Di kampung kita, memberi itu seperti refleks. Ada tamu datang, kita suguhkan kopi. Ada tetangga hajatan, kita bantu suguhan. Ada tukang sampah lewat, kita kasih “uang rokok”. Bahkan kalau lagi senang hati, kita kasih keponakan uang jajan padahal dia nggak minta. Semua terasa alami, seperti bersin: keluar begitu saja.
Masalahnya mulai muncul ketika “refleks memberi” itu terbawa ke lingkungan formal. Orang tua murid kasih kue ke guru anaknya di akhir semester. Urus KTP, ada rasa kurang afdol kalau tidak kasih Pak RT. Urus izin usaha, kita spontan siapin amplop buat staf kelurahan. Tidak ada yang menyuruh, tapi tangan kita gatal. Kalau tidak memberi, yang ada malah rasa bersalah.
Budaya kita bilang: memberi itu membuat hubungan hangat. Tapi hukum modern bilang: memberi pada pejabat itu gratifikasi. Bahkan KPK sudah bikin definisi panjang, lengkap dengan cara melapor. Lucunya, warga biasa kadang merasa KPK terlalu serius. “Masa kasih kue lebaran ke lurah harus dilapor?”
Secara psiko-sosial, ini masuk akal. Otak kita suka sekali dengan rasa mutual obligation —perasaan bahwa orang yang sudah kita beri akan ingat budi. Otak primitif kita menyukainya karena di masa lalu, itu cara bertahan hidup: berbagi makanan berarti mendapatkan perlindungan kelompok. Sayangnya, di dunia modern, “ingatan budi” bisa berubah menjadi “percepatan layanan” atau “prioritas antrean”, dan itu yang membuat pemberian kecil tadi jadi ancaman besar.
Dari sisi adat, memberi itu bukan hanya soal barang, tapi menjaga muka. Makanya, menolak pemberian kadang dianggap menghina. Celakanya, ketika pejabat menolak amplop warga, justru warga yang tersinggung: “Bapak merendahkan saya?!” Padahal pejabatnya sedang berusaha patuh aturan.
Kita semua akhirnya bermain peran di panggung yang absurd. Warga memberi sambil berbisik, “Buat rokok...” Pegawai menerima sambil berkata, “Waduh, gimana ya...” Tapi diam-diam amplopnya masuk laci juga. Semua terjadi begitu saja.
Mungkin masalahnya bukan pada memberi atau menerima, tapi pada kapan dan untuk apa kita memberi. Kalau memberi setelah urusan selesai, tanpa pamrih, itu lebih dekat dengan sedekah atau hadiah. Tapi kalau memberi agar urusan lancar, cepat, atau diprioritaskan, kita sebenarnya sedang “membeli” sesuatu yang seharusnya gratis. Kita perlu membedakan antara “membalas budi” dengan “membayar jasa”.
Ujung-ujungnya kita semua seperti dipenjara oleh rasa sungkan. Bukan karena ada aturan tertulis, tapi karena takut dianggap pelit, nggak tahu diri, atau nggak menghargai. Ironisnya, rasa bersalah itu lebih besar saat tidak ngasih ketimbang saat ngasih, meskipun pemberian itu bisa bikin urusan jadi abu-abu antara sedekah, hadiah atau sogokan.
Kalau refleks ini diteruskan, jangan heran suatu saat nanti kita juga harus siapin amplop buat dapat senyum tetangga, atau buat memastikan doa ustadz di pengajian bener-bener khusyuk sampai ke langit. Dan kalau itu sudah jadi kebiasaan, jangan tanya lagi apa bedanya sedekah, hadiah, atau sogokan. Jawabannya cuma satu dan itu sudah terbungkus rapi dengan nama yang manis: “uang rokok”.***

Benar-benar tulisan yang bagus dan rapi, suka dengan penyampaian yang sedikit "menyentil" namun relate dengan jaman sekarang.
BalasHapus