Halaman

Cari Blog Ini

September 27, 2025

Healing Kok Bikin Pusing

Konon healing itu untuk menyegarkan jiwa. Tapi di kafe berlatar sawah yang saya lihat akhir pekan ini, yang segar justru cuma filter kamera. Kopi susu dengan gambar hati dibiarkan mendingin, tawa riuh terdengar tapi lebih sering ditujukan pada hasil foto. Semua sibuk mencari sudut terbaik, tapi lupa menemukan rasa tenang. “Healing,” kata mereka, sambil bersandar di kursi kayu yang lebih sering dipakai selfie daripada dipakai menikmati pemandangan.

Saya sempat berpikir, mungkin ada yang salah dengan definisi. Healing, dalam arti menyembuhkan, mestinya membawa tubuh dan pikiran ke arah sehat. Tapi yang saya lihat justru sebaliknya: leher kaku karena menunduk berjam-jam, kantong terkuras demi tiket masuk yang lebih mahal dari nasi rames tiga kali sehari, dan ironisnya pikiran makin kusut karena harus membandingkan jumlah like di Instagram.

September 26, 2025

Haruskah Polisi Tidur yang Membuat Kita Bangun?

Gas saya tarik agak dalam, motor meraung kecil seperti ayam jago baru bangun subuh. Jalan kampung masih sepi, hanya ada emak-emak yang sibuk nyapu halaman sambil teriak ke anaknya yang belum mandi. Angin pagi enak juga, bikin badan segar.

Tiba-tiba.... duk! Motor saya menghentak ke atas, pantat hampir mental. Bukan batu, bukan lubang. Ah, ternyata saya baru “disapa” polisi tidur. Diam, kaku, tapi sukses bikin jantung saya ikut melompat.

Asal-usul istilah ini cukup menarik. Konon, sejak tahun 1970–1980-an, jalan-jalan di Indonesia mulai ramai kendaraan, dan masalah ngebut sering memicu kecelakaan. Warga atau pihak berwenang membuat gundukan di jalan untuk memaksa kendaraan melambat. Karena fungsinya mirip polisi lalu lintas yang menahan pengendara, orang-orang pun memberi julukan jenaka: “Polisi Tidur”. Nama ini melekat hingga sekarang, meski istilah resminya adalah “pembatas kecepatan” atau speed bump/hump. Belanda sana mereka menyebutnya “slapende agent”, dan di Malaysia pun ada istilah serupa, "bonggol" atau "polisi tidur" juga.

September 24, 2025

Amplop, Pusaka Leluhur yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi

Budaya memberi di negeri ini bukan barang baru. Di zaman kerajaan, rakyat biasa membawa hasil bumi untuk dipersembahkan pada raja atau adipati. Di masa kolonial, petani menyetor sebagian hasil panen kepada tuan tanah. Bahkan setelah merdeka, kita masih terbiasa memberi oleh-oleh untuk pejabat yang datang berkunjung —mulai dari ayam kampung di keranjang bambu sampai amplop yang sudah tidak bisa lagi dilipat.

Antropolog Koentjaraningrat menyebut pola ini sebagai sistem patron-klien. Ada yang melindungi (patron), ada yang dilindungi (klien). Hubungan itu dijaga dengan saling memberi: patron memberi rasa aman atau perlindungan, klien memberi upeti atau tanda hormat. Hasilnya? Semua hidup tenteram.

September 23, 2025

Kriminalitas yang Selalu Dimaafkan

Pernah terjebak obrolan santai yang tiba-tiba berubah tegang, mirip debat kusir tanpa ujung? Suasana hangat penuh tawa mendadak redup, seperti lampu padam, lalu berganti drama kecil yang bikin kikuk. Tenang, tentu tak sampai berujung tonjok-tonjokan. Sebab, pada akhirnya, tak mungkin juga bencana besar lahir hanya gara-gara tragedi kecil: curanrek —pencurian korek api.

Korek api, si mungil yang seolah remeh, ternyata punya daya magis. Dari sisi psikologi, ia bukan sekadar alat penyulut rokok, melainkan simbol kendali. Ia menjaga ritme sosial udud, mengatur kelanjutan percakapan, sekaligus menguji kesabaran individu.

Yang sering terjadi justru kocak: tangan bergerak otomatis memasukkan korek ke kantong sendiri tanpa sadar. Dalam istilah psikologi, ini mirip automatisme —gerakan spontan tanpa niat. Kalau pakai kacamata studi perilaku, bisa disebut micro-theft: pencurian mikro akibat impuls sesaat. Dan ketika sang pemilik korek sadar “hartanya” lenyap, drama pun dimulai: tangan panik meraba kantong, mata gelisah menerka tersangka utama, suasana mendadak canggung sesaat.

September 22, 2025

📰 Special Series : Trilogi Sejarah yang Berulang

Sejarah kerap berulang dengan wajah berbeda. Dulu, bangsa asing datang dengan kapal layar dan meriam, menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Kini, mereka hadir dengan proposal pinjaman, investasi, dan janji pembangunan. Sama-sama meyakinkan, sama-sama meninggalkan jejak panjang. Akibatnya, bisa kita lihat dan rasakan hari ini. 

Trilogi ini mencoba membaca pola lama dalam wajah baru. Dari satir sejarah yang nakal, analisis pembangunan ala paylater, hingga kisah rakyat kecil yang tersisih di tanahnya sendiri —semuanya menyimpan pertanyaan yang sama: apakah kita masih tuan rumah di negeri sendiri, atau hanya penonton di panggung pembangunan?

Selamat menyimak 3 seri tulisan berikut ini:
· Seri 1 — Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam

Seri 3 - Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton di Tanah Sendiri

Di banyak sudut negeri, kisah pembangunan besar selalu datang dengan gegap gempita. Spanduk warna-warni terpasang, pejabat datang berkunjung, janji kemajuan dilontarkan. Tapi setelah suara alat berat reda, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan?

Seringkali jawabannya bukanlah rakyat sekitar. Nelayan yang sejak turun-temurun melaut di perairan tertentu tiba-tiba menemukan lautnya penuh dermaga dan kapal asing. Petani yang mengolah sawah warisan keluarga harus angkat kaki karena tanahnya masuk peta kawasan industri. Warga yang tadinya hidup tenang mendadak hanya bisa menonton pagar tinggi membatasi akses ke tanah yang dulu mereka pijak bebas.

Seri 2 - Janji Manis Pembangunan yang Membius

Kita semua sudah akrab dengan istilah utang luar negeri. Dulu, istilah itu sering terdengar di ruang kelas ekonomi atau headline koran. Sekarang, wujudnya jauh lebih dekat dengan keseharian kita. Kalau di aplikasi belanja ada paylater yang bikin orang bisa konsumtif tanpa terasa, maka di tingkat negara ada skema pinjaman dan investasi asing yang menawarkan janji pembangunan instan.

Bandara baru, jalan tol membentang, pelabuhan megah, hingga kawasan industri raksasa —semua hadir dengan narasi kemajuan. Negara tetangga memuji, pejabat bangga, rakyat terpukau. Tapi jarang yang menanyakan: siapa yang sebenarnya membayar semua itu, dan apa harga yang harus ditanggung di masa depan?

Seri 1 - Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam

Kita ini bangsa yang gampang jatuh hati. Dulu orang asing datang dengan kapal layar, disambut ramah, dikasih tempat singgah. Hari ini mereka datang pakai dasi rapi, bawa proposal tebal, dan kita pun dengan senyum sumringah bilang: “Silakan masuk, anggap saja rumah sendiri.”

Bedanya, kalau dulu pendekatannya kasar, sekarang lebih halus. Kalau dulu ditaklukkan dengan meriam, kini dirayu dengan pinjaman. Sungguh, penjajahan gaya baru ini rasanya lebih romantis —karena masuknya tidak lewat dentuman mesiu, tapi lewat janji manis pembangunan.

September 18, 2025

Main HP Sambil Nyetir Motor: Keren atau Konyol?

Pernah ikut deg-degan lihat mobil hampir ketabrak motor gara-gara sibuk main HP?

Pernahkah bertanya-tanya, apa yang sebenarnya lebih penting: pesan WhatsApp yang baru masuk atau nyawa di atas motor?

Di jalan-jalan kita hari ini, pemandangan itu jadi rutin. Satu tangan di setang, satu tangan di layar. Mata bolak-balik dari jalan ke ponsel, dari ponsel ke jalan. Chat, notifikasi, atau scroll media sosial seakan tak bisa menunggu sampai motor berhenti. Fenomena ini sudah seperti kebiasaan nasional. Gak muda, gak tua. Gak laki-laki, gak perempuan. Dari jalan kota sampai jalan komplek, makin banyak pengendara motor yang lebih sibuk dengan media sosial daripada menjaga keselamatan di jalan.

September 16, 2025

Makanan Boleh Instan, Gaya Hidup Tak Perlu Instan

Pagi-pagi buta, alarm berbunyi, tubuh belum sepenuhnya bangun tapi deadline sudah mengetuk. Sarapan? Mie instan lima menit jadi penyelamat. Tambahkan telur, rasanya seperti fine dining versi anak kost. Pemandangan seperti ini begitu akrab di jutaan rumah tangga di Indonesia.

Data World Instant Noodles Association mencatat, Indonesia mengonsumsi lebih dari 14,5 miliar porsi mie instan per tahun — peringkat kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok. Itu berarti, rata-rata setiap orang Indonesia menyantap hampir 50 porsi per tahun. Mie instan bukan lagi makanan darurat; ia telah menjadi bagian dari budaya makan kita.

Bahasa Gaul Kekinian itu Bumbu atau Racun Budaya sih?

Ada sensasi yang selalu menarik setiap kali saya sengaja jalan kaki menembus kerumunan. Di satu sisi ada kelompok bapak-bapak yang duduk di warung, ngobrol soal biaya sekolah anak-anaknya, harga sembako yang makin mahal, atau kabar teman lamanya. Di sisi lain ada kumpulan anak muda yang obrolannya penuh tawa, cepat, banyak singkatan, campur bahasa Inggris, ditambah istilah baru seperti “bestie”, “auto”, atau “kepo” yang bikin saya perlu loading beberapa detik untuk memproses. Rasanya seperti melintasi dua dunia dalam jarak beberapa meter saja.

Fenomena bahasa gaul kekinian yang digunakan Gen Z —ataupun generasi sebelumnya yang numpang update, memang menarik. Mereka cepat menyerap istilah, menciptakan kata baru, lalu menyebarkannya lewat TikTok, Instagram, dan WhatsApp. Kata-kata seperti “anjay”, “cupu”, atau “santuy” bisa viral dalam semalam dan dipakai di mana-mana. Dalam istilah sosiolinguistik, ini contoh linguistic innovation, cara kelompok menciptakan identitas unik. Dari sisi psikologi sosial, ini wajar: remaja dan dewasa muda selalu mencari cara untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya. Bahasa jadi simbol keanggotaan komunitas, semacam “kode rahasia” yang membuat mereka merasa punya dunia sendiri.

Pariwisata di Persimpangan Jalan: Ekonomi atau Ekologi?

Jalan itu meliuk-liuk seperti ular, sempit, menanjak, lalu tiba-tiba curam. Aspal sebagian mulus, sebagian lagi bopeng, sisanya tanah merah licin setelah hujan. Motor matic saya meraung seperti sedang protes, berjuang melawan gravitasi. Di tanjakan paling terjal, teman saya —yang maniak boncengan— sempat turun, mendorong sekuat tenaga sambil berharap tidak ada kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan. Begitulah, perjalanan menuju destinasi wisata seakan menjadi ujian: siapa yang lebih gigih, saya atau alam?

Dan justru di situlah letak kenikmatannya. Ada kepuasan tersendiri saat akhirnya sampai di puncak bukit, memarkir motor, dan disambut pemandangan 360yang seolah menjadi hadiah. Udara sejuk, hamparan sawah, kabut yang turun perlahan, spot-spot foto yang instagramable: jembatan gantung, kursi rotan berbentuk hati, dan tentu saja gardu pandang dengan pemandangan yang memukau—semuanya terasa seperti imbalan atas perjuangan.

September 15, 2025

Jejak Kampung di Tengah Kota

Ada cara paling asyik mengenali wajah asli Kota Serang: naik motor atau sepeda, lalu biarkan roda membawamu masuk ke gang-gang sempit, kampung-kampung pelosok, dan jalan setapak yang sering luput dari pandangan orang yang cuma lewat jalan utama.

Sabtu pagi itu saya nyalakan “si kukut” —motor lejen yang sudah lama menjadi teman perjalanan, mengenakan jaket jeans yang sudah pudar warnanya, lalu melaju pelan dari kawasan Kepandean, Lontar Baru. Jalan protokol terasa sepi, saya berbelok ke jalan kolektor dan belok lagi ke jalan lokal. Masih cukup sepi, tetapi begitu masuk jalan lingkungan yang tembus ke gang kecil, saya seperti masuk ke dunia lain. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, bau tanah basah menyeruak, dan di kejauhan terlihat sawah dengan latar bukit menghijau. Ini Kota Serang? Serius?

Bertelanjang Dada dengan Bangga

Pernahkah Anda menatap foto-foto lawas dari abad ke-19, lalu merasa seperti melihat dua dunia yang sama sekali berbeda? Di satu sisi, para pejabat kolonial tampil gagah dengan jas rapi, rompi, sepatu mengilap, dan topi tinggi. Di sisi lain, orang Jawa duduk di tanah, berkain selembar, bertelanjang dada, rambut acak-acakan, dan kaki telanjang.

Sekilas, kontras itu seperti film hitam-putih tentang “peradaban versus keterbelakangan.” Tapi benarkah sesederhana itu?

Mari kita tarik napas sebentar. Ingat, ini era sebelum pabrik tekstil berproduksi masal. Di Jawa, kain adalah barang mewah. Untuk membuat satu lembar kain, kapas harus dipintal, ditenun, diwarnai —semuanya manual. Tidak heran kain dipakai sehemat mungkin. Satu kain bisa dipakai untuk upacara, kerja di sawah, bahkan tidur. Anak-anak? Ah, mereka sering dibiarkan telanjang bulat sampai cukup besar, bukan karena orang tuanya lalai, tapi karena baju terlalu berharga untuk dipakai main lumpur.

September 14, 2025

Menyusuri Jejak Megalitikum di Citorek


Bangun kesiangan setelah begadang semalam, rasanya seperti melawan takdir untuk bangun lebih pagi. Janjian jam enam, tapi mesin motor baru meraung sekitar pukul 07.40 WIB. Untunglah matahari Kota Serang pagi itu ramah — langit cerah, seolah memberi lampu hijau untuk perjalanan panjang menuju Kampung Cibedug, Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak. Di sanalah berdiri sebuah warisan kuno: Situs Punden Berundak Cibedug, saksi bisu zaman batu yang usianya diduga sudah ribuan tahun.Rombongan kecil kami terdiri dari lima orang, tapi dengan empat sepeda motor saja. Maklum satu di antara kami ada seorang maniak boncengan. Kali ini mainnya santai saja, bahkan terasa seperti hanya mau ke warung rokok di kampung sebelah. Pakaian kaos, jaket seadanya dan sandal gunung. Tapi motoran hari ini bukan main ternyata. Tangan kaku karena sudah lama tak pegang stang, awalnya niat gas tipis-tipis saja. Tapi matahari terasa cukup menyengat, memaksa tarikan gas sedikit lebih dalam dari rencana awal.

September 03, 2025

Naik Kelas Tanpa Kelulusan #3

Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid


Di kantor tidak ada wisuda. Yang ada hanyalah naik kelas.

“Karier itu perjalanan belajar yang berakhir di pensiun, bukan di wisuda. Tidak ada toga, tapi ada bekal pengalaman yang dibawa pulang.”

Sekolah selalu punya akhir: naik kelas, lalu akhirnya lulus. Tapi di kantor, tidak ada yang namanya kelulusan. Yang ada hanyalah naik kelas.Ya, naik kelas sampai pensiun. Itu pun tidak semua orang merasakannya. Ada yang stagnan bertahun-tahun, ada yang melesat jauh, ada yang bahkan harus “turun kelas” karena perusahaannya bangkrut atau posisinya dihapus.

Naik kelas di kantor bisa berupa promosi jabatan, bisa berupa tanggung jawab lebih besar, bisa juga pindah ke perusahaan lain dengan posisi lebih baik. Tapi berbeda dengan sekolah, naik kelas di kantor tidak selalu otomatis. Tidak ada ujian akhir semester yang jelas. Tidak ada guru yang memberi tahu: “Kamu sudah siap naik tingkat.” Semua harus diperjuangkan, kadang dengan kerja keras, kadang dengan keberanian mengambil risiko.

Cara Belajar Karyawan #2

Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid


Pernah sekolah, pernah kuliah, tapi tetap banyak yang belum tahu cara belajar di kantor.

“Karyawan yang paling sukses bukan yang paling pintar, melainkan yang paling tahu cara belajar di tengah tekanan.”

Kalau kita melihat murid sekolah, seringkali masalahnya sederhana: mereka tidak tahu cara belajar. Banyak yang sekadar membaca tanpa memahami, menghafal tanpa mencerna, atau belajar mepet ujian. Tapi bukankah karyawan pun sering melakukan hal serupa? Bedanya, taruhannya lebih besar: gaji, karier, bahkan masa depan keluarga.

Murid yang sudah dewasa bernama karyawan sebenarnya lebih beruntung. Mereka pernah melewati sekolah, pernah gagal, pernah jatuh bangun. Namun, banyak karyawan tetap belajar asal-asalan di kantor. Mereka lembur semalaman karena menunda pekerjaan. Mereka stres karena tidak punya strategi. Mereka kehabisan energi karena bekerja terus tanpa istirahat.

Kantor adalah Sekolah #1

Seri Belajar Seumur Hidup: Karena Karyawan juga Murid


Ruang belajar tanpa papan tulis, tanpa bel masuk, tapi penuh ujian mendadak.

“Dunia kerja itu sekolah paling keras, karena kurikulumnya tidak tertulis, gurunya kadang cuek, dan ujiannya datang tanpa pemberitahuan.”

Ketika kita lulus sekolah atau kuliah, seringkali kita merasa perjalanan belajar sudah selesai. “Akhirnya bebas!” pikir sebagian orang. Namun, begitu kaki melangkah ke dunia kerja, kenyataan menampar: sekolah justru baru saja dimulai. Bedanya, kali ini ruang kelasnya bernama kantor, dan gurunya tidak selalu memegang kapur atau spidol.

Di sekolah dulu, jadwal belajar jelas: ada matematika jam pertama, biologi jam kedua, lalu istirahat. Di kantor, jadwal itu diganti dengan rapat pagi, deadline sore, dan laporan mendadak. Tidak ada bel yang mengingatkan jam masuk. Tidak ada lembar absensi guru. Tetapi ada jam finger print yang lebih sakral daripada daftar hadir kelas.

Sekolah, Guru, dan Orang Tua dalam Pusaran Belajar Cara Belajar

Prolog: Belajar Tanpa Panduan Belajar

Setiap orang sepakat, sekolah adalah tempat belajar. Di sanalah anak-anak dikenalkan dengan angka, huruf, rumus, sejarah, bahasa, sampai ilmu pengetahuan yang lebih rumit. Namun, ada satu hal mendasar yang sering dilupakan dalam sistem pendidikan kita: sekolah jarang mengajarkan bagaimana cara belajar.

Akibatnya, banyak murid menjalani rutinitas belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan: mengerjakan PR, menyiapkan ulangan, lulus ujian. Setelah itu? Lupa. Pengetahuan yang seharusnya jadi bekal hidup hanya bertahan sebentar di kepala. Ironisnya, bukan hanya murid yang kebingungan. Guru pun sering kali tidak tahu bagaimana cara mengajarkan strategi belajar. Begitu pula orang tua yang mendampingi anak di rumah.

September 01, 2025

Jalan Panjang Peralihan Aset Publik Menjadi Milik Pemerintah

Jejak Ruang Publik Pasca Proklamasi

Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia tidak hanya memperoleh kedaulatan politik, tetapi juga “warisan” berupa berbagai aset fisik: kantor pemerintahan, alun-alun, pasar, sekolah, rumah sakit, hingga gedung pertunjukan. Semua tempat itu adalah ruang tempat aparatur dan masyarakat beraktivitas sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, keagamaan, dan sebagainya.

Namun, status kepemilikan aset-aset itu tidak sederhana. Sebagiannya jelas bekas penguasaan pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Sebagiannya lagi berasal dari tanah bengkok desa, yang dipakai untuk menghidupi perangkat desa tetapi kemudian dialihkan untuk fasilitas umum. Tidak sedikit pula yang awalnya milik perorangan, baik berupa tanah hibah, tanah yang dibebaskan, atau tanah yang ditelantarkan.

Bagaimana semuanya kemudian sah beralih menjadi aset pemerintah? Di sinilah hukum positif Indonesia bekerja, memberi legitimasi bahwa aset publik adalah bagian dari kedaulatan negara dan harus dikelola pemerintah.

Bagaimana Aset Publik Eks Perorangan Menjadi Hak Pemerintah?

Banyak aset publik yang kini dikelola pemerintah daerah pada mulanya merupakan tanah atau bangunan milik perorangan, yang secara sukarela atau karena kebutuhan masyarakat, dialihkan untuk kepentingan umum: sekolah, jalan, alun-alun, pasar, hingga kantor desa. Persoalan muncul ketika dokumen otentik seperti akta hibah, berita acara serah terima, atau sertifikat lama tidak lagi tersedia. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan pihak tertentu untuk menggugat balik aset tersebut seolah masih milik pribadi.

Peralihan Aset Perorangan Menjadi Aset Publik

Di banyak daerah, terutama yang berakar dari sejarah panjang kolonial dan masyarakat tradisional, keberadaan aset publik sering kali bermula dari tanah atau bangunan yang dahulu dimiliki secara perorangan atau komunal, lalu beralih fungsi menjadi fasilitas umum. Peralihan itu ada kalanya tercatat rapi melalui dokumen hukum, tetapi tidak jarang pula hanya diwariskan lewat praktik sosial, kesepakatan lisan, atau bahkan sekadar kebiasaan yang berlangsung turun-temurun. Inilah yang kerap menimbulkan persoalan ketika pemerintah daerah atau negara hendak menguatkan klaim atas aset tersebut: bukti otentik sering kali minim, sementara tuntutan pembuktian hukum semakin tinggi.

Artikel ini mencoba menguraikan bagaimana pemerintah dapat menyusun dasar klaim yang kuat atas aset publik yang berasal dari peralihan perorangan, dengan pendekatan yuridis yang sederhana namun tetap kokoh, agar mudah dipahami baik oleh birokrat, praktisi hukum, maupun masyarakat umum.