Halaman

Cari Blog Ini

September 22, 2025

Seri 3 - Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton di Tanah Sendiri

Di banyak sudut negeri, kisah pembangunan besar selalu datang dengan gegap gempita. Spanduk warna-warni terpasang, pejabat datang berkunjung, janji kemajuan dilontarkan. Tapi setelah suara alat berat reda, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan?

Seringkali jawabannya bukanlah rakyat sekitar. Nelayan yang sejak turun-temurun melaut di perairan tertentu tiba-tiba menemukan lautnya penuh dermaga dan kapal asing. Petani yang mengolah sawah warisan keluarga harus angkat kaki karena tanahnya masuk peta kawasan industri. Warga yang tadinya hidup tenang mendadak hanya bisa menonton pagar tinggi membatasi akses ke tanah yang dulu mereka pijak bebas.


Yang tersisa untuk rakyat kecil biasanya tak lebih dari status “tenaga kerja lokal” —itu pun sering hanya pekerjaan kasar dengan upah seadanya. Ironisnya, di tanah sendiri mereka tidak lebih dari penonton yang tak diundang. Seolah-olah pembangunan hadir bukan untuk mereka, melainkan lewat mereka.

Cerita semacam ini tidak asing. Kita pernah mendengar kabar nelayan kehilangan tempat sandar, atau petani kecil kalah oleh perkebunan besar. Di balik jargon “pembangunan untuk kesejahteraan”, ada wajah muram yang jarang masuk kamera televisi. Mereka bukan menolak kemajuan, tapi bertanya dengan getir: “Kenapa kami tidak pernah duduk di kursi pengambil keputusan?”

Jika menengok sejarah, wajah penjajahan dulu juga serupa. Rakyat kecil menjadi pihak yang paling cepat terdampak dan paling lambat menikmati manfaat. Dulu mereka dipaksa menyerahkan hasil bumi untuk kongsi dagang asing. Kini, mereka menyerahkan tanah dan akses hidupnya untuk proyek yang namanya pun kadang terdengar asing di telinga.

Kisah rakyat yang hanya jadi penonton ini seharusnya jadi alarm keras. Sebab pembangunan tanpa keterlibatan rakyat adalah pembangunan yang rapuh. Gedung tinggi bisa berdiri, jalan mulus bisa terbentang, tapi bila warga di sekitarnya merasa terasing, apa gunanya semua itu?

Ada satu contoh sederhana: di banyak tempat wisata yang digarap investor, masyarakat lokal akhirnya hanya kebagian menjual kelapa muda di pinggir pantai. Bandingkan dengan model yang melibatkan mereka sejak awal —menjadi pengelola homestay, pemandu wisata, penyedia kuliner, hingga pemilik usaha kecil. Bedanya terasa: yang pertama hanya “survive”, yang kedua benar-benar “sejahtera”.

Inilah titik di mana peran negara menjadi kunci. Pemerintah mestinya tidak hanya menjadi juru bicara investor, tetapi pelindung rakyatnya sendiri. Tanpa keberpihakan jelas, rakyat akan terus tertinggal di belakang pagar proyek. Pembangunan akan jadi tontonan, bukan kepemilikan.

Dan bukankah itu bentuk penjajahan paling halus? Ketika rakyat merasa asing di tanah sendiri, ketika mereka hanya bisa menunjuk gedung tinggi sambil berkata, “Itu dulu katanya milik kita,” padahal kenyataannya mereka bahkan tak berhak masuk tanpa izin.

Sejarah selalu memberi pelajaran yang sama: bangsa yang abai pada rakyatnya akan selalu membuka pintu bagi pihak lain untuk masuk dan berkuasa. Jika kita tak ingin hanya jadi penonton di negeri sendiri, maka pembangunan harus menempatkan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar figuran yang muncul sebentar lalu hilang.

Karena pada akhirnya, negeri ini bukan hanya soal angka pertumbuhan atau jumlah proyek yang diresmikan, melainkan soal siapa yang benar-benar merasa punya rumah di tanahnya sendiri.***


Special Series : Trilogi Sejarah Penjajahan yang Berulang
Seri 1 - Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam
Seri 2 - Janji Manis Pembangunan yang Membius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar