
Tapi saya tidak ingin
menyalahkan kemajuan. Jalan yang terang membuat warga lebih aman, rumah baru
berarti ekonomi membaik. Namun, di sisi lain, kemajuan yang tidak mengenal
kompromi bisa membuat manusia kehilangan dimensi alami dari hidupnya. Dalam
psikologi lingkungan, ini disebut nature-deficit experience —
kehilangan pengalaman langsung dengan alam yang bisa menurunkan empati ekologis
dan meningkatkan stres sosial. Mungkin itu sebabnya, hidup modern sering terasa
ramai tapi hampa.
Saya berhenti di depan rumah
orang tua. Lampu neon masih menyala terang di teras, tapi halaman yang dulu
penuh suara kini sunyi. Saya matikan lampu itu, dan membiarkan mata
menyesuaikan diri dengan gelap. Dalam beberapa menit, suara-suara kecil mulai
terdengar lagi: serangga tanah, gesekan dedaunan, dan desir angin. Ternyata, mereka
tidak benar-benar hilang — hanya menunggu kita berhenti membuat malam terlalu
terang.
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar