Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 21, 2025

Mahalan Parkirnya daripada Barangnya

Pernahkah membeli barang seharga tujuh ribu tapi keluar sepuluh ribu hanya untuk parkirnya? Kadang hidup memang punya cara lucu mengajari kita tentang ketimpangan yang tak tercatat dalam buku ekonomi. Satu kawasan pertokoan bisa menjadi laboratorium sosial: di setiap lima puluh meter, ada satu orang dengan peluit dan rompi lusuh yang memungut “retribusi” dari siapa pun yang berhenti sejenak.

Motor baru berhenti, tangan belum lepas dari stang, tiba-tiba sudah ada suara: dua ribu, Bang. Lima toko didatangi demi satu barang sepele, dan setiap berhenti harus keluar dua ribu lagi. Kalau dikalkulasi, total ongkos parkirnya justru lebih mahal dari harga barang yang dibeli. Hukum pasar pun terdiam, mungkin ikut garuk-garuk kepala.

Ahli sosiologi menyebut fenomena semacam ini termasuk dalam “ekonomi informal perkotaan”. Ketika lapangan kerja formal terbatas, ruang publik berubah fungsi menjadi lahan ekonomi —trotoar jadi kios, bahu jalan jadi area parkir, bahkan persimpangan lampu merah jadi panggung pertunjukan. Tidak resmi, tapi nyata. Tidak sah, tapi eksis.

Tukang parkir liar kerap disalahkan, padahal sering kali mereka hanya ujung rantai panjang dari sistem setoran. Di belakangnya bisa ada koordinator, preman, atau oknum yang mengatur pembagian wilayah dan jadwal jaga. Mereka bekerja seperti pegawai tanpa SK —ada struktur, ada atasan, ada target. Hanya saja, kantor mereka adalah jalanan, dan gajinya berupa uang receh yang dikumpulkan per dua ribu.

Namun, di balik rompi lusuh dan tatapan garang itu, ada juga sisi manusiawi yang sulit diabaikan. Mereka berdiri di bawah terik matahari, mengandalkan peluit sebagai alat komunikasi dan keberanian sebagai modal utama. Banyak di antara mereka tidak memilih profesi itu, tapi tersesat di dalamnya—antara kebutuhan hidup dan harapan yang sudah terlalu lama digantung.

Lucunya, pengendara pun ikut berperan dalam mempertahankan sistem ini. Kita ingin parkir aman, cepat, dan dekat, tapi enggan berjalan sedikit lebih jauh. Kita tahu tak resmi, tapi malas ribut. Maka terbentuklah simbiosis: antara kasihan, malas, dan pasrah.

Akhirnya, barang tujuh ribu itu terbeli juga —disertai sepuluh ribu uang parkir dan sedikit pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan. Pernahkah membeli barang seharga tujuh ribu tapi kelur sepuluh ribu hanya untuk parkirnya? Kalau belum, jangan dicoba —bukan karena mahal, takut kelamaan berpikir dan lupa arah pulang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar