Pemandangan ini bukan hal baru. Di televisi dan media sosial, ramai-ramai orang mengutuk kebijakan yang dianggap mematikan pedagang kecil. “Kasihan pedagang kaki lima! Mereka tulang punggung ekonomi rakyat!” seru kita penuh semangat. Tapi saat bertemu pedagang kecil di pinggir jalan, sikap bisa berubah 180 derajat. Harga Rp10.000 ditawar jadi Rp5.000. Kalau bisa ditekan sampai separuh, baru hati lega. Ironinya, kalau beli secangkir kopi Rp50.000 di kafe, kita bayar tanpa banyak tanya, bahkan selfie sambil senyum bangga.
Fenomena ini ada penjelasan
psikologisnya. Dalam psikologi perilaku, dikenal istilah dual moral standard—standar ganda yang kita
pakai sesuai situasi. Di ruang publik, membela pedagang kecil jadi bagian dari
identitas sosial: kita merasa orang baik, peduli rakyat kecil. Tapi begitu
masuk ruang transaksi, otak reptil kita
yang bekerja: cari harga termurah, seaman mungkin buat kantong sendiri.
Hasilnya, empati yang tadinya lantang di medsos atau forum resmi, sekarang
“diliburkan”.
Secara ekonomi,
tawar-menawar itu wajar. Itu bagian dari mekanisme pasar
tradisional. Tapi kalau nawar sampai sadis, di bawah
modal, lalu pergi sambil nyeletuk: “Mahal banget sih, dasar aji
mumpung!” —di situlah problemnya. Kita bukan sedang membantu pedagang
kecil bertahan, tapi justru ikut menggerus ruang hidup mereka.
Sebuah riset dari
University of Michigan bahkan menunjukkan, rasa empati bisa menurun drastis saat
seseorang berada dalam posisi transaksi langsung. Kita jadi lebih kalkulatif,
bukan simpatik. Makanya, di media sosial kita bisa terdengar heroik, tapi di
lapangan bisa berubah jadi kalkulator berjalan.
Lebih ironis lagi, setelah
menawar sampai mepet, kita sering pulang dengan perasaan puas. Padahal bagi
pedagang kecil, itu bisa berarti tambahan jam kerja hanya untuk menutup
kerugian hari itu.
Mungkin sudah saatnya kita
balik cara pandang. Kalau benar mau bela pedagang kecil, jangan hanya retorika
atau komen di medsos. Sesekali belilah tanpa nawar, atau kalaupun menawar,
tipis-tipis saja. Bahkan kalau bisa, sisipkan sedikit tips. Itu bukan soal
harga semata, tapi soal penghargaan atas keringat mereka.
Sebab pada akhirnya, ukuran
kepedulian bukan seberapa keras kita bersuara di dunia maya, melainkan seberapa
tulus kita bertindak di dunia nyata. Membela pedagang kecil bukan dengan
kata-kata, tapi dengan rela bayar harga wajar —tanpa
drama tawar sadis!***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar