Halaman

Cari Blog Ini

September 18, 2025

Main HP Sambil Nyetir Motor: Keren atau Konyol?

Pernah ikut deg-degan lihat mobil hampir ketabrak motor gara-gara sibuk main HP?

Pernahkah bertanya-tanya, apa yang sebenarnya lebih penting: pesan WhatsApp yang baru masuk atau nyawa di atas motor?

Di jalan-jalan kita hari ini, pemandangan itu jadi rutin. Satu tangan di setang, satu tangan di layar. Mata bolak-balik dari jalan ke ponsel, dari ponsel ke jalan. Chat, notifikasi, atau scroll media sosial seakan tak bisa menunggu sampai motor berhenti. Fenomena ini sudah seperti kebiasaan nasional. Gak muda, gak tua. Gak laki-laki, gak perempuan. Dari jalan kota sampai jalan komplek, makin banyak pengendara motor yang lebih sibuk dengan media sosial daripada menjaga keselamatan di jalan.

Masalahnya bukan cuma soal etika, tapi soal nyawa. Mengendarai motor itu butuh fokus: mata memantau jalan, tangan mengendalikan setang, otak menghitung kecepatan, kaki siap menginjak rem. Begitu fokus terpecah, perjalanan bisa berubah jadi ajang judi — dan taruhannya adalah nyawa.

Data dari Korlantas Polri mencatat, salah satu penyebab tertinggi kecelakaan lalu lintas adalah distraksi pengendara, termasuk bermain ponsel. WHO bahkan menyebut penggunaan ponsel saat berkendara sebagai faktor risiko utama kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia. Jadi, ini bukan sekadar “cuma baca chat sebentar kok...”, tapi “cuma” mempertaruhkan keselamatan Anda dan orang lain.

Secara hukum, perilaku ini melanggar Pasal 283 UU Lalu Lintas. Sanksinya? Denda maksimal Rp750.000 atau kurungan maksimal 3 bulan. Tapi ironisnya, hukuman sosial di jalan kadang lebih keras: klakson panjang dari belakang, tatapan sinis sesama pengendara, bahkan sumpah serapah yang terlempar begitu saja.

Dari sisi psikologi, fenomena ini bagian dari habit loop — kebiasaan otomatis yang dipicu notifikasi. Otak kita mengasosiasikan bunyi ting dari HP dengan rasa ingin tahu. Lalu kita mendapat “hadiah” berupa pesan yang memicu lonjakan dopamin. Rasa puas itu membuat kita mengulanginya lagi dan lagi, bahkan saat kondisi tidak aman seperti mengendarai motor.

Sosiologi juga punya penjelasannya. Kita hidup di era keterhubungan permanen: norma sosial menuntut kita selalu available. Kalau telat balas WA grup kantor atau pesan pasangan, kita bisa dianggap tidak responsif. Tekanan sosial itu membuat banyak orang merasa wajib membuka HP kapan saja, bahkan di jalan. Ini ditambah dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) — takut ketinggalan kabar terbaru — yang bikin kita semakin impulsif, bertindak spontan tanpa memikirkan konsekuensi atau akibatnya.

Kita sering merasa multitasking itu keren, seolah-olah jadi manusia super yang bisa melakukan banyak hal sekaligus. Padahal di atas motor, multitasking justru bisa jadi bencana. Begitu satu tangan mengangkat ponsel dan mata melirik layar, otak kehilangan separuh fokusnya. Reaksi yang seharusnya reflek sepersekian detik, bisa melambat jadi dua atau tiga detik. Itu cukup untuk membuat Anda gagal mengerem saat mobil depan berhenti mendadak, atau terlambat menghindar dari lubang jalan.

Solusinya sederhana: jika pesan itu penting, berhentilah sebentar. Pinggirkan motor di tempat aman, balas pesan, lalu lanjutkan perjalanan. Tidak ada pesan yang seharga nyawa Anda. Tidak ada notifikasi yang pantas membuat Anda kehilangan kendali di jalan.

Mungkin kita perlu mengingatkan diri sendiri: jalan raya bukan ruang chat. Tangan di setang, mata ke depan, pikiran ke jalan. Karena di jalan, siapapun ingin selamat sampai tujuan. Saya, Anda, mereka —semua orang ingin pulang utuh.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar