Halaman

Cari Blog Ini

November 08, 2025

Siapa Tahu, Sekepal Nasi Itulah yang Menyelamatkan Kita

Kita tak pernah tahu, dari sekian banyak perbuatan baik yang kita lakukan, mana yang diterima oleh Allah SWT. Bisa jadi bukan sedekah besar yang dicatat sebagai amal penentu, melainkan sekepal nasi yang kita berikan kepada seorang pemulung yang belum makan seharian.

Sering kali kita menakar amal dengan ukuran dunia: berapa banyak uang yang kita keluarkan, seberapa sering kita membantu, seberapa lama kita beribadah. Padahal, ukuran Allah tidak pernah diukur dengan angka, melainkan dengan niat yang tersembunyi di balik setiap tindakan.

November 04, 2025

Sing Becik Ketitik, Sing Ala Ketara

Zaman sekarang, orang mudah sekali tampil baik. Cukup dengan unggahan foto sedang bersedekah, atau kutipan bijak di status media sosial, citra pun terbentuk. Tak masalah apa yang sebenarnya terjadi di balik layar, yang penting tampilannya menenangkan hati orang lain —dan menyenangkan diri sendiri.😁

Padahal dalam psikologi sosial, manusia memang punya dorongan alami untuk diterima. Itulah sebabnya pencitraan menjadi perilaku yang tampak wajar. Tetapi Carl Jung pernah mengingatkan, “Seseorang tidak akan menjadi terang dengan membayangkan cahaya, melainkan dengan menyadari kegelapannya.” Artinya, kebaikan sejati tak tumbuh dari pencitraan, melainkan dari keberanian menghadapi sisi gelap diri sendiri.

November 03, 2025

Memburu Bangau, Melepas Angsa

Di zaman ketika semua orang tampak sibuk “mengejar sesuatu”, kita kadang lupa memastikan apa yang sebenarnya sedang kita kejar. Ada yang mengejar karier, tapi kehilangan keluarga. Ada yang memburu pujian, tapi kehilangan ketenangan. Ada pula yang sibuk menata citra di media sosial, padahal kehidupan nyata sudah berantakan seperti meja makan selepas pesta.

Kita ini, jangan-jangan, sedang seperti orang memburu bangau, melepas angsa. Bangau itu indah kalau terbang, tapi sulit ditangkap. Angsa memang tak segesit itu, tapi setia di kolamnya —memberi ketenangan bagi siapa pun yang tahu menghargai diam. Tapi manusia modern tak betah pada yang tenang. Kita lebih senang kejar-kejaran dengan ilusi yang tak pernah berhenti menggoda.

November 02, 2025

Bingungkan Saja Kalau Tak Bisa Meyakinkan

Ada teori menarik yang tidak pernah diajarkan di sekolah dan kampus mana pun: kalau kamu tak bisa meyakinkan orang dengan kepintaranmu, bingungkan saja dia dengan kebodohanmu. Kedengarannya ngawur, tapi kalau kamu perhatikan, teori ini sering dipraktikkan di banyak tempat — dari ruang rapat sampai ruang debat di televisi.

Orang yang paling keras suaranya kadang bukan yang paling tahu, tapi yang paling pandai memelintir logika sampai semua orang lelah mengikuti alurnya. Mereka bicara panjang lebar, muter ke mana-mana, dan pada akhirnya… tak ada yang berani membantah, bukan karena setuju, tapi karena tak paham lagi mereka sedang membahas apa.

Minggu, Gerbang Menuju Hari Baru

Minggu sering terasa seperti sore yang hangat di padang luas setelah hujan kerja keras. Udara lembut, cahaya keemasan, dan langit yang mulai memerah mengingatkan kita untuk menenangkan langkah sebelum memasuki minggu berikutnya. Tidak ada aktivitas yang tergesa, hanya waktu untuk merenung, menikmati napas, dan menata ulang hati.

Psikologi menyebut ini sebagai momen refleksi dan persiapan mental. Setelah Sabtu memberi energi baru, Minggu adalah waktu untuk menutup pekan dengan damai, menyusun prioritas, dan menerima bahwa besok hidup akan kembali sibuk.

Secara biologis, hormon kortisol mulai meningkat di sore hari, menandai kesiapan tubuh menghadapi rutinitas. Tapi saat Minggu sore, tubuh dan pikiran masih bisa menikmati jeda ringan —seperti langit yang perlahan berganti warna, menyiapkan malam dengan lembut.

November 01, 2025

Beda Tipis: Ngerjain Kerjaan dan Dikerjain Kerjaan

Di kantor atau tempat kerja, wajar kalau pembicaraan berkutat pada target, rapat, dan strategi. Tapi kalau lagi jalan-jalan masih bahas kerjaan, piknik ngobrol kerjaan, nongkrong di warung kopi pun topiknya tetap kerjaan — itu tanda bahwa batas antara hidup dan pekerjaan mulai kabur. Lama-lama, kita bukan lagi ngerjain pekerjaan, tapi justru dikerjain sama kerjaan.😅

Secara psikologis, fenomena ini disebut work-life blur — kondisi di mana batas waktu dan ruang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi hilang karena teknologi dan budaya produktivitas berlebih. Menurut penelitian dari American Psychological Association, individu yang sulit melepaskan diri dari urusan pekerjaan saat waktu pribadi lebih rentan mengalami stres kronis, insomnia, dan penurunan kepuasan hidup.

Sabtu, Oase di Padang Gersang

Hari Sabtu sering terasa seperti oase di tengah padang pasir panjang bernama rutinitas. Setelah lima hari berjalan di bawah teriknya tanggung jawab dan debu pekerjaan, tibalah satu hari yang memberi jeda — tempat kita meneguk air segar, menenangkan langkah, dan mengingat kembali arah perjalanan. Sabtu bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan napas yang menandai bahwa kita masih manusia, bukan mesin.

Dalam pandangan psikologi, manusia membutuhkan “ritme pemulihan” untuk menjaga keseimbangan mental dan emosi. Tanpa jeda, produktivitas menurun dan stres meningkat. Karena itu, hari Sabtu berperan seperti mata air: kecil, tapi menyelamatkan. Ia menampung segala lelah yang tak sempat dituang sepanjang minggu, memberi ruang bagi kepala yang penuh rencana untuk sekadar diam.