“Meskipun sering tidak patuh, dia
adalah murid yang sangat baik dan pintar,” kata Pak Guru
menilai Ucup, suatu kali. Kalimat yang sederhana, tapi jarang terdengar di
sekolah-sekolah yang lebih sering memuja kepatuhan daripada keingintahuan.
Ucup bukan anak yang sulit. Ia hanya sulit menyesuaikan diri dengan aturan yang baginya tak masuk akal. Kalau bel masuk belum bunyi tapi ia sudah di depan pintu kelas, mengapa tetap dianggap terlambat? Kalau tugas menggambar pohon, mengapa semua harus berwarna hijau? Pohon di hatinya mungkin sedang musim kemarau. Tapi sistem tak mengenal musim perasaan; ia hanya mengenal aturan penilaian.
Dalam ruang kelas yang
diatur rapi dan penuh simbol ketertiban, Ucup adalah tanda seru di tengah
barisan koma. Ia bisa mengganggu jalannya pelajaran, tapi juga yang paling
cepat paham ketika guru menjelaskan sesuatu yang sulit. Kadang, anak seperti
ini justru memaksa guru berpikir ulang —bukan soal pelajaran, tapi soal makna
mendidik itu sendiri.
Kenakalannya pun punya
variasi tersendiri. Pernah suatu siang, saat jam kosong, asap tipis mengepul
dari belakang gudang sekolah. Bukan kebakaran —hanya Ucup dan sebatang rokok
yang ia nyalakan dengan wajah datar, seperti sedang memikirkan masa depan republik
ini. Malangnya, yang muncul dari balik tembok justru Pak Guru.
Suasana sempat tegang, tapi
mendadak cair ketika Ucup dengan polos berkata, “Lho, Bapak juga kan?” Pak
Guru terdiam sejenak, lalu tertawa. Mungkin karena tersindir kebenaran kecil
yang terlalu jujur untuk dibantah. Dua generasi itu akhirnya saling
berpandangan —bukan untuk saling menghakimi, tapi seolah sepakat bahwa hidup
kadang memang butuh jeda, walau sekadar sebatang. “Sebat dulu, Pak!” katanya
sambil terkekeh, tapi tanpa suara.
Psikolog menyebutnya
“divergent thinker”: individu yang berpikir ke banyak arah, bukan satu jalur.
Mereka kreatif, intuitif, dan mudah gelisah pada rutinitas. Tapi di ruang kelas
yang menuntut keseragaman, kegelisahan itu sering dibaca sebagai kenakalan.
Ucup hanya berbeda tempo —bukan memberontak, melainkan mencari ruang bernapas
di antara jadwal dan larangan yang terlalu padat.
Sebagian guru kesal,
sebagian lagi paham. Yang terakhir ini biasanya punya kebijaksanaan tersendiri:
tidak buru-buru menilai, melainkan menunggu saat yang tepat untuk memahami.
Karena sejatinya, pendidikan bukan perkara melatih patuh, melainkan menumbuhkan
nalar.
Lucunya, setelah lulus,
anak seperti Ucup sering jadi orang yang paling diingat. Ia bukan tipe juara
umum, tapi juara dalam menghidupkan suasana. Di reuni sekolah, selalu ada yang
bilang, “Kalau nggak ada si Ucup, kelas sepi banget dulu.” Dan pengakuan itu,
diam-diam, adalah bentuk penghormatan terselubung kepada anak yang dulu
dianggap masalah, tapi justru membuat suatu masa jadi punya tanda —tanda
kenangan yang tak mudah dilupakan.
Mungkin benar, kepatuhan
membuat segalanya teratur, tapi ketidakpatuhan yang lahir dari pikiran jernih
membuat segalanya berkembang. Dunia tak akan punya penemu, seniman, atau
pemikir besar kalau semua orang takut melanggar garis.
Ucup, dengan segala
kenakalannya —termasuk rokok yang diam-diam disembunyikan di balik tembok yang
penuh coretan cinta monyet— mungkin tak pernah sadar bahwa ia sedang memberi
pelajaran penting bagi orang dewasa, bahwa kadang satu langkah keluar dari
barisan bukan tanda durhaka, melainkan ciri kreatif.
Dan di situlah kalimat Pak
Guru itu menemukan maknanya kembali: “Meskipun sering tidak patuh, dia
adalah murid yang sangat baik dan pintar.” Bukan sekadar penilaian,
tapi pengakuan —bahwa ada kebajikan tersembunyi di balik ketidakteraturan yang
tampak.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar