Kemarin sore, di tengah
kemacetan yang seperti tak berujung, saya membayangkan jalanan itu seperti sebuah
foto: sama di mata semua orang, tapi cara kita melihatnya bisa membuat
maknanya berbeda-beda. Di sebelah kanan, ada pengendara tersenyum sambil
mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, seolah sedang memainkan drum. Sementara di
sebelah kiri, ada pengendara yang menekan-nekan tombol klakson dengan wajah kesal. Jalanan
sama, macetnya sama, tapi rasanya jelas berbeda. Bagaimana bisa begitu?
Psikolog Daniel Kahneman menyebutnya framing effect: cara kita membingkai pengalaman bisa mengubah seluruh rasanya. Otak kita punya kebiasaan aneh, lebih cepat menangkap ancaman ketimbang harapan. Maka, wajar kalau macet terasa seperti ujian kesabaran tingkat dewa, sementara hujan sore bisa membuat kita merasa dunia ikut muram.
Tapi, siapa bilang bingkai tak bisa diganti? Saya pernah mencoba membingkai macet sebagai bonus waktu — kesempatan untuk mendengarkan lagu favorit di radio lebih lama, atau sekadar berpikir tanpa tergesa. Rasanya lumayan menenangkan. Bahkan, saya sempat menertawakan diri sendiri karena dulu sering menganggap kemacetan sebagai konspirasi semesta untuk menguji iman.
Peneliti emosi positif, Barbara Fredrickson, bilang bahwa optimisme membuat pikiran kita lebih luas. Orang yang melihat tantangan sebagai peluang biasanya lebih tahan banting, lebih kreatif, dan lebih jarang mengeluh.
Tentu, bukan berarti kita harus selalu tersenyum palsu di setiap kesulitan. Tapi memberi bingkai baru sering kali cukup untuk membuat kita bertahan sedikit lebih lama, bahkan mungkin menemukan keajaiban di tengah kekacauan.
Sore itu, macet masih belum bergerak. Tapi saya sadar, yang perlu berubah bukan jalanannya — melainkan cara kita menjalaninya. Mungkin hidup pun begitu: tidak perlu menunggu semuanya menjadi baik-baik saja untuk bisa tenang. Kadang cukup mengganti bingkai, dan foto lama pun terlihat baru.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar