Fenomena “mendadak rapi” ini ternyata nyasar juga ke ruang publik. Begitu tersiar kabar pejabat penting akan berkunjung —entah presiden, menteri, atau gubernur— jalan becek mendadak kering, cat tembok diperbarui, taman yang gersang tiba-tiba berbunga seperti disiram mukjizat. Semua tampak indah dan teratur, seperti kota yang siap difoto dari udara untuk brosur pariwisata.
Sosiolog Erving Goffman menyebut manusia sebagai aktor
sosial yang selalu bermain di atas panggung.
Kita punya “front stage” untuk tampil meyakinkan di depan publik, dan “back
stage” tempat segala kekacauan disembunyikan. Di negeri ini, seni menata
panggung depan tampaknya sudah jadi budaya.
Di kantor pemerintahan, kebiasaan ini kadang tumbuh dari semangat ingin
menyenangkan atasan —sebuah refleks birokrasi yang sudah seperti naluri
kolektif. Trotoar disapu, pot bunga ditata, spanduk ucapan selamat terpasang
dalam hitungan jam —semua demi memastikan kunjungan singkat itu meninggalkan
kesan mendalam. Tapi begitu rombongan pulang ke ibu kota, realitas kembali ke
posisi semula: sandal nyasar, bunga layu, dan trotoar berubah lagi jadi lahan
parkir.
Jangan buru-buru menyalahkan siapa pun. Dalam psikologi sosial, ini
disebut impression management —upaya manusia mengendalikan
kesan orang lain. Kita semua melakukannya, hanya skalanya berbeda. Ada yang
menyembunyikan cucian, ada yang menyembunyikan ketidakpedulian. Intinya sama:
ingin terlihat baik, meski belum tentu benar-benar baik.
Barangkali ini soal budaya malu juga. Di masyarakat Timur, rasa malu sering
lebih kuat dari kesadaran moral. Kita membersihkan halaman bukan karena sadar
pentingnya kebersihan, tapi karena takut dinilai jorok; bekerja sungguh-sungguh
bukan karena tanggung jawab, tapi karena ada yang mengawasi. Maka, rapi dan
tertib sering kali jadi pertunjukan, bukan kebiasaan. Padahal, keteraturan
sejati justru teruji saat tak ada yang menonton —seperti warga Jepang atau
Singapura yang memungut sampah tanpa disuruh, sementara kita baru ingat menyapu
ketika rombongan pejabat mau datang.
Lucunya, di era media sosial, panggung depan itu kini pindah ke layar. Kita
menata ruang tamu bukan untuk tamu sungguhan, tapi demi followers.
Potongan hidup dipotret secantik mungkin —tanpa menampilkan sisa nasi di piring
atau tumpukan sampah di pojok kamar.
Apakah ini buruk? Tidak selalu. Tampil rapi bisa jadi awal perubahan, asal tak
berhenti sampai di situ. Masalahnya, kita sering puas dengan ilusi kerapian.
Seperti menyembunyikan cucian di balik pintu: cepat, praktis, tapi tak
menyelesaikan apa-apa.
Mungkin, yang kita butuhkan bukan pejabat yang rajin inspeksi, tapi kesadaran yang tumbuh tanpa sorotan. Bukan rumah berkilau untuk tamu, tapi tempat yang nyaman ditinggali setiap hari. Karena sejatinya, yang membuat hidup tampak indah bukan kepiawaian menyembunyikan kekacauan, melainkan keberanian menatanya —meski tak ada yang menonton.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar