Halaman

Cari Blog Ini

September 22, 2025

Seri 2 - Janji Manis Pembangunan yang Membius

Kita semua sudah akrab dengan istilah utang luar negeri. Dulu, istilah itu sering terdengar di ruang kelas ekonomi atau headline koran. Sekarang, wujudnya jauh lebih dekat dengan keseharian kita. Kalau di aplikasi belanja ada paylater yang bikin orang bisa konsumtif tanpa terasa, maka di tingkat negara ada skema pinjaman dan investasi asing yang menawarkan janji pembangunan instan.

Bandara baru, jalan tol membentang, pelabuhan megah, hingga kawasan industri raksasa —semua hadir dengan narasi kemajuan. Negara tetangga memuji, pejabat bangga, rakyat terpukau. Tapi jarang yang menanyakan: siapa yang sebenarnya membayar semua itu, dan apa harga yang harus ditanggung di masa depan?


Di balik seremoni peresmian proyek, biasanya ada perjanjian panjang yang mengikat. Modal datang bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga paket lengkap: kontraktor dari luar, material impor, bahkan tenaga kerja yang didatangkan khusus. Alhasil, perputaran uang sering tidak benar-benar menghidupkan ekonomi lokal. Yang tersisa untuk masyarakat sekitar hanyalah pekerjaan kasar, atau sekadar kesempatan membuka warung kecil di pinggir proyek.

Lebih rumit lagi, pinjaman berbunga lembut di awal bisa berubah jadi beban berat di akhir. Banyak negara berkembang lain sudah merasakan ini. Infrastruktur memang berdiri megah, tapi tak sedikit yang kemudian tergadai karena gagal bayar. Pelabuhan, bandara, hingga lahan strategis akhirnya harus diserahkan sebagai kompensasi. Sejarah modern mencatatnya dengan istilah halus: debt trap diplomacy.

Di titik inilah muncul dilema besar: pembangunan memang perlu, modal asing pun sulit dihindari. Tapi apakah kita sekadar menjadi konsumen pembangunan —menikmati sesaat lalu menanggung cicilan panjang —atau bisa menjadikannya pijakan kemandirian?

Masalahnya, logika politik jangka pendek sering lebih dominan. Pemerintah mana pun ingin menorehkan warisan monumental dalam lima tahun kekuasaan: jalan baru, gedung baru, proyek mercusuar. Sedangkan beban cicilan biasanya baru terasa 10 atau 20 tahun kemudian, ketika kursi sudah berganti pemilik. Rakyatlah yang tetap setia membayar, entah lewat pajak, tarif, atau harga kebutuhan yang naik.

Analogi sederhananya begini: membangun rumah dengan pinjaman bank bukan masalah, asal penghasilan jelas, cicilan terkendali, dan rumah itu memang ditempati sendiri. Tapi bayangkan kalau rumah dibangun dengan kontraktor yang sekaligus pemilik bank, material harus beli di tokonya, pekerja juga dia yang sediakan, dan setelah selesai ternyata rumahnya malah bisa disita kalau cicilan macet. Masihkah kita bisa merasa sebagai tuan rumah?

Itulah mengapa penting bagi kita melihat lebih kritis setiap “janji manis pembangunan”. Jangan hanya terbuai dengan potongan pita dan lampu sorot di hari peresmian. Pertanyaan yang perlu terus diulang adalah: siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan seberapa besar ruang rakyat untuk ikut berdaulat atas tanah dan sumber daya mereka sendiri?

Kalau tidak, kita bisa saja berakhir seperti konsumen paylater yang tersenyum puas saat barang baru datang, tapi gelisah setiap tanggal jatuh tempo tiba. Bedanya, ini bukan sekadar cicilan pribadi —melainkan nasib seluruh bangsa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar