Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 18, 2025

Kenapa Murid Nakal Sering Lebih Cerdas? (Tanya Ucup!)

“Meskipun sering tidak patuh, dia adalah murid yang sangat baik dan pintar,” kata Pak Guru menilai Ucup, suatu kali. Kalimat yang sederhana, tapi jarang terdengar di sekolah-sekolah yang lebih sering memuja kepatuhan daripada keingintahuan.

Ucup bukan anak yang sulit. Ia hanya sulit menyesuaikan diri dengan aturan yang baginya tak masuk akal. Kalau bel masuk belum bunyi tapi ia sudah di depan pintu kelas, mengapa tetap dianggap terlambat? Kalau tugas menggambar pohon, mengapa semua harus berwarna hijau? Pohon di hatinya mungkin sedang musim kemarau. Tapi sistem tak mengenal musim perasaan; ia hanya mengenal aturan penilaian.

Dalam ruang kelas yang diatur rapi dan penuh simbol ketertiban, Ucup adalah tanda seru di tengah barisan koma. Ia bisa mengganggu jalannya pelajaran, tapi juga yang paling cepat paham ketika guru menjelaskan sesuatu yang sulit. Kadang, anak seperti ini justru memaksa guru berpikir ulang —bukan soal pelajaran, tapi soal makna mendidik itu sendiri.

Kenakalannya pun punya variasi tersendiri. Pernah suatu siang, saat jam kosong, asap tipis mengepul dari belakang gudang sekolah. Bukan kebakaran —hanya Ucup dan sebatang rokok yang ia nyalakan dengan wajah datar, seperti sedang memikirkan masa depan republik ini. Malangnya, yang muncul dari balik tembok justru Pak Guru.

Suasana sempat tegang, tapi mendadak cair ketika Ucup dengan polos berkata, “Lho, Bapak juga kan?” Pak Guru terdiam sejenak, lalu tertawa. Mungkin karena tersindir kebenaran kecil yang terlalu jujur untuk dibantah. Dua generasi itu akhirnya saling berpandangan —bukan untuk saling menghakimi, tapi seolah sepakat bahwa hidup kadang memang butuh jeda, walau sekadar sebatang. “Sebat dulu, Pak!” katanya sambil terkekeh, tapi tanpa suara.

Psikolog menyebutnya “divergent thinker”: individu yang berpikir ke banyak arah, bukan satu jalur. Mereka kreatif, intuitif, dan mudah gelisah pada rutinitas. Tapi di ruang kelas yang menuntut keseragaman, kegelisahan itu sering dibaca sebagai kenakalan. Ucup hanya berbeda tempo —bukan memberontak, melainkan mencari ruang bernapas di antara jadwal dan larangan yang terlalu padat.

Sebagian guru kesal, sebagian lagi paham. Yang terakhir ini biasanya punya kebijaksanaan tersendiri: tidak buru-buru menilai, melainkan menunggu saat yang tepat untuk memahami. Karena sejatinya, pendidikan bukan perkara melatih patuh, melainkan menumbuhkan nalar.

Lucunya, setelah lulus, anak seperti Ucup sering jadi orang yang paling diingat. Ia bukan tipe juara umum, tapi juara dalam menghidupkan suasana. Di reuni sekolah, selalu ada yang bilang, “Kalau nggak ada si Ucup, kelas sepi banget dulu.” Dan pengakuan itu, diam-diam, adalah bentuk penghormatan terselubung kepada anak yang dulu dianggap masalah, tapi justru membuat suatu masa jadi punya tanda —tanda kenangan yang tak mudah dilupakan.

Mungkin benar, kepatuhan membuat segalanya teratur, tapi ketidakpatuhan yang lahir dari pikiran jernih membuat segalanya berkembang. Dunia tak akan punya penemu, seniman, atau pemikir besar kalau semua orang takut melanggar garis.

Ucup, dengan segala kenakalannya —termasuk rokok yang diam-diam disembunyikan di balik tembok yang penuh coretan cinta monyet— mungkin tak pernah sadar bahwa ia sedang memberi pelajaran penting bagi orang dewasa, bahwa kadang satu langkah keluar dari barisan bukan tanda durhaka, melainkan ciri kreatif.

Dan di situlah kalimat Pak Guru itu menemukan maknanya kembali: “Meskipun sering tidak patuh, dia adalah murid yang sangat baik dan pintar.” Bukan sekadar penilaian, tapi pengakuan —bahwa ada kebajikan tersembunyi di balik ketidakteraturan yang tampak.***

 

Note:
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memotivasi atau membenarkan perilaku merokok. Tulisan semata berangkat dari pengamatan terhadap realitas keseharian — sesuatu yang, entah bagaimana, pernah menjadi bagian dari pengalaman di masa lalu. Pengalaman kita juga, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar