Budaya memberi di negeri ini bukan barang baru. Di zaman kerajaan, rakyat biasa membawa hasil bumi untuk dipersembahkan pada raja atau adipati. Di masa kolonial, petani menyetor sebagian hasil panen kepada tuan tanah. Bahkan setelah merdeka, kita masih terbiasa memberi oleh-oleh untuk pejabat yang datang berkunjung —mulai dari ayam kampung di keranjang bambu sampai amplop yang sudah tidak bisa lagi dilipat.
Antropolog Koentjaraningrat menyebut pola ini sebagai sistem patron-klien. Ada yang melindungi (patron), ada yang dilindungi (klien). Hubungan itu dijaga dengan saling memberi: patron memberi rasa aman atau perlindungan, klien memberi upeti atau tanda hormat. Hasilnya? Semua hidup tenteram.
Masalahnya, pola ini terbawa sampai era birokrasi modern. Hari ini, kita sudah punya KTP elektronik, tanda tangan digital, bahkan layanan online. Tapi entah kenapa, amplop cokelat masih seperti elemen wajib setiap kali urusan selesai. Bukan karena aturan, tapi karena tradisi. Rasanya seperti ada kutukan turun-temurun: urusan selesai tanpa imbalan, seperti sayur kurang garam —hambar.
Negara modern ingin semua layanan publik gratis dan bersih. Tapi budaya lama masih berbisik: kalau tidak memberi, hubunganmu dengan “patron” terasa dingin. Warga akhirnya mencari cara aman: kasih bingkisan dengan label “kenang-kenangan”, “uang transport”, atau “biaya administrasi”. Seolah-olah kata-kata itu bisa menyucikan isi amplop.
Psikolog sosial Robert Cialdini dalam Influence menjelaskan fenomena ini sebagai norma resiprositas —dorongan alami untuk membalas kebaikan agar hubungan sosial tetap seimbang. Kalau dibiarkan berat sebelah, kita merasa “punya hutang” untuk menyeimbangkannya. Itulah sebabnya ketika urusan selesai tanpa memberi apa pun sering bikin kita merasa canggung, bahkan bersalah.
Inilah ironi: kita hidup di zaman yang memaksa kita jadi warga negara modern, tapi mental kita masih petani zaman kerajaan. Kita ingin birokrasi yang bersih, tapi tangan kita tetap merogoh dompet. Kita ingin pejabat yang jujur, tapi kita juga ingin urusan cepat beres —dan amplop adalah shortcut yang paling familiar.
Mungkin saatnya kita sadar: patron sudah pensiun. Birokrasi bukan lagi kerajaan yang harus “diberi upeti”. Kita cukup bayar pajak, retribusi resmi, dan berterima kasih dengan tulus. Kalau mau memberi, beri pada yang benar-benar membutuhkan: fakir miskin, anak-anak terlantar atau warga sengsara. Bukan pada sistem yang sudah digaji dari uang kita juga.
Kalau tidak, kita akan terus hidup dalam siklus lama: pejabat merasa berhak menerima, rakyat merasa wajib memberi. Dan pada akhirnya, amplop menjadi semacam pusaka leluhur, yang diwariskan dari generasi ke generasi.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar