Saya sempat berpikir, mungkin ada yang salah dengan definisi. Healing, dalam arti menyembuhkan, mestinya membawa tubuh dan pikiran ke arah sehat. Tapi yang saya lihat justru sebaliknya: leher kaku karena menunduk berjam-jam, kantong terkuras demi tiket masuk yang lebih mahal dari nasi rames tiga kali sehari, dan ironisnya pikiran makin kusut karena harus membandingkan jumlah like di Instagram.
Secara populer, healing dianggap setara dengan
liburan. Pergi ke pantai, ke gunung, atau sekadar nongkrong di kafe
instagramable. Padahal, penelitian psikologi sederhana menunjukkan: istirahat
efektif justru bukan soal tempat, melainkan kualitas relaksasi. Tidur siang
satu jam bisa lebih menyehatkan daripada antre dua jam di loket wisata. Bahkan,
tertawa tulus bersama teman dekat bisa menurunkan hormon stres lebih cepat
daripada menunggu golden hour demi
feed estetik.
Yang bikin lucu —atau menyedihkan— healing hari
ini sering jadi kompetisi. Kalau dulu orang bercerita dengan mata berbinar soal
perjalanan, sekarang orang pamer dengan filter berbinar di layar. Ilmu
komunikasi menyebutnya “performative
sharing”: bukan tentang apa yang kita rasakan, tapi bagaimana kita ingin
orang lain melihat kita. Maka tak heran, yang mestinya jadi sarana pemulihan
malah berubah jadi sumber tekanan.
Kembali ke kafe berlatar sawah tadi. Seusai sesi
foto dan unggah, sebagian dari mereka malah mengeluh kepala pusing karena panas
matahari yang tak sesuai ekspektasi filter, atau saldo e-wallet yang menipis.
Saya jadi tersenyum getir. Healing macam apa yang ujung-ujungnya bikin sakit?
Mungkin refleksi paling sederhana adalah ini:
kalau niatnya menyembuhkan, berhentilah terlalu sibuk membuktikan diri. Kadang
healing paling mujarab justru saat kita mematikan kamera, menutup aplikasi, dan
memberi kesempatan tubuh benar-benar bernapas. Kalau healing berakhir bikin
tubuh pegal, dompet kering, dan hati kosong, mungkin yang kita butuhkan bukan
healing, tapi berhenti dari gaya hidup yang sok butuh healing.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar