Dulu, setiap malam di kampung adalah festival kecil. Jangkrik bernyanyi bersahut-sahutan, belalang melompat di rerumputan basah, dan kunang-kunang beterbangan di pinggir sawah seperti bintang jatuh yang tak habis-habis. Anak-anak menangkapnya dengan toples kaca, lalu melepaskannya lagi sebelum tidur. Sekarang, toples hanya berisi lampu senter dari ponsel.
Oktober 31, 2025
Cahaya yang Menggantikan Kunang-Kunang
Oktober 30, 2025
Ketika Logika Tak Berlaku, Diam Jadi Kemenangan
Ada orang yang kalau diajak
diskusi, bukan mencari kebenaran, tapi kemenangan. Semakin kamu jelaskan,
semakin dia yakin dirinya benar. Bahkan ketika bukti sudah segunung, dia tetap
bertahan di atas keyakinan yang rapuh — yang lebih banyak disusun dari
kebiasaan, bukan pemikiran.
Di dunia nyata, mereka bisa muncul di mana saja: di grup WhatsApp keluarga, di kolom komentar media sosial, di rapat kantor, bahkan di forum publik yang katanya “cerdas”. Ciri khasnya sederhana: mereka tak mendengarkan. Mereka hanya menunggu giliran bicara, sambil menyiapkan kalimat untuk memotong ucapanmu. Kadang nada suara ikut naik, seolah volume bisa menggantikan logika.
Oktober 29, 2025
Tahu kan Sukses Versi Laki-laki dan Perempuan?
Kata orang, laki-laki sukses itu yang bisa
menghasilkan uang lebih banyak dari yang dihabiskan oleh istrinya. Sederhana
terdengar, tapi kalau dipikir-pikir, itu berarti hanya segelintir laki-laki di
dunia ini yang benar-benar bisa disebut sukses. Karena, mari jujur saja,
kemampuan belanja seorang istri sering kali melampaui logika akuntansi, bahkan
sebelum uangnya masuk kantong.
Fenomena ini bukan soal boros atau hemat, tapi soal naluri ekonomi yang terlatih. Dalam teori keuangan rumah tangga, ada istilah “penyesuaian kebutuhan terhadap pendapatan” —bedanya, kebutuhan istri sering kali lebih adaptif dibanding pendapatan suami. Maka ketika ada laki-laki yang penghasilannya tetap mampu melampaui kecepatan belanja pasangannya, ia bukan sekadar pekerja keras, tapi juga makhluk langka yang patut dilestarikan.
Oktober 28, 2025
Real Motivator Itu Bernama Debt Collector
Kedengarannya konyol, tapi
kenyataannya begitu. Tak perlu ruangan ber-AC, panggung megah, atau tepuk
tangan peserta seminar untuk membangkitkan semangat kerja. Cukup satu telepon
dari debt collector di pagi hari —dan mendadak kamu jadi manusia paling
produktif di dunia.
Di atas panggung, motivator bisa bicara panjang lebar soal passion, mimpi, dan sukses. Tapi di dunia nyata, ada sosok lain yang jauh lebih ampuh membangkitkan produktivitas: debt collector! Ia tak perlu mikrofon, tak butuh panggung, dan tak akan pernah berkata, “Temukan jati dirimu.” Cukup satu kata yang bisa memacu jantung dan adrenalin bersamaan: “Bayar!” —dan tiba-tiba semangat kerja pun muncul seketika.
Berakit-Rakit ke Hulu, Terbiasa Kemudian
Sejak kecil kita hafal pepatah
itu: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Nasihat klasik
yang terasa manis saat diucapkan guru SD, tapi getir ketika dijalani di usia
dewasa. Karena kenyataannya, sebagian orang sudah terlalu lama main di “hulu”
dan belum sempat ke “tepian”.
Kita bekerja keras dari pagi ke pagi, menabung waktu, tenaga, dan sisa makan. Katanya, semua itu demi masa depan yang lebih cerah. Tapi di tengah macet, cicilan, dan kerjaan yang nggak kelar-kelar, kita mulai bertanya: “Lalu kapan kemudian itu tiba?” Sebagian sudah lupa rasanya bersenang-senang — bukan karena tak mau, tapi karena tubuh dan kantong sudah kompak bilang, “nanti saja.”
Oktober 26, 2025
Satu Langkah Lebih Berharga Daripada Seribu Keinginan
Di warung kopi pinggir jalan,
mimpi sering lahir tanpa seminar motivasi atau tepuk tangan penonton. Hanya ada
meja kayu, gelas kopi hitam, dan obrolan ringan yang kadang lebih jujur
daripada pidato politik di gedung dewan. Di situlah orang-orang sederhana
berbagi cita-cita besar — walau besar hanya menurut versinya sendiri.
“Pengen punya usaha sendiri,” kata Darto, sopir angkot yang baru saja setor setengah hari. “Tapi kadang bingung, pengen buka warung, pengen ternak lele, pengen juga jualan online. Semua pengen dicoba, ujungnya nggak jalan-jalan.” Yang lain tersenyum, bukan karena mengejek, tapi karena mereka tahu persis rasanya.
Bantal Putih yang Jadi Kambing Hitam
Bangun tidur tadi pagi, leher terasa
pegal luar biasa. Refleks, saya melirik bantal putih dengan tatapan curiga.
Seolah benda tak berdosa itu adalah kambing hitam malam itu. Padahal, kalau
dipikir logis, bantal itu cuma diam di tempat —yang berubah setiap malam justru
posisi kepala saya sendiri. Tapi begitulah, manusia memang kerap mencari
kambing hitam, meskipun yang ada adalah bantal putih.
Dalam psikologi, mekanisme ini disebut self-serving bias: kecenderungan untuk menyalahkan faktor luar ketika sesuatu berjalan buruk, dan mengklaim keberhasilan sebagai hasil usaha pribadi. Fenomena ini sering beririsan dengan perilaku playing victim, di mana kita sengaja menampilkan diri sebagai korban agar orang lain simpati. Kita pandai berkilah agar diri sendiri tampak sebagai korban situasi. Sakit punggung, nyalahin kursi. Gagal diet, nyalahin teman. Telat bangun, nyalahin alarm. Semua salah, asal jangan diri sendiri.
Oktober 25, 2025
Diskon yang Tak Pernah Benar-Benar Diskon
Langkah kaki terhenti di depan
etalase yang nyaris berteriak: DISKON 70%!.
Lampu sorotnya terang, warnanya berpendar merah dan kuning mencolok, seolah
ingin memastikan siapa pun yang lewat tak bisa berpaling. Di dalam, deretan
manekin berdiri gagah dengan label harga yang digantung seperti medali
kemenangan. Musik elektro house bergema, aroma kopi dan parfum bercampur jadi
satu —suasana khas supermall yang dirancang untuk membuat pengunjung betah… dan
kalap.
Saya tersenyum. Beginilah cara modern menggoda manusia. Tak ada rayuan lembut, tak perlu janji manis. Cukup selembar kertas bertuliskan Sale! berukuran setengah pintu, dan ribuan langkah kaki akan mengarah ke sana, seolah dikendalikan oleh insting yang takut kehilangan kesempatan.
Oktober 21, 2025
Mahalan Parkirnya daripada Barangnya
Oktober 20, 2025
Kapan Level Hidup Naik?
Beberapa
waktu lalu saya lihat keponakan bermain game
di ponselnya. Matanya fokus, jarinya lincah, tapi setiap kali kalah ia langsung
keluar dan memulai dari awal. “Huh... capek,
levelnya susah!” katanya. Saya hanya tertawa kecil mendengar kalimat yang terasa akrab di telinga orang dewasa.
Bukankah hidup kita juga sering begitu? Sekalinya ditantang pekerjaan baru, hubungan rumit, atau diberikan tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya, kita tergoda menekan tombol “exit”. Daniel Kahneman, peraih Nobel ekonomi, menyebutnya cognitive ease —kecenderungan manusia memilih yang nyaman dan mudah. Wajar sih. Siapa juga yang suka susah? Tapi kalau terus di zona nyaman, hidup tak akan pernah naik level. Aman, iya. Menenangkan? Belum tentu.
Oktober 19, 2025
Pelajaran dari Rumah yang Mendadak Rapi
Fenomena “mendadak rapi” ini ternyata nyasar juga ke ruang publik. Begitu tersiar kabar pejabat penting akan berkunjung —entah presiden, menteri, atau gubernur— jalan becek mendadak kering, cat tembok diperbarui, taman yang gersang tiba-tiba berbunga seperti disiram mukjizat. Semua tampak indah dan teratur, seperti kota yang siap difoto dari udara untuk brosur pariwisata.
Oktober 18, 2025
Kenapa Murid Nakal Sering Lebih Cerdas? (Tanya Ucup!)
“Meskipun sering tidak patuh, dia
adalah murid yang sangat baik dan pintar,” kata Pak Guru
menilai Ucup, suatu kali. Kalimat yang sederhana, tapi jarang terdengar di
sekolah-sekolah yang lebih sering memuja kepatuhan daripada keingintahuan.
Ucup bukan anak yang sulit. Ia hanya sulit menyesuaikan diri dengan aturan yang baginya tak masuk akal. Kalau bel masuk belum bunyi tapi ia sudah di depan pintu kelas, mengapa tetap dianggap terlambat? Kalau tugas menggambar pohon, mengapa semua harus berwarna hijau? Pohon di hatinya mungkin sedang musim kemarau. Tapi sistem tak mengenal musim perasaan; ia hanya mengenal aturan penilaian.
Aroma yang Membuat Dunia Tergila-gila
“Jangan sampai aroma itu terus-menerus dinikmati bangsa lain, yang belum tentu akan memberikan ‘kenikmatan’ kepada bangsa kita,” mungkin seperti itulah pesan yang pantas untuk meneruskan candaan Guru Bangsa itu. Sebab sejatinya, di balik kepulan asap kretek, tersimpan aroma sejarah dan jati diri yang tak lekang dimakan zaman.
Oktober 17, 2025
Ketika Komedi dan Akal Sehat Bertemu di Titik Waras
Sementara di layar lain, seorang pengamat berbicara dengan bahasa yang tajam, penuh istilah dan contoh nyata. Ia tak membuat orang tertawa, tapi membuat banyak orang terdiam sejenak sebelum berdebat. Kalimatnya kerap memancing reaksi keras, tapi di baliknya ada niat yang sama: membangunkan akal sehat yang lama tertidur.
Oktober 16, 2025
Lega Tapi Sesak… Tapi Lega Sih!
Oktober 15, 2025
Ngaku Bela Pedagang Kecil, Tapi Kalau Nawar Setengah Mati!
Pemandangan ini bukan hal baru. Di televisi dan media sosial, ramai-ramai orang mengutuk kebijakan yang dianggap mematikan pedagang kecil. “Kasihan pedagang kaki lima! Mereka tulang punggung ekonomi rakyat!” seru kita penuh semangat. Tapi saat bertemu pedagang kecil di pinggir jalan, sikap bisa berubah 180 derajat. Harga Rp10.000 ditawar jadi Rp5.000. Kalau bisa ditekan sampai separuh, baru hati lega. Ironinya, kalau beli secangkir kopi Rp50.000 di kafe, kita bayar tanpa banyak tanya, bahkan selfie sambil senyum bangga.
Oktober 14, 2025
Yang Berbeda Bukan Jalannya, tapi Cara Kita Menjalaninya
Jari Hati, Tanda Cinta yang Bisa Jadi Duit
Yang menarik, buat sebagian orang Indonesia, bentuk jari itu bukan hal baru. Jauh sebelum K-pop mempopulerkannya sebagai simbol cinta, gerakan menyilangkan jari jempol dan telunjuk itu sudah lama jadi kode universal: uang. Biasanya disertai gerakan kecil — digesek-gesekkan sedikit — sebagai isyarat halus untuk minta uang atau persenan. Anak kecil pun tahu kalau kedua jari itu digosok-gosokkan, artinya bukan cinta, tapi: “duit, mana duit?”.
Oktober 13, 2025
Kenapa Kita Malah Merasa Bersalah Kalau Nggak Ngasih?
Nama Boleh Lucu, Tapi Tanjakannya Serius: Tepung Kanjut
Sekali
waktu melintasi bagian selatan Kota Banjar, Jawa Barat menuju Pangandaran, ada
satu tanjakan yang tak cuma menanjak, tapi juga bikin ketawa setengah napas.
Namanya: Tepung
Kanjut. Iya, kamu tidak salah baca.
Begitu motor mulai menanjak dari arah rumpun bambu di bawah, jalan ini seperti menguji emosi jiwa. Aspalnya mulus, tikungannya melengkung cantik ke kiri, lalu terus meliuk ke kanan di bawah rimbun pepohonan. Angin yang tadinya sejuk pelan-pelan berubah jadi hembusan panas mesin yang kerja keras. Secara visual, ini tanjakan yang fotogenik — jalur favorit bagi pemotor yang suka sensasi menanjak sambil cornering ditemani hijaunya hutan kecil di sisi jalan. Tapi tentu saja, yang paling menempel di ingatan bukan tikungannya, melainkan namanya itu.
Tanda Kecil yang Pengertian Banget, Gitu Loh!
Oktober 12, 2025
Begitu Tahu Caranya, Kesulitan Terasa Jadi Lebih Mudah
Looping, Rekreasi Harian yang Bikin Hidup Nggak Monoton
Subuh belum benar-benar jadi pagi ketika motor mulai melaju. Jalan masih sepi, udara dingin menampar wajah, dan hanya sesekali ada angkot kosong melintas dengan lampu sorot yang seolah ngajak duel. Jalur yang diambil —seperti biasa— yang paling cepat dan aman: lurus, efisien, tanpa kejutan. Tapi nanti sore, pulangnya, itu cerita lain. Karena seperti hari-hari sebelumnya, rencananya mau looping —semacam rekreasi kecil buat orang yang tabungannya belum cukup untuk piknik beneran.
Istilah looping di sini bukan istilah teknis yang rumit atau teori besar ciptaan pakar transportasi. Ia lahir dari kebiasaan sederhana: biar hidup nggak terasa bosan. Pergi lewat rute A, pulang lewat rute B. Sekilas remeh, tapi buat sebagian orang, hal kecil seperti ini bisa jadi bentuk rekreasi harian —cara murah meriah untuk merasa masih punya kuasa atas hidup yang kadang terasa dikendalikan jam kerja, kuota internet, dan cicilan.
Oktober 09, 2025
Sabun Aja Rela Berkorban, Kamu Gimana?
Pernah
nggak kamu merenung di kamar mandi sambil megang sabun, terus mikir: “Ternyata hidup ini mirip sabun juga, ya?”
Kalau belum, berarti kamu terlalu cepat mandinya.
Sabun itu makhluk paling ikhlas di dunia. Tugasnya mulia: membersihkan kotoran. Tapi tiap kali berhasil, dia malah makin tipis. Jadi kalau kamu merasa hidupmu makin terkikis padahal selalu berbuat baik —tenang, kamu cuma sedang jadi sabun yang baik.
Ada juga sabun-sabun berkelas: bentuknya elegan, wanginya mewah, kemasannya eksklusif. Tapi begitu digosok, busanya banyak, hasilnya biasa aja. Mirip orang yang jago pencitraan —tampak hebat di luar, tapi di dalam ya begitu aja. Sementara sabun murahan di warung, bentuknya jelek, kadang penyok, tapi tetap bekerja dengan tulus tanpa perlu slogan “lembut di kulitmu.”
Inilah Sejarah yang Jadi Pengecualian di antara Sejarah Dunia yang Penuh Konon
Oktober 08, 2025
Kerja Keras Tak Selalu Menang dari Kerja Cerdas… Apalagi dari Kerja Dekat
Lalu jadilah dunia kerja seperti panggung sinetron: ada yang sungguh-sungguh berperan, ada yang hanya numpang eksis di layar, dan ada juga yang tak punya peran jelas, tapi selalu ingin muncul di setiap episode.
Fenomena ini bukan cuma soal individu, tapi soal kultur. Dalam banyak kantor, loyalitas sering lebih dihargai daripada kompetensi. Orang yang “patuh” lebih cepat naik jabatan daripada yang “pintar tapi terlalu kritis.” Akibatnya, organisasi dipenuhi para yes man yang lihai berkata “baik, Pak” meski dalam hati bergumam “nggak masuk akal, Pak.”
Oktober 06, 2025
Induk yang Terusir
Antara Polemik Aset dan Pertarungan Hukum yang Tak Kunjung Usai
Semua Bisa Gaspol, Tapi Tangguh di Jalur Hancur?
Oktober 05, 2025
Senin, Gaspol!
Ada
satu fenomena universal yang sulit dibantah: wajah-wajah bete setiap Senin pagi. Jalanan macet, halte mengular, media sosial penuh keluhan “Monday Blues”. Sejak lama, Senin memang dicap
sebagai hari paling berat. Bukan hanya karena akhir pekan terlalu singkat, tapi
karena rutinitas menunggu tanpa kompromi.Senin punya reputasi buruk, bukan karena hari itu jahat, tapi karena ia menandai akhir dari kebebasan dua hari yang terlalu cepat berlalu. Orang belum selesai berdamai dengan Minggu malam, tapi sudah harus berhadapan dengan to-do list dan target mingguan. Tak heran kalau banyak yang menjuluki hari ini sebagai simbol perjuangan modern —antara kemalasan dan kewajiban.
Oktober 04, 2025
Ngundeur Cai: Tradisi Sakral yang Membisikkan Pesan Sungai Cibanten
![]() |
| Gambar ilustrasi |
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)


.jpeg)













