Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 18, 2025

Aroma yang Membuat Dunia Tergila-gila

“Inilah yang membuat bangsa Eropa ramai-ramai mendatangi negeri saya,” seloroh Haji Agus Salim ketika memperkenalkan aroma kepulan rokok kreteknya kepada Pangeran Philip pada saat penobatan Ratu Elizabeth II di Buckingham Palace, Inggris, tahun 1953. Bagi Salim, kretek bukan sekadar rokok, melainkan metafora kekayaan alam rempah-rempah Indonesia: wangi yang pernah menggoda dunia, tapi juga membawa petaka.

“Jangan sampai aroma itu terus-menerus dinikmati bangsa lain, yang belum tentu akan memberikan ‘kenikmatan’ kepada bangsa kita,” mungkin seperti itulah pesan yang pantas untuk meneruskan candaan Guru Bangsa itu. Sebab sejatinya, di balik kepulan asap kretek, tersimpan aroma sejarah dan jati diri yang tak lekang dimakan zaman.

Coba perhatikan: di negeri yang dulu dijajah karena rempah-rempah, kini justru wangi lokal sering dicibir. Orang malu menghisap kretek, seolah itu simbol kuno, kampungan, atau tak modern. Padahal, di setiap lintingan kretek tersimpan narasi panjang tentang kemandirian —tentang bagaimana orang-orang kita meracik sendiri rasa, wangi, dan kenikmatan, tanpa perlu resep impor.

Kretek itu unik, tak bisa dibuat di luar Indonesia, karena cengkihnya hanya tumbuh sempurna di tanah ini. Perpaduan tembakau dan cengkih bukan sekadar ramuan, tapi identitas. Sebagaimana bumbu bagi sayur, atau logat bagi bahasa. Hilangkan satu unsur saja, lenyaplah jati dirinya. Namun anehnya, banyak dari kita kini lebih bangga pada aroma vanilla buatan pabrik ketimbang wangi cengkih dari kebun sendiri.

Dalam sudut pandang sosiologis, ini bukan sekadar soal rokok. Ini soal cara kita memaknai diri. Bangsa yang dulu memikat dunia dengan rempah, kini kadang minder dengan aromanya sendiri. Kita memburu parfum impor yang “fresh and elegant”, tapi menutup hidung saat mencium kretek yang “too strong”. Padahal, bukankah keaslian memang selalu punya aroma khas, bahkan jika tak semua orang menyukainya?

Secara psikologis, mungkin ada semacam luka kolektif di situ: trauma karena dijajah, lalu terbiasa memandang yang asing sebagai ukuran kemajuan. Akibatnya, kita sering mengimpor selera, termasuk dalam hal yang seharusnya menjadi kebanggaan lokal. Kita lupa, bahwa harum bukan soal siapa yang lebih wangi, melainkan siapa yang paling jujur pada sumbernya.

Lucunya, di pasar global, justru banyak orang asing kini tergila-gila dengan kretek —dengan aromanya yang eksotis, tradisional, dan autentik. Dunia sedang mencari yang orisinal, sementara kita sibuk menghapus bau sendiri agar dianggap modern.

Maka mungkin benar kata Haji Agus Salim: jangan biarkan harum itu terus-menerus dinikmati bangsa lain. Sebab, kalau kita sendiri enggan mencium asal-usul kita, siapa lagi yang akan mengingatkannya? Pada akhirnya, mungkin bukan soal kretek atau bukan kretek, tapi tentang wangi apa yang ingin kita tinggalkan dalam sejarah: bau imitasi, atau aroma asli yang dulu membuat dunia jatuh cinta.***

Note:
Tulisan ini tidak bermaksud mendorong atau membenarkan kebiasaan merokok. Isinya semata menelusuri sejarah, makna budaya, dan relevansi sosial kretek dalam konteks identitas bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar