Beberapa
waktu lalu saya lihat keponakan bermain game
di ponselnya. Matanya fokus, jarinya lincah, tapi setiap kali kalah ia langsung
keluar dan memulai dari awal. “Huh... capek,
levelnya susah!” katanya. Saya hanya tertawa kecil mendengar kalimat yang terasa akrab di telinga orang dewasa.
Bukankah hidup kita juga sering begitu? Sekalinya ditantang pekerjaan baru, hubungan rumit, atau diberikan tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya, kita tergoda menekan tombol “exit”. Daniel Kahneman, peraih Nobel ekonomi, menyebutnya cognitive ease —kecenderungan manusia memilih yang nyaman dan mudah. Wajar sih. Siapa juga yang suka susah? Tapi kalau terus di zona nyaman, hidup tak akan pernah naik level. Aman, iya. Menenangkan? Belum tentu.
Yang
menarik, kita sering iri pada orang yang tampak “lebih tinggi levelnya” —lebih
bahagia, lebih berani, lebih matang. Padahal bedanya sederhana: mereka memilih
bertahan sedikit lebih lama di fase yang sulit, sementara kita sudah keburu
keluar permainan.
Saya
lihat lagi anak kecil itu, yang akhirnya berhasil menembus level sulit. Setelah berkali-kali jatuh dan bangkit, ia bersorak girang, “Akhirnya naik juga!” Wajahnya bersinar,
seperti pemain bola yang baru saja mencetak gol. Saya tertawa lagi —kali ini dengan
rasa syukur yang pelan, karena sadar kadang kemenangan kecil pun butuh
perjuangan panjang.
Hidup
itu memang seperti game. Kalau sukanya yang mudah, artinya kita
masih di level rendah. Bedanya, hidup tak ada tombol pause atau restart. Yang
ada hanya pilihan: berhenti di sini atau tekan tombol “continue”, dan buktikan bahwa
kita layak berada di level yang lebih tinggi.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar