Tadi pagi itu saya berkunjung ke sebuah kantor perusahaan di pinggiran kota. Ruangan terbuka, deretan meja kerja berjajar, komputer menyala, suara ketikan bersahutan. Dari sudut pandang tamu, saya bisa menyaksikan empat wajah berbeda yang seolah mewakili seluruh dunia kerja.
Ada pegawai muda yang cekatan menjawab telepon sementara tangan lainnya bergerak lincah di keyboard laptop, dan sesekali melempar senyum pada setiap yang lewat. Malah mungkin kalau bisa, dia akan juggling bola di udara untuk membuktikan bahwa multitasking bukan mitos. Di sebelahnya, staf senior duduk dengan wajah datar. Ilmunya segudang, pengalamannya seabrek, tapi sorot matanya mengatakan: “Ah... kemarin begitu, sekarang begini, besok juga masih ada hari.” Tak jauh, tampak pegawai baru yang sering salah klik, salah ketik, salah cetak laporan. Tapi ia rajin bertanya, semangatnya mengalahkan powerbank 20 ribu mAh. Dan di pojok ruangan, ada yang sibuk menatap layar ponsel lebih lama daripada nunggu antrean sembako gratis, wajahnya masam seolah menunggu jam pulang.
Fenomena itu sederhana, tapi entah kenapa selalu ada di mana-mana.
Kehidupan kerja memang penuh kontradiksi. Ada pegawai yang punya kemampuan sekaligus kemauan, ada yang punya kemampuan tapi tidak punya kemauan, ada yang tidak punya kemampuan tapi punya kemauan, dan ada juga yang tidak punya kemampuan sekaligus juga tidak punya kemauan. Lengkap! Keempat tipe ini bukan sekadar stereotipe, melainkan kenyataan sehari-hari. Seperti sebuah drama, mereka main bersamaan dalam satu panggung: pemeran utama, pemeran pendukung, pemeran komedi, dan pemeran yang sebenarnya tak jelas juga mengapa masih ada di panggung.
Pertanyaannya: apakah organisasi semisal perusahaan bisa jalan hanya dengan mengandalkan “bintang tim”? Seandainya iya, tentu kantor akan mulus seperti iklan lowongan kerja: “lingkungan kerja menyenangkan, gaji kompetitif, jenjang karier jelas.” Kenyataannya, “kompetitif” itu artinya rebutan printer di ruangan, dan “jenjang karier” sering kali berupa tangga bambu yang goyah. Harus kuat pegangan dan lihai jaga keseimbangan.
Psikologi manajemen menyebut ini kombinasi skill dan will: kemampuan dan kemauan. Teori klasik berkata: orang dengan skill tinggi dan will tinggi adalah aset utama. Betul sekali, mereka ibarat mesin turbo. Sayangnya, mesin turbo sering kali dipakai untuk menarik gerobak yang bannya kempes.
Sebaliknya, orang dengan skill rendah dan will rendah disebut beban organisasi. Ini eufemisme. Dalam bahasa sehari-hari, disebut “biaya tetap.” Mereka datang, duduk, diam dan....gajian.
Dua kategori di tengah adalah drama sesungguhnya. Yang rajin tapi belum terampil ibarat driver ojol baru yang penuh semangat tapi masih suka nyasar. Yang pintar tapi malas, itu lebih menyakitkan lagi —potensi besar yang dibiarkan menguap. Kalau ditanya, jawabannya klasik: “nanti juga beres.” Sayangnya, “nanti” itu biasanya berarti “tidak akan pernah.”
Fenomena ini tidak hanya di kantor. Di sekolah, ada murid jenius yang malas mengerjakan PR, ada murid biasa-biasa saja tapi rela begadang demi hafalan, dan ada murid yang entah bagaimana selalu hadir di ruang kelas tapi nilainya tetap nol koma sekian. Di masyarakat, saat gotong royong, ada yang jadi komando lapangan, ada yang hadir tapi sibuk ngopi di bawah pohon, ada yang rajin bawa cangkul tapi cangkulnya dipinjamkan ke orang lain, dan ada pula yang datang demi nasi Padang.
Organisasi tidak mungkin hanya dihuni oleh orang-orang sempurna. Variasi manusia itu paket lengkap. Tugas pemimpin bukan sekadar memilih, melainkan menata. Yang rajin tapi kikuk dibimbing, yang pintar tapi malas ditantang, dan yang tidak bisa sekaligus tidak mau —yah, kalau tidak sadar diri, mungkin sudah saatnya diarahkan jadi penonton saja, bukan pemain.
Saat meninggalkan kantor tadi, saya teringat empat wajah itu. Si pekerja bintang yang seolah minum obat kuat tiap pagi. Si ahli tapi malas yang jago hanya kalau sudah mood. Si pejuang kikuk yang salah cetak laporan berkali-kali tapi tetap maju. Dan si penghindar, yang kontribusinya lebih banyak ke algoritma media sosial daripada ke perusahaan.
Dunia kerja memang tak ubahnya panggung drama. Perannya berbeda-beda, tapi ujungnya sama: gaji cair pada waktunya, dan semua kembali mengulang adegan esok hari. Bedanya tinggal pilih: mau jadi pemeran utama atau figuran tak bernama.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar