Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 20, 2025

Kapan Level Hidup Naik?

Beberapa waktu lalu saya lihat keponakan bermain game di ponselnya. Matanya fokus, jarinya lincah, tapi setiap kali kalah ia langsung keluar dan memulai dari awal. “Huh... capek, levelnya susah!” katanya. Saya hanya tertawa kecil mendengar kalimat yang terasa akrab di telinga orang dewasa.

Bukankah hidup kita juga sering begitu? Sekalinya ditantang pekerjaan baru, hubungan rumit, atau diberikan tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya, kita tergoda menekan tombol “exit”. Daniel Kahneman, peraih Nobel ekonomi, menyebutnya cognitive ease —kecenderungan manusia memilih yang nyaman dan mudah. Wajar sih. Siapa juga yang suka susah? Tapi kalau terus di zona nyaman, hidup tak akan pernah naik level. Aman, iya. Menenangkan? Belum tentu.

Yang menarik, kita sering iri pada orang yang tampak “lebih tinggi levelnya” —lebih bahagia, lebih berani, lebih matang. Padahal bedanya sederhana: mereka memilih bertahan sedikit lebih lama di fase yang sulit, sementara kita sudah keburu keluar permainan.

Saya lihat lagi anak kecil itu, yang akhirnya berhasil menembus level sulit. Setelah berkali-kali jatuh dan bangkit, ia bersorak girang, “Akhirnya naik juga!” Wajahnya bersinar, seperti pemain bola yang baru saja mencetak gol. Saya tertawa lagi —kali ini dengan rasa syukur yang pelan, karena sadar kadang kemenangan kecil pun butuh perjuangan panjang.

Hidup itu memang seperti game. Kalau sukanya yang mudah, artinya kita masih di level rendah. Bedanya, hidup tak ada tombol pause atau restart. Yang ada hanya pilihan: berhenti di sini atau tekan tombol “continue”, dan buktikan bahwa kita layak berada di level yang lebih tinggi.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar