Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 25, 2025

Diskon yang Tak Pernah Benar-Benar Diskon

Langkah kaki terhenti di depan etalase yang nyaris berteriak: DISKON 70%!. Lampu sorotnya terang, warnanya berpendar merah dan kuning mencolok, seolah ingin memastikan siapa pun yang lewat tak bisa berpaling. Di dalam, deretan manekin berdiri gagah dengan label harga yang digantung seperti medali kemenangan. Musik elektro house bergema, aroma kopi dan parfum bercampur jadi satu —suasana khas supermall yang dirancang untuk membuat pengunjung betah… dan kalap.

Saya tersenyum. Beginilah cara modern menggoda manusia. Tak ada rayuan lembut, tak perlu janji manis. Cukup selembar kertas bertuliskan Sale! berukuran setengah pintu, dan ribuan langkah kaki akan mengarah ke sana, seolah dikendalikan oleh insting yang takut kehilangan kesempatan.

Label diskon memang ampuh. Cetak angkanya besar-besar, tulis potongannya tinggi-tinggi, ulang promosinya sesering mungkin —dan pembeli pun berbondong-bondong datang. Rasionalitas kalah oleh euforia. Dalam sekejap, papan bertuliskan “SALE 70%” mampu meninabobokan akal sehat yang biasanya kritis.

Padahal, di balik huruf-huruf tebal itu, ada potensi pelanggaran hukum yang tidak bisa dianggap sepele. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan tegas melarang praktik semacam ini. Pasal 9 ayat (1) huruf a menyebut, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan barang dengan cara yang menyesatkan, termasuk menampilkan potongan harga yang palsu atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Jadi, meski tampak sepele, menempelkan label “diskon palsu” bukan sekadar strategi marketing —itu bisa berujung pidana. Menurut Pasal 62 ayat (1), bahkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 5 tahun atau denda maksimal 2 miliar rupiah.

Ironisnya, banyak penjual masih memandangnya sebagai “trik kreatif” yang lumrah, dan sebagian konsumen pun seolah menikmati permainan ini. Barangkali karena bagi penjual itu adalah trik, dan bagi pembeli itu adalah hiburan. Dan seperti semua hiburan, tak masalah siapa yang tertipu —asal senang.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar