Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 15, 2025

Ngaku Bela Pedagang Kecil, Tapi Kalau Nawar Setengah Mati!

Dipikir-pikir, lucu juga kelakuan kita ini. Di medsos kita sering tegas komen: “Dukung UMKM, lindungi pedagang kecil, jangan ditindas!” Tapi begitu turun langsung ke pasar atau ketemu penjual keliling di depan rumah, refleks keluar jurus maut: tawar setengah harga. Semangat membela pedagang kecil ternyata cuma retorika di dunia maya. Di dunia nyata, dompet tetap jadi panglima.

Pemandangan ini bukan hal baru. Di televisi dan media sosial, ramai-ramai orang mengutuk kebijakan yang dianggap mematikan pedagang kecil. “Kasihan pedagang kaki lima! Mereka tulang punggung ekonomi rakyat!” seru kita penuh semangat. Tapi saat bertemu pedagang kecil di pinggir jalan, sikap bisa berubah 180 derajat. Harga Rp10.000 ditawar jadi Rp5.000. Kalau bisa ditekan sampai separuh, baru hati lega. Ironinya, kalau beli secangkir kopi Rp50.000 di kafe, kita bayar tanpa banyak tanya, bahkan selfie sambil senyum bangga.

Fenomena ini ada penjelasan psikologisnya. Dalam psikologi perilaku, dikenal istilah dual moral standard—standar ganda yang kita pakai sesuai situasi. Di ruang publik, membela pedagang kecil jadi bagian dari identitas sosial: kita merasa orang baik, peduli rakyat kecil. Tapi begitu masuk ruang transaksi, otak reptil kita yang bekerja: cari harga termurah, seaman mungkin buat kantong sendiri. Hasilnya, empati yang tadinya lantang di medsos atau forum resmi, sekarang “diliburkan”.

Secara ekonomi, tawar-menawar itu wajar. Itu bagian dari mekanisme pasar tradisional. Tapi kalau nawar sampai sadis, di bawah modal, lalu pergi sambil nyeletuk: “Mahal banget sih, dasar aji mumpung!” —di situlah problemnya. Kita bukan sedang membantu pedagang kecil bertahan, tapi justru ikut menggerus ruang hidup mereka.

Sebuah riset dari University of Michigan bahkan menunjukkan, rasa empati bisa menurun drastis saat seseorang berada dalam posisi transaksi langsung. Kita jadi lebih kalkulatif, bukan simpatik. Makanya, di media sosial kita bisa terdengar heroik, tapi di lapangan bisa berubah jadi kalkulator berjalan.

Lebih ironis lagi, setelah menawar sampai mepet, kita sering pulang dengan perasaan puas. Padahal bagi pedagang kecil, itu bisa berarti tambahan jam kerja hanya untuk menutup kerugian hari itu.

Mungkin sudah saatnya kita balik cara pandang. Kalau benar mau bela pedagang kecil, jangan hanya retorika atau komen di medsos. Sesekali belilah tanpa nawar, atau kalaupun menawar, tipis-tipis saja. Bahkan kalau bisa, sisipkan sedikit tips. Itu bukan soal harga semata, tapi soal penghargaan atas keringat mereka.

Sebab pada akhirnya, ukuran kepedulian bukan seberapa keras kita bersuara di dunia maya, melainkan seberapa tulus kita bertindak di dunia nyata. Membela pedagang kecil bukan dengan kata-kata, tapi dengan rela bayar harga wajar tanpa drama tawar sadis!***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar