Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 31, 2025

Cahaya yang Menggantikan Kunang-Kunang

Saya baru menyadari, perjalanan pulang kampung kini lebih terang dari yang seharusnya. Lampu-lampu LED berderet di sepanjang jalan desa, menggantikan cahaya kunang-kunang yang dulu menuntun malam. Mobil melaju pelan di jalan beton yang dulu hanya berupa tanah merah. Malam terasa bersih, rapi, tapi dingin dan kosong. Tak ada suara jangkrik, tak ada nyanyian tonggeret. Bahkan bayangan capung di atas pematang pun sudah lama hilang.

Dulu, setiap malam di kampung adalah festival kecil. Jangkrik bernyanyi bersahut-sahutan, belalang melompat di rerumputan basah, dan kunang-kunang beterbangan di pinggir sawah seperti bintang jatuh yang tak habis-habis. Anak-anak menangkapnya dengan toples kaca, lalu melepaskannya lagi sebelum tidur. Sekarang, toples hanya berisi lampu senter dari ponsel.

Perubahan ini tidak terjadi tiba-tiba. Ilmuwan menyebutnya efek dari polusi cahaya, pestisida, dan hilangnya habitat alami. Kunang-kunang, misalnya, membutuhkan kegelapan total untuk berkomunikasi lewat cahaya. Ketika malam dipenuhi lampu jalan dan sorot kendaraan, mereka kehilangan sinyal satu sama lain. Sedangkan serangga lain seperti jangkrik dan belalang tak tahan dengan suhu permukaan yang makin panas akibat permukaan beton dan minimnya vegetasi. Malam yang dulu milik mereka, kini sudah direbut manusia.

Tapi saya tidak ingin menyalahkan kemajuan. Jalan yang terang membuat warga lebih aman, rumah baru berarti ekonomi membaik. Namun, di sisi lain, kemajuan yang tidak mengenal kompromi bisa membuat manusia kehilangan dimensi alami dari hidupnya. Dalam psikologi lingkungan, ini disebut nature-deficit experience — kehilangan pengalaman langsung dengan alam yang bisa menurunkan empati ekologis dan meningkatkan stres sosial. Mungkin itu sebabnya, hidup modern sering terasa ramai tapi hampa.

Saya berhenti di depan rumah orang tua. Lampu neon masih menyala terang di teras, tapi halaman yang dulu penuh suara kini sunyi. Saya matikan lampu itu, dan membiarkan mata menyesuaikan diri dengan gelap. Dalam beberapa menit, suara-suara kecil mulai terdengar lagi: serangga tanah, gesekan dedaunan, dan desir angin. Ternyata, mereka tidak benar-benar hilang — hanya menunggu kita berhenti membuat malam terlalu terang.

Mungkin, itulah harga dari kemajuan: kita belajar menerangi dunia, tapi lupa bagaimana menikmati gelapnya. Dan dalam gelap yang sebenarnya itu, saya baru merasa benar-benar pulang.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar