Halaman

Cari Blog Ini

September 26, 2025

Haruskah Polisi Tidur yang Membuat Kita Bangun?

Gas saya tarik agak dalam, motor meraung kecil seperti ayam jago baru bangun subuh. Jalan kampung masih sepi, hanya ada emak-emak yang sibuk nyapu halaman sambil teriak ke anaknya yang belum mandi. Angin pagi enak juga, bikin badan segar.

Tiba-tiba.... duk! Motor saya menghentak ke atas, pantat hampir mental. Bukan batu, bukan lubang. Ah, ternyata saya baru “disapa” polisi tidur. Diam, kaku, tapi sukses bikin jantung saya ikut melompat.

Asal-usul istilah ini cukup menarik. Konon, sejak tahun 1970–1980-an, jalan-jalan di Indonesia mulai ramai kendaraan, dan masalah ngebut sering memicu kecelakaan. Warga atau pihak berwenang membuat gundukan di jalan untuk memaksa kendaraan melambat. Karena fungsinya mirip polisi lalu lintas yang menahan pengendara, orang-orang pun memberi julukan jenaka: “Polisi Tidur”. Nama ini melekat hingga sekarang, meski istilah resminya adalah “pembatas kecepatan” atau speed bump/hump. Belanda sana mereka menyebutnya “slapende agent”, dan di Malaysia pun ada istilah serupa, "bonggol" atau "polisi tidur" juga.

Nah lucunya, polisi ini nggak pernah minta surat, nggak pernah nanya SIM, apalagi tilang. Dia cuma diam, telentang di jalan, tapi sakti. Semua pengendara, entah mahasiswa ngejar kelas atau bapak-bapak buru-buru kerja, pasti tunduk. Patuh. Mau motor bebek atau moge ratusan juta, semua sama: harus melambat di hadapannya.

Dan di situ saya sadar, polisi tidur itu jauh lebih adil daripada polisi beneran. Tidak pernah pilih kasih, tidak pernah lihat plat nomor, tidak pernah godain pengendara cantik. Dia bekerja 24 jam penuh, tanpa seragam, tanpa gaji. Polisi beneran? Ah, paling nongol sebentar di jam sibuk perempatan jalan. Atau kadang muncul cuma kalau ada razia. Itu pun lebih sering bikin orang cari jalan tikus ketimbang patuh aturan.

Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru menuding polisi. Kalau ditelusuri lebih jauh, soal ketertiban ini bukan cuma soal aparat. Kita pun, masyarakat biasa, sering tak kalah menyebalkan: patuh hanya kalau ada yang bikin takut, nurut hanya kalau ada yang menghadang.

Kita, manusia yang katanya berakal, baru bisa tertib kalau ada gundukan aspal. Kalau nggak ada polisi tidur, ngebut. Kalau nggak ada CCTV, nerobos lampu merah. Kalau nggak ada tetangga yang lihat, buang sampah sembarangan. Kita hidup dengan prinsip sederhana: taat kalau ada yang ngawasin.

Dalam psikologi sosial, ini disebut kontrol eksternal —perilaku kita hanya berjalan kalau ada pemicu dari luar. Padahal di banyak budaya, kepatuhan justru datang dari dalam. Orang Jepang, misalnya, antre rapi bukan karena ada polisi tidur, tapi karena ada rasa malu (haji no bunka) kalau melanggar. Dulu kita juga punya konsep pamali (tabu), larangan adat yang bikin orang segan berbuat sembarangan. Tapi sekarang? Pamali kalah pamor sama gengsi.

Di sinilah letak keanehan kita: aturan hanya hidup kalau ada sanksi, tradisi hanya diingat kalau ada pamali, dan budaya malu makin jarang dipakai sebagai rem. Akhirnya, yang bisa bikin kita berhenti bukan kesadaran, melainkan... polisi tidur itu tadi.

Ironisnya, yang tidur justru bikin orang sadar. Sementara yang bangun kadang malah dipertanyakan. Kita hidup di negeri yang aneh: yang diam bikin orang taat, yang ribut sering bikin orang pura-pura patuh. Mungkin benar, polisi tidur itu tak bicara. Tapi justru diamnya sering lebih nyaring daripada ribuan aturan yang kita pura-pura taati. Kita ini bangsa yang hanya bisa patuh kalau ada gundukan. Selebihnya, ya cuma akal-akalan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar