Di banyak daerah, terutama yang
berakar dari sejarah panjang kolonial dan masyarakat tradisional, keberadaan
aset publik sering kali bermula dari tanah atau bangunan yang dahulu dimiliki
secara perorangan atau komunal, lalu beralih fungsi menjadi fasilitas umum.
Peralihan itu ada kalanya tercatat rapi melalui dokumen hukum, tetapi tidak
jarang pula hanya diwariskan lewat praktik sosial, kesepakatan lisan, atau
bahkan sekadar kebiasaan yang berlangsung turun-temurun. Inilah yang kerap
menimbulkan persoalan ketika pemerintah daerah atau negara hendak menguatkan
klaim atas aset tersebut: bukti otentik sering kali minim, sementara tuntutan
pembuktian hukum semakin tinggi.
Artikel ini mencoba menguraikan bagaimana pemerintah dapat menyusun dasar klaim yang kuat atas aset publik yang berasal dari peralihan perorangan, dengan pendekatan yuridis yang sederhana namun tetap kokoh, agar mudah dipahami baik oleh birokrat, praktisi hukum, maupun masyarakat umum.
1.
Masalah yang Sering Muncul
Banyak aset publik yang sejatinya
sudah lama difungsikan untuk kepentingan umum: pasar, alun-alun, lapangan
olahraga, jalan lingkungan, atau bangunan bekas sekolah rakyat. Namun, secara
dokumen formal, tanah tersebut pernah tercatat atas nama perorangan.
Permasalahan muncul ketika ahli waris kemudian mengajukan klaim balik dengan
alasan tidak ada akta pelepasan hak, tidak ada pembayaran ganti rugi, atau
tidak ada dokumen resmi penyerahan.
Dalam konteks inilah pemerintah
sering kali berada dalam posisi defensif. Meski secara faktual tanah telah
puluhan tahun digunakan masyarakat sebagai fasilitas umum, dari sisi hukum
positif pembuktian “asal-usul” hak sering tidak mudah.
2.
Prinsip Yuridis yang Bisa Menguatkan Klaim Pemerintah
Ada sejumlah prinsip hukum yang
dapat dijadikan dasar penguatan klaim pemerintah terhadap aset publik yang
berasal dari perorangan:
UUPA 1960 secara tegas menyatakan
bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6). Artinya, kepentingan
masyarakat banyak dapat mendahului kepentingan individual. Tanah yang telah
lama berfungsi sebagai fasilitas umum pada dasarnya memperoleh legitimasi
sosial, sehingga klaim pemerintah untuk mempertahankannya sebagai aset publik
sejalan dengan semangat UUPA.
Hukum perdata mengenal asas bezit
(penguasaan nyata). Jika pemerintah secara konsisten menguasai, memelihara, dan
menggunakan tanah untuk kepentingan umum selama waktu yang lama, hal ini dapat
dijadikan dasar argumen yuridis, terutama bila masyarakat juga mengakui fungsi
publiknya.
Banyak tanah perorangan peninggalan
masa kolonial yang pada praktiknya tidak dikonversi atau tidak diperpanjang
haknya pasca-UUPA. Jika tanah tersebut kemudian digunakan untuk fasilitas umum,
secara hukum dapat ditafsirkan telah “kembali” dikuasai oleh negara.
Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 2/2012) memberi dasar bahwa tanah
untuk fasilitas publik merupakan kepentingan umum yang dilindungi hukum. Meski
pengadaan di masa lalu mungkin tidak sempurna, keberadaan fasilitas umum yang
nyata dapat dipandang sebagai wujud konkret peruntukan untuk kepentingan umum.
3.
Dokumen dan Bukti Pendukung yang Bisa Dipakai
Ketika dokumen otentik pelepasan hak
tidak tersedia, pemerintah dapat mengandalkan bukti lain yang secara hukum
tetap punya kekuatan:
- Peta lama atau dokumen kolonial (misalnya peta rincik, daftar girik, atau legger desa)
yang menunjukkan fungsi tanah sebagai lapangan atau alun-alun.
- Arsip administrasi desa atau kecamatan (misalnya berita acara musyawarah atau catatan kepala
desa) yang menyebutkan penyerahan tanah untuk fasilitas umum.
- Dokumen perpajakan lama yang menunjukkan bahwa tanah tidak lagi dibayar
pajaknya oleh perorangan setelah digunakan sebagai fasilitas umum.
- Saksi sejarah dan keterangan tokoh masyarakat yang menguatkan bahwa tanah tersebut sejak lama telah
dipakai untuk kepentingan umum tanpa sengketa.
- Fakta penggunaan nyata seperti adanya pasar, jalan umum, atau gedung sekolah
yang berdiri puluhan tahun di atas tanah tersebut.
Kombinasi bukti-bukti ini dapat
disusun dalam bentuk berkas yuridis-faktual sebagai dasar penguatan
klaim pemerintah.
4.
Dari Milik Pribadi Menjadi Milik Semua
Narasi populer kekuatan klaim
pemerintah yang bisa dibangun adalah:
- Sejarah pemanfaatan:
tanah yang dulu milik pribadi, diserahkan atau dibiarkan untuk kepentingan
bersama, dan akhirnya menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat.
- Legitimasi sosial:
puluhan tahun masyarakat menggunakan tanah itu tanpa penolakan pemilik
asal atau ahli waris, sehingga secara moral tanah itu sudah
bertransformasi menjadi milik publik.
- Fungsi keberlanjutan:
mencabut status fasilitas umum demi klaim perorangan akan menimbulkan
kerugian sosial yang lebih besar daripada sekadar keuntungan individual.
- Perlindungan hukum:
undang-undang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi
dalam konteks pemanfaatan tanah.
Dengan narasi ini, publik akan melihat
bahwa klaim pemerintah bukan sekadar soal “menguasai aset”, melainkan menjaga
warisan sosial yang sudah menjadi bagian dari kehidupan bersama.
5.
Strategi Konkret bagi Pemerintah
Untuk memperkuat klaim atas aset publik
yang berasal dari perorangan, pemerintah dapat menempuh langkah-langkah
strategis berikut:
- Inventarisasi Sejarah; Lakukan penelusuran arsip, peta lama, maupun cerita lisan untuk menyusun kronologi peralihan.
- Penyusunan Berkas Legalitas; Satukan bukti-bukti historis, administratif, dan faktual ke dalam satu berkas yang dapat dipakai dalam proses hukum.
- Pendaftaran Tanah; Segera lakukan pendaftaran dan sertifikasi atas nama pemerintah, menggunakan jalur pendaftaran tanah pertama kali atau penegasan hak berdasarkan penguasaan.
- Penguatan Regulasi Daerah; Pemerintah daerah dapat menerbitkan peraturan bupati/wali kota yang menetapkan tanah tertentu sebagai aset fasilitas umum berdasarkan bukti sejarah dan penggunaan nyata.
- Strategi Komunikasi Publik; Bangun narasi bahwa tanah itu adalah milik bersama yang harus dijaga untuk kepentingan banyak orang, bukan sekadar rebutan antara pemerintah dan ahli waris.
6.
Penutup
Ketiadaan dokumen otentik memang
sering menjadi hambatan serius dalam penguatan klaim pemerintah atas aset
publik yang berasal dari peralihan perorangan. Namun, hambatan ini bukan
berarti pemerintah kehilangan dasar hukum sama sekali. Dengan mengandalkan
prinsip fungsi sosial hak atas tanah, penguasaan fisik yang berlangsung lama,
legitimasi sosial, serta dukungan bukti sejarah dan administratif, klaim
pemerintah tetap dapat berdiri kuat.
Lebih dari itu, penguatan klaim semacam ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal menjaga warisan sosial: dari tanah pribadi menjadi tanah semua orang. Pada akhirnya, kepentingan publik yang lebih luas harus ditempatkan sebagai prioritas, tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap sejarah peralihan yang terjadi.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar