Halaman

Cari Blog Ini

September 27, 2025

Healing Kok Bikin Pusing

Konon healing itu untuk menyegarkan jiwa. Tapi di kafe berlatar sawah yang saya lihat akhir pekan ini, yang segar justru cuma filter kamera. Kopi susu dengan gambar hati dibiarkan mendingin, tawa riuh terdengar tapi lebih sering ditujukan pada hasil foto. Semua sibuk mencari sudut terbaik, tapi lupa menemukan rasa tenang. “Healing,” kata mereka, sambil bersandar di kursi kayu yang lebih sering dipakai selfie daripada dipakai menikmati pemandangan.

Saya sempat berpikir, mungkin ada yang salah dengan definisi. Healing, dalam arti menyembuhkan, mestinya membawa tubuh dan pikiran ke arah sehat. Tapi yang saya lihat justru sebaliknya: leher kaku karena menunduk berjam-jam, kantong terkuras demi tiket masuk yang lebih mahal dari nasi rames tiga kali sehari, dan ironisnya pikiran makin kusut karena harus membandingkan jumlah like di Instagram.

Secara populer, healing dianggap setara dengan liburan. Pergi ke pantai, ke gunung, atau sekadar nongkrong di kafe instagramable. Padahal, penelitian psikologi sederhana menunjukkan: istirahat efektif justru bukan soal tempat, melainkan kualitas relaksasi. Tidur siang satu jam bisa lebih menyehatkan daripada antre dua jam di loket wisata. Bahkan, tertawa tulus bersama teman dekat bisa menurunkan hormon stres lebih cepat daripada menunggu golden hour demi feed estetik.

Yang bikin lucu —atau menyedihkan— healing hari ini sering jadi kompetisi. Kalau dulu orang bercerita dengan mata berbinar soal perjalanan, sekarang orang pamer dengan filter berbinar di layar. Ilmu komunikasi menyebutnya “performative sharing”: bukan tentang apa yang kita rasakan, tapi bagaimana kita ingin orang lain melihat kita. Maka tak heran, yang mestinya jadi sarana pemulihan malah berubah jadi sumber tekanan.

Kembali ke kafe berlatar sawah tadi. Seusai sesi foto dan unggah, sebagian dari mereka malah mengeluh kepala pusing karena panas matahari yang tak sesuai ekspektasi filter, atau saldo e-wallet yang menipis. Saya jadi tersenyum getir. Healing macam apa yang ujung-ujungnya bikin sakit?

Mungkin refleksi paling sederhana adalah ini: kalau niatnya menyembuhkan, berhentilah terlalu sibuk membuktikan diri. Kadang healing paling mujarab justru saat kita mematikan kamera, menutup aplikasi, dan memberi kesempatan tubuh benar-benar bernapas. Kalau healing berakhir bikin tubuh pegal, dompet kering, dan hati kosong, mungkin yang kita butuhkan bukan healing, tapi berhenti dari gaya hidup yang sok butuh healing.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar