Sejak kecil kita hafal pepatah
itu: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Nasihat klasik
yang terasa manis saat diucapkan guru SD, tapi getir ketika dijalani di usia
dewasa. Karena kenyataannya, sebagian orang sudah terlalu lama main di “hulu”
dan belum sempat ke “tepian”.
Kita bekerja keras dari pagi ke pagi, menabung waktu, tenaga, dan sisa makan. Katanya, semua itu demi masa depan yang lebih cerah. Tapi di tengah macet, cicilan, dan kerjaan yang nggak kelar-kelar, kita mulai bertanya: “Lalu kapan kemudian itu tiba?” Sebagian sudah lupa rasanya bersenang-senang — bukan karena tak mau, tapi karena tubuh dan kantong sudah kompak bilang, “nanti saja.”
Pepatah itu memang indah, tapi
mungkin lupa memastikan bahwa hulu dan tepian tak selalu ada di satu sungai
yang sama. Ada yang sudah terlalu jauh mendayung, tapi arusnya membawa ke arah
lain. Ada pula yang tenggelam di tengah perjalanan, bukan karena malas
berenang, tapi karena airnya makin dalam dan perahunya bocor dari awal.
Tapi
anehnya, kita tetap mendayung juga. Mungkin karena diam pun terasa lebih
menyakitkan. Dan, mungkin juga karena di dasar hati, kita masih percaya bahwa semua jerih
payah ini ada artinya — meskipun artinya belum jelas. Toh, manusia memang ahli
berdamai dengan ketidakpastian. Dulu bersakit-sakit karena berharap bahagia,
sekarang bahagia kalau bisa bertahan di tengah sakit.
Maka
barangkali pepatah itu perlu sedikit pembaruan: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit
dahulu, terbiasa kemudian. Karena di zaman ini, kebahagiaan bukan soal
mencapai tepian, tapi tetap bisa tertawa meski airnya makin tinggi.***
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar