![]() |
| Gambar ilustrasi |
Sejak zaman nenek moyang, masyarakat Kabupaten Serang, Banten memahami bahwa sungai adalah urat nadi peradaban. Air yang mengalir bukan sekadar kebutuhan, tapi guru yang menuntun manusia hidup selaras dengan alam. Ritual Ngundeur Cai menyatukan warga lintas usia dan iman dalam kesadaran ekologis. Setiap kendi yang dibawa, setiap tetes air yang dilarung, membawa pesan sederhana: jaga sungai, jaga hidup.
Di titik mata air, air dikumpulkan untuk dua tujuan: sebagian diuji di laboratorium untuk memantau kualitas sungai, sebagian dilarung ke laut sebagai simbol doa agar sungai tetap murni. Setiap gerakan mengingatkan bahwa manusia adalah bagian dari aliran yang lebih besar.
Beberapa orang dewasa memegang kendi dengan kedua tangan, mengangkatnya ke atas kepala, matanya terpejam, bibir bergerak lirih membaca doa. Anak-anak menatap air yang berkilau terkena sinar pagi, wajah mereka bercampur takjub dan penasaran.
“Kenapa kita harus lakukan ini, Mang?” tanya si kecil.
“Karena sungai ini hidup, Nong,” jawab si Mamang. “Kalau kita jaga, ia akan jaga kita juga.”
Warga lain saling tersenyum, seakan mengatakan: kita bagian dari aliran yang sama, manusia dan alam.
Ritual ini bukan sekadar simbol. Air yang dikumpulkan diuji agar tetap bersih, sebagian dilarung sebagai doa. Pengetahuan lokal tentang kualitas air, pohon penyangga, dan pola aliran sungai diwariskan turun-temurun, sekaligus menjadi media pendidikan ekologis.
Ngundeur Cai hanyalah salah satu dari tradisi Nusantara yang menyesuaikan diri dengan nilai religius. Di Banten Kidul dan Kampung Naga Jawa Barat, masyarakat merayakan Seren Taun dengan doa syukur dan menjaga alam. Di Toraja, ritual Ma’nene mengajarkan penghormatan kepada leluhur dan pentingnya menjaga sumber air. Di Sumba, Pasola adalah doa agar musim hujan dan panen tetap terjaga. Di Papua, Bakar Batu memperkuat kebersamaan dan mengajarkan cara memelihara lingkungan. Meski berbeda bentuk, tujuannya sama: manusia harus hidup selaras dengan alam.
Sejarah Banten memperlihatkan sinkretisme khas. Saat Islam masuk, ritual lama tidak dihapus tapi diintegrasikan dengan ajaran baru. Doa dan niat kini bisa berupa dzikir atau bacaan-bacaan suci Al-Quran, penghormatan terhadap sungai diterjemahkan sebagai menjaga amanah Allah, dan komunitas tetap menjaga kesinambungan sosial.
Selain nilai spiritual, Ngundeur Cai juga mengandung pengetahuan praktis. Masyarakat mengenal pohon peneduh, zona hutan lindung, pola migrasi ikan, dan titik mata air yang harus dijaga. Anak-anak belajar semua ini melalui pengamatan, praktik, dan cerita kakek-nenek mereka.
Saat air terakhir dilarung, warga menunduk memberi doa. Angin membawa aroma tanah basah, gemericik sungai seolah menjawab.
“Semoga sungainya bersih, Mang,” kata seorang remaja.
“Insya Allah, Nong. Tapi kita juga harus ingat untuk selalu jaga dan ajarkan kepada yang lain,” jawab si Mamang tersenyum hangat.
Tradisi lama dan nilai-nilai Islam berjalan beriringan, menciptakan harmoni unik. Anak-anak belajar menjaga sungai, menghormati alam, dan memahami bahwa ibadah tidak selalu di mimbar, kadang juga di tepian sungai. Pengetahuan lokal ini memberikan pemahaman ekologis yang sulit didapat di bangku sekolahan, sekaligus membentuk karakter generasi muda peduli lingkungan.
Ngundeur Cai adalah bukti hidup bahwa budaya lokal, pengetahuan lingkungan, dan religiusitas bisa berdampingan dan saling memperkaya. Sungai Cibanten berbicara melalui ritual ini, membisikkan pesan lama dengan cara baru: air harus dijaga, bumi harus dihormati, dan doa harus menyertai setiap langkah manusia.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar