Halaman

Cari Blog Ini

September 22, 2025

Seri 1 - Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam

Kita ini bangsa yang gampang jatuh hati. Dulu orang asing datang dengan kapal layar, disambut ramah, dikasih tempat singgah. Hari ini mereka datang pakai dasi rapi, bawa proposal tebal, dan kita pun dengan senyum sumringah bilang: “Silakan masuk, anggap saja rumah sendiri.”

Bedanya, kalau dulu pendekatannya kasar, sekarang lebih halus. Kalau dulu ditaklukkan dengan meriam, kini dirayu dengan pinjaman. Sungguh, penjajahan gaya baru ini rasanya lebih romantis —karena masuknya tidak lewat dentuman mesiu, tapi lewat janji manis pembangunan.

Empat abad lalu, Portugis dan Belanda menyinggahi Nusantara. Mereka bilang hanya mau berdagang rempah-rempah. Lama-lama mereka bikin benteng, monopoli pasar, bahkan ikut campur urusan politik raja-raja lokal. Belanda lebih lihai: VOC, perusahaan dagang yang katanya pedagang biasa, malah punya tentara, bisa pungut pajak, dan berkuasa seperti negara. Raja-raja kecil yang awalnya merasa berdaulat, pelan-pelan kehilangan kendali.

Kini sejarah terasa mengulang. Indonesia jadi incaran lagi: tambang, energi, laut, pariwisata. Bedanya, tidak ada kapal perang atau meriam yang datang. Yang datang adalah utusan bisnis dengan jas licin, menawarkan investasi infrastruktur, kawasan industri, sampai wisata.

Dan jangan lupa, bukan hanya Barat yang main di sini. Tiongkok tampil sebagai pemain besar. Dengan modal raksasa, mereka hadir lewat proyek jalan tol, pelabuhan, kereta cepat, bahkan “paket lengkap” kota mandiri. Masuknya pun lewat bahasa indah: kerja sama, investasi, pinjaman lunak, transfer teknologi. Siapa yang tidak tergoda?

Tapi persis seperti buaya darat, rayuan manis sering menyembunyikan jebakan. Dulu raja-raja kecil Nusantara jadi tergantung pada senjata dan perlindungan VOC. Sekarang, “raja kecil” baru —pemerintah daerah, BUMN, kementerian —bisa terikat pada kontrak jangka panjang, utang yang sulit dilunasi, dan teknologi yang tidak sepenuhnya kita kuasai.

Bedanya hanya cara: dulu penjajahan pakai kekerasan, kini penjajahan pakai rayuan ekonomi. Tapi ujungnya bisa sama: ketergantungan. Inilah yang disebut neo-kolonialisme —penjajahan rasa baru.

Risikonya jelas. Aset strategis bisa berpindah kendali, kebijakan pembangunan bisa lebih mengutamakan investor ketimbang rakyat, masyarakat lokal hanya jadi penonton di tanah sendiri. Kalau dulu kita dijajah empat abad karena tergoda perdagangan rempah, apakah kita akan mengulang dengan tergoda janji infrastruktur?

Belajar dari sejarah, mestinya kita lebih cerdas. Investasi memang dibutuhkan, tapi harus dengan regulasi ketat, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat. Jangan sampai kita menggadaikan kedaulatan demi segenggam janji.

Dulu VOC datang dengan kapal layar, meriam, dan bendera Belanda. Kini mereka datang dengan proposal, pinjaman, dan bendera Tiongkok. Bedanya cuma gaya pendekatan. Pertanyaannya, apakah kita sudah lebih dewasa? Atau masih mudah terbuai rayuan, hingga akhirnya sejarah benar-benar berulang —kali ini dengan wajah yang lebih romantis?***


Special Series : Trilogi Sejarah Penjajahan yang Berulang
Seri 2 - Janji Manis Pembangunan yang Membius
Seri 3 - Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton di Tanah Sendiri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar