Perasaan baru kemarin Jumat, sekarang sudah Jumat lagi. Seolah-olah satu pekan hanya sekilas bayangan di kaca spion. Pertanyaannya, apakah dunia yang berputar terlalu cepat, atau kita yang berjalan terlalu lambat?
Sejak dulu waktu memang licin. Dipegang erat, tetap lolos dari genggaman. Satu hari terasa panjang jika kita sedang menunggu kabar penting, tapi bisa terasa singkat ketika kita sedang larut dalam kesibukan. Ahli psikologi menyebutnya time perception —cara otak kita mengukur panjang-pendeknya waktu bukan berdasarkan jam di dinding, melainkan intensitas pengalaman. Itulah sebabnya satu jam menunggu antrean bisa terasa seperti seharian penuh, sedangkan satu jam menonton serial favorit tiba-tiba sudah habis.
Rutinitas mempercepat putaran waktu dalam persepsi kita. Bayangkan hari-hari yang isinya hanya bangun, berangkat kerja, percakapan basa basi, pulang, lalu tidur. Pola berulang ini membuat otak kita tidak punya banyak “tanda” untuk menandai perbedaan kejadian demi kejadian, hari demi hari. Akibatnya, seminggu berlalu hanya meninggalkan sedikit jejak ingatan, dan tiba-tiba saja Jumat sudah kembali menyapa.
Di sisi lain, ketika kita melakukan sesuatu yang baru. Pergi ke tempat yang tak biasa, bertemu orang-orang baru, atau sekadar mencoba aktivitas berbeda. Otak kita akan merekam lebih banyak detail. Hari itu jadi lebih panjang, pekan jadi lebih padat, dan Jumat terasa datang dengan jarak yang wajar.
Jadi mungkin bukan dunia yang berputar lebih cepat, tapi kita yang semakin jarang menciptakan pengalaman baru. Kita hidup seperti penumpang angkot yang tertidur: tahu-tahu sudah sampai terminal, padahal belum sempat menikmati perjalanan.
Namun, ada ironi lain. Kita sering mengeluh waktu terlalu cepat, tapi di saat yang sama kita tak sabar menunggu akhir pekan. Kita ingin Jumat datang lebih cepat, tapi kemudian kaget ketika ia benar-benar datang. Seperti penonton yang ketiduran menunggu film favorit dimulai, lalu terbangun saat pertunjukan hampir selesai.
Mungkin kita butuh mengubah cara pandang: berhenti menghitung hidup dari Jumat ke Jumat, lalu mulai menaruh perhatian pada Selasa yang sederhana, Rabu yang datar, atau Kamis yang sering kita lewatkan begitu saja. Karena, kalau dipikir-pikir, hidup kita justru lebih banyak terdiri dari “hari biasa” ketimbang momen istimewa.
Waktu memang tidak bisa diperlambat. Tapi kita bisa memperkaya setiap harinya dengan pengalaman, jeda, dan rasa syukur kecil. Dengan begitu, Jumat tidak datang sebagai kejutan yang menyentak, melainkan sebagai ujung perjalanan satu pekan yang benar-benar kita jalani.
Pada akhirnya, bukan soal cepat atau lambat. Waktu akan tetap berjalan dengan ritme yang sama. Yang membedakan hanyalah: apakah kita hanyut begitu saja, atau menari mengikuti irama. Karena anehnya, justru ketika kita berhenti mengejar waktu, saat itulah kita merasa punya lebih banyak waktu.***

Kita yang megegeg..wkwkwk
BalasHapus