Sekejap, senyum sumringah merebak. Bagaimana tidak, sejak 2020 para ahli hisap sudah cukup tersiksa merasakan “sesak”. Bukan oleh asap rokok, tapi oleh harga yang melonjak gila-gilaan akibat kenaikan cukai yang meroket. Kini, kabar cukai tak naik membuat napas sedikit lega, walau dompet masih tertekan. Seorang petani tembakau tersenyum puas, seorang pekerja pabrik meneguk botol minum sambil berseloroh: “Kantong aman, hati aman... aman dah!”
Menurut pakar sosiologi, ini fenomena emotional
relief in economic tension: kegembiraan sesaat ketika tekanan dicabut. Dari
perspektif psikologi, senyum sumringah itu juga coping mechanism klasik:
manusia menyalurkan stres melalui humor, candaan, atau sekadar tersenyum
lega—seolah mengembalikan sedikit kendali atas tekanan ekonomi yang nyata. Bagi
para ahli hisap, ini bukan cuma soal harga, tapi identitas sosial dan
keterlibatan dalam industri yang menopang jutaan hidup.
Sudah lima tahun mereka memang tercekik
oleh harga rokok yang bukan cuma naik, tapi lebih tepatnya “ganti harga”. Jadi,
kabar tidak naik saja sudah bikin napas lega. Kalau turun? Wah, itu euforia tingkat nasional! Warung kopi bisa buka 24 jam
menemani tawa para ahli hisap, petani nyengir selebar daun tembakau, pekerja
pabrik joget kecil di jalan. Wong gak
naik aja udah nikmat, apalagi kalau turun, Bro! 😂
Menyeruput ampas sisa kopi pagi itu, saya
tersenyum. Mereka pun tersenyum menikmati kemenangan kecil —bukan karena harga turun, tapi
karena tidak naik. Kadang, kebijakan ekonomi tak perlu spektakuler; cukup
membuat rakyat merasa lega di tengah sesaknya napas, sudah menjadi kemenangan sosial
yang sederhana tapi heroik.***
Note:
Tulisan ini tidak bermaksud mendorong atau memotivasi pembaca untuk merokok.
Semua narasi dibuat berdasarkan pengamatan sosial dan fenomena publik terkait
kebijakan cukai rokok, dengan tujuan merefleksikan realitas masyarakat dan efek
kebijakan nasional.
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar