Halaman

Cari Blog Ini

Oktober 28, 2025

Berakit-Rakit ke Hulu, Terbiasa Kemudian

Sejak kecil kita hafal pepatah itu: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Nasihat klasik yang terasa manis saat diucapkan guru SD, tapi getir ketika dijalani di usia dewasa. Karena kenyataannya, sebagian orang sudah terlalu lama main di “hulu” dan belum sempat ke “tepian”.

Kita bekerja keras dari pagi ke pagi, menabung waktu, tenaga, dan sisa makan. Katanya, semua itu demi masa depan yang lebih cerah. Tapi di tengah macet, cicilan, dan kerjaan yang nggak kelar-kelar, kita mulai bertanya: “Lalu kapan kemudian itu tiba?” Sebagian sudah lupa rasanya bersenang-senang — bukan karena tak mau, tapi karena tubuh dan kantong sudah kompak bilang, “nanti saja.”

Pepatah itu memang indah, tapi mungkin lupa memastikan bahwa hulu dan tepian tak selalu ada di satu sungai yang sama. Ada yang sudah terlalu jauh mendayung, tapi arusnya membawa ke arah lain. Ada pula yang tenggelam di tengah perjalanan, bukan karena malas berenang, tapi karena airnya makin dalam dan perahunya bocor dari awal.

Tapi anehnya, kita tetap mendayung juga. Mungkin karena diam pun terasa lebih menyakitkan. Dan, mungkin juga karena di dasar hati, kita masih percaya bahwa semua jerih payah ini ada artinya — meskipun artinya belum jelas. Toh, manusia memang ahli berdamai dengan ketidakpastian. Dulu bersakit-sakit karena berharap bahagia, sekarang bahagia kalau bisa bertahan di tengah sakit.

Maka barangkali pepatah itu perlu sedikit pembaruan: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, terbiasa kemudian. Karena di zaman ini, kebahagiaan bukan soal mencapai tepian, tapi tetap bisa tertawa meski airnya makin tinggi.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar