“Jangan sampai aroma itu terus-menerus dinikmati bangsa lain, yang belum tentu akan memberikan ‘kenikmatan’ kepada bangsa kita,” mungkin seperti itulah pesan yang pantas untuk meneruskan candaan Guru Bangsa itu. Sebab sejatinya, di balik kepulan asap kretek, tersimpan aroma sejarah dan jati diri yang tak lekang dimakan zaman.
Coba perhatikan: di negeri yang dulu dijajah
karena rempah-rempah, kini justru wangi lokal sering dicibir. Orang malu
menghisap kretek, seolah itu simbol kuno, kampungan, atau tak modern. Padahal,
di setiap lintingan kretek tersimpan narasi panjang tentang kemandirian —tentang
bagaimana orang-orang kita meracik sendiri rasa, wangi, dan kenikmatan, tanpa
perlu resep impor.
Kretek itu unik, tak bisa dibuat di luar
Indonesia, karena cengkihnya hanya tumbuh sempurna di tanah ini. Perpaduan
tembakau dan cengkih bukan sekadar ramuan, tapi identitas. Sebagaimana bumbu
bagi sayur, atau logat bagi bahasa. Hilangkan satu unsur saja, lenyaplah jati
dirinya. Namun anehnya, banyak dari kita kini lebih bangga pada aroma vanilla
buatan pabrik ketimbang wangi cengkih dari kebun sendiri.
Dalam sudut pandang sosiologis, ini bukan sekadar
soal rokok. Ini soal cara kita memaknai diri. Bangsa yang dulu memikat dunia
dengan rempah, kini kadang minder dengan aromanya sendiri. Kita memburu parfum
impor yang “fresh and elegant”, tapi menutup hidung saat mencium kretek yang
“too strong”. Padahal, bukankah keaslian memang selalu punya aroma khas, bahkan
jika tak semua orang menyukainya?
Secara psikologis, mungkin ada semacam luka
kolektif di situ: trauma karena dijajah, lalu terbiasa memandang yang asing
sebagai ukuran kemajuan. Akibatnya, kita sering mengimpor selera, termasuk
dalam hal yang seharusnya menjadi kebanggaan lokal. Kita lupa, bahwa harum
bukan soal siapa yang lebih wangi, melainkan siapa yang paling jujur pada
sumbernya.
Lucunya, di pasar global, justru banyak orang asing kini tergila-gila dengan kretek —dengan aromanya yang eksotis, tradisional,
dan autentik. Dunia sedang mencari yang orisinal, sementara kita sibuk
menghapus bau sendiri agar dianggap modern.
Maka mungkin benar kata Haji Agus Salim: jangan
biarkan harum itu terus-menerus dinikmati bangsa lain. Sebab, kalau kita
sendiri enggan mencium asal-usul kita, siapa lagi yang akan mengingatkannya?
Pada akhirnya, mungkin bukan soal kretek atau bukan kretek, tapi tentang wangi
apa yang ingin kita tinggalkan dalam sejarah: bau imitasi, atau aroma asli yang
dulu membuat dunia jatuh cinta.***
Note:
Tulisan ini tidak bermaksud mendorong atau membenarkan kebiasaan merokok. Isinya semata menelusuri sejarah, makna budaya, dan relevansi sosial kretek dalam konteks identitas bangsa.
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar