Lucu juga, dulu kopi dianggap teman begadang para pekerja malam, kini justru jadi alasan orang nongkrong di siang bolong. Bedanya cuma di wadah: yang dulu gelas kaca tebal, sekarang gelas plastik tipis. Tapi entah kenapa, makin tipis gelasnya, makin tebal pula harganya. Dari warkop pinggir jalan yang berantakan sampai coffee shop bergaya minimalis, kopi seolah naik kasta —dari kebutuhan jadi gaya hidup, dari pengusir kantuk jadi pemancing konten.
Namun di balik tren ngopi yang merajalela, ada kontradiksi yang menarik. Dahulu, ngopi identik dengan bapak-bapak ronda yang ngobrol soal harga pupuk atau cuaca. Sekarang, kopi naik kasta: dari obrolan rakyat jadi bahan diskusi tentang single origin dan aftertaste. Ironisnya, makin tinggi kelas kopinya, makin sunyi percakapannya —karena semua sibuk membalas notifikasi yang datang lebih cepat dari pada obrolan.
Jika dilihat dari perspektif ilmiah, kopi memang punya daya pikat yang tak main-main. Kandungan kafein mampu merangsang sistem saraf pusat, menunda rasa kantuk, bahkan memicu hormon dopamin yang menimbulkan rasa senang. Tak heran, kopi sering diasosiasikan dengan produktivitas. Para peneliti menyebut kopi bisa meningkatkan fokus dan daya tahan kerja otak. Jadi, wajar bila mahasiswa begadang, jurnalis kejar deadline, hingga programmer berburu ide —semuanya bersekutu dengan secangkir kopi.
Ngopi bukan lagi soal minuman, tapi ritual sosial. Ia mengikat orang dalam percakapan, dalam keheningan, bahkan dalam perlawanan. Dari warkop kecil di pelosok sampai coffee shop berdesain minimalis, kopi jadi titik temu antara tradisi dan modernitas, antara keaslian rasa dan kemasan gaya hidup. Kita bisa memilih: menjadikannya sekadar tren, atau menjadikannya ruang refleksi.
Dan ketika akhirnya gelas tinggal ampas, kita pun sadar: kopi hanya medium. Yang lebih penting bukanlah soal rasanya, tapi cerita di sekitarnya —persahabatan, ide, atau sekadar jeda dari rutinitas. Seperti di awal tadi, kopi selalu jadi alasan orang duduk bersama. Bedanya, kita kini lebih paham: yang membuat kopi istimewa bukan pahitnya, melainkan hangatnya kebersamaan.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar