Saya sempat berpikir, mungkin ada yang salah dengan definisi. Healing, dalam arti menyembuhkan, mestinya membawa tubuh dan pikiran ke arah sehat. Tapi yang saya lihat justru sebaliknya: leher kaku karena menunduk berjam-jam, kantong terkuras demi tiket masuk yang lebih mahal dari nasi rames tiga kali sehari, dan ironisnya pikiran makin kusut karena harus membandingkan jumlah like di Instagram.
September 27, 2025
Healing Kok Bikin Pusing
September 26, 2025
Haruskah Polisi Tidur yang Membuat Kita Bangun?
September 24, 2025
Amplop, Pusaka Leluhur yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi
September 23, 2025
Kriminalitas yang Selalu Dimaafkan
September 22, 2025
📰 Special Series : Trilogi Sejarah yang Berulang
· Seri 1 — Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam
Seri 3 - Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton di Tanah Sendiri
Seri 2 - Janji Manis Pembangunan yang Membius
Seri 1 - Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam
September 18, 2025
Main HP Sambil Nyetir Motor: Keren atau Konyol?
September 16, 2025
Makanan Boleh Instan, Gaya Hidup Tak Perlu Instan
Pagi-pagi buta, alarm berbunyi, tubuh belum sepenuhnya bangun tapi deadline sudah mengetuk. Sarapan? Mie instan lima menit jadi penyelamat. Tambahkan telur, rasanya seperti fine dining versi anak kost. Pemandangan seperti ini begitu akrab di jutaan rumah tangga di Indonesia.
Data World Instant Noodles Association mencatat, Indonesia mengonsumsi lebih dari 14,5 miliar porsi mie instan per tahun — peringkat kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok. Itu berarti, rata-rata setiap orang Indonesia menyantap hampir 50 porsi per tahun. Mie instan bukan lagi makanan darurat; ia telah menjadi bagian dari budaya makan kita.
Bahasa Gaul Kekinian itu Bumbu atau Racun Budaya sih?
Fenomena bahasa gaul kekinian yang digunakan Gen Z —ataupun generasi sebelumnya yang numpang update, memang menarik. Mereka cepat menyerap istilah, menciptakan kata baru, lalu menyebarkannya lewat TikTok, Instagram, dan WhatsApp. Kata-kata seperti “anjay”, “cupu”, atau “santuy” bisa viral dalam semalam dan dipakai di mana-mana. Dalam istilah sosiolinguistik, ini contoh linguistic innovation, cara kelompok menciptakan identitas unik. Dari sisi psikologi sosial, ini wajar: remaja dan dewasa muda selalu mencari cara untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya. Bahasa jadi simbol keanggotaan komunitas, semacam “kode rahasia” yang membuat mereka merasa punya dunia sendiri.
Pariwisata di Persimpangan Jalan: Ekonomi atau Ekologi?
September 15, 2025
Jejak Kampung di Tengah Kota
Bertelanjang Dada dengan Bangga
September 14, 2025
Menyusuri Jejak Megalitikum di Citorek
September 03, 2025
Naik Kelas Tanpa Kelulusan #3
Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid
“Karier itu perjalanan belajar yang berakhir di pensiun, bukan di wisuda. Tidak ada toga, tapi ada bekal pengalaman yang dibawa pulang.”
Naik kelas di kantor bisa berupa promosi jabatan, bisa berupa tanggung jawab lebih besar, bisa juga pindah ke perusahaan lain dengan posisi lebih baik. Tapi berbeda dengan sekolah, naik kelas di kantor tidak selalu otomatis. Tidak ada ujian akhir semester yang jelas. Tidak ada guru yang memberi tahu: “Kamu sudah siap naik tingkat.” Semua harus diperjuangkan, kadang dengan kerja keras, kadang dengan keberanian mengambil risiko.
Cara Belajar Karyawan #2
Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid
“Karyawan yang
paling sukses bukan yang paling pintar, melainkan yang paling tahu cara belajar
di tengah tekanan.”
Kalau kita melihat murid sekolah,
seringkali masalahnya sederhana: mereka tidak tahu cara belajar. Banyak yang
sekadar membaca tanpa memahami, menghafal tanpa mencerna, atau belajar mepet
ujian. Tapi bukankah karyawan pun sering melakukan hal serupa? Bedanya,
taruhannya lebih besar: gaji, karier, bahkan masa depan keluarga.
Murid yang sudah dewasa bernama karyawan sebenarnya lebih beruntung. Mereka pernah melewati sekolah, pernah gagal, pernah jatuh bangun. Namun, banyak karyawan tetap belajar asal-asalan di kantor. Mereka lembur semalaman karena menunda pekerjaan. Mereka stres karena tidak punya strategi. Mereka kehabisan energi karena bekerja terus tanpa istirahat.
Kantor adalah Sekolah #1
Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid
Ruang belajar tanpa papan tulis, tanpa bel masuk, tapi penuh ujian mendadak.
“Dunia kerja itu
sekolah paling keras, karena kurikulumnya tidak tertulis, gurunya kadang cuek,
dan ujiannya datang tanpa pemberitahuan.”
Di sekolah dulu, jadwal belajar jelas: ada matematika jam pertama, biologi jam kedua, lalu istirahat. Di kantor, jadwal itu diganti dengan rapat pagi, deadline sore, dan laporan mendadak. Tidak ada bel yang mengingatkan jam masuk. Tidak ada lembar absensi guru. Tetapi ada jam finger print yang lebih sakral daripada daftar hadir kelas.
Sekolah, Guru, dan Orang Tua dalam Pusaran Belajar Cara Belajar
Prolog:
Belajar Tanpa Panduan Belajar
Setiap orang sepakat, sekolah adalah tempat belajar. Di sanalah
anak-anak dikenalkan dengan angka, huruf, rumus, sejarah, bahasa, sampai ilmu
pengetahuan yang lebih rumit. Namun, ada satu hal mendasar yang sering
dilupakan dalam sistem pendidikan kita: sekolah jarang mengajarkan bagaimana
cara belajar.
Akibatnya, banyak murid menjalani rutinitas belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan: mengerjakan PR, menyiapkan ulangan, lulus ujian. Setelah itu? Lupa. Pengetahuan yang seharusnya jadi bekal hidup hanya bertahan sebentar di kepala. Ironisnya, bukan hanya murid yang kebingungan. Guru pun sering kali tidak tahu bagaimana cara mengajarkan strategi belajar. Begitu pula orang tua yang mendampingi anak di rumah.
September 01, 2025
Jalan Panjang Peralihan Aset Publik Menjadi Milik Pemerintah
Jejak Ruang Publik Pasca Proklamasi
Ketika proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia tidak hanya memperoleh
kedaulatan politik, tetapi juga “warisan” berupa berbagai aset fisik: kantor
pemerintahan, alun-alun, pasar, sekolah, rumah sakit, hingga gedung pertunjukan.
Semua tempat itu adalah ruang tempat aparatur dan masyarakat beraktivitas sosial, ekonomi,
pendidikan, budaya, keagamaan, dan sebagainya.
Namun, status kepemilikan aset-aset
itu tidak sederhana. Sebagiannya jelas bekas penguasaan pemerintah kolonial Belanda
maupun Jepang. Sebagiannya lagi berasal dari tanah bengkok desa, yang dipakai
untuk menghidupi perangkat desa tetapi kemudian dialihkan untuk fasilitas umum.
Tidak sedikit pula yang awalnya milik perorangan, baik berupa tanah hibah,
tanah yang dibebaskan, atau tanah yang ditelantarkan.
Bagaimana semuanya kemudian sah beralih menjadi aset pemerintah? Di sinilah hukum positif Indonesia bekerja, memberi legitimasi bahwa aset publik adalah bagian dari kedaulatan negara dan harus dikelola pemerintah.
Bagaimana Aset Publik Eks Perorangan Menjadi Hak Pemerintah?
Peralihan Aset Perorangan Menjadi Aset Publik
Di banyak daerah, terutama yang
berakar dari sejarah panjang kolonial dan masyarakat tradisional, keberadaan
aset publik sering kali bermula dari tanah atau bangunan yang dahulu dimiliki
secara perorangan atau komunal, lalu beralih fungsi menjadi fasilitas umum.
Peralihan itu ada kalanya tercatat rapi melalui dokumen hukum, tetapi tidak
jarang pula hanya diwariskan lewat praktik sosial, kesepakatan lisan, atau
bahkan sekadar kebiasaan yang berlangsung turun-temurun. Inilah yang kerap
menimbulkan persoalan ketika pemerintah daerah atau negara hendak menguatkan
klaim atas aset tersebut: bukti otentik sering kali minim, sementara tuntutan
pembuktian hukum semakin tinggi.
Artikel ini mencoba menguraikan bagaimana pemerintah dapat menyusun dasar klaim yang kuat atas aset publik yang berasal dari peralihan perorangan, dengan pendekatan yuridis yang sederhana namun tetap kokoh, agar mudah dipahami baik oleh birokrat, praktisi hukum, maupun masyarakat umum.



.jpeg)







.jpeg)
.jpeg)



.jpeg)
