Halaman

Cari Blog Ini

November 08, 2025

Siapa Tahu, Sekepal Nasi Itulah yang Menyelamatkan Kita

Kita tak pernah tahu, dari sekian banyak perbuatan baik yang kita lakukan, mana yang diterima oleh Allah SWT. Bisa jadi bukan sedekah besar yang dicatat sebagai amal penentu, melainkan sekepal nasi yang kita berikan kepada seorang pemulung yang belum makan seharian.

Sering kali kita menakar amal dengan ukuran dunia: berapa banyak uang yang kita keluarkan, seberapa sering kita membantu, seberapa lama kita beribadah. Padahal, ukuran Allah tidak pernah diukur dengan angka, melainkan dengan niat yang tersembunyi di balik setiap tindakan.

November 04, 2025

Sing Becik Ketitik, Sing Ala Ketara

Zaman sekarang, orang mudah sekali tampil baik. Cukup dengan unggahan foto sedang bersedekah, atau kutipan bijak di status media sosial, citra pun terbentuk. Tak masalah apa yang sebenarnya terjadi di balik layar, yang penting tampilannya menenangkan hati orang lain —dan menyenangkan diri sendiri.😁

Padahal dalam psikologi sosial, manusia memang punya dorongan alami untuk diterima. Itulah sebabnya pencitraan menjadi perilaku yang tampak wajar. Tetapi Carl Jung pernah mengingatkan, “Seseorang tidak akan menjadi terang dengan membayangkan cahaya, melainkan dengan menyadari kegelapannya.” Artinya, kebaikan sejati tak tumbuh dari pencitraan, melainkan dari keberanian menghadapi sisi gelap diri sendiri.

November 03, 2025

Memburu Bangau, Melepas Angsa

Di zaman ketika semua orang tampak sibuk “mengejar sesuatu”, kita kadang lupa memastikan apa yang sebenarnya sedang kita kejar. Ada yang mengejar karier, tapi kehilangan keluarga. Ada yang memburu pujian, tapi kehilangan ketenangan. Ada pula yang sibuk menata citra di media sosial, padahal kehidupan nyata sudah berantakan seperti meja makan selepas pesta.

Kita ini, jangan-jangan, sedang seperti orang memburu bangau, melepas angsa. Bangau itu indah kalau terbang, tapi sulit ditangkap. Angsa memang tak segesit itu, tapi setia di kolamnya —memberi ketenangan bagi siapa pun yang tahu menghargai diam. Tapi manusia modern tak betah pada yang tenang. Kita lebih senang kejar-kejaran dengan ilusi yang tak pernah berhenti menggoda.

November 02, 2025

Bingungkan Saja Kalau Tak Bisa Meyakinkan

Ada teori menarik yang tidak pernah diajarkan di sekolah dan kampus mana pun: kalau kamu tak bisa meyakinkan orang dengan kepintaranmu, bingungkan saja dia dengan kebodohanmu. Kedengarannya ngawur, tapi kalau kamu perhatikan, teori ini sering dipraktikkan di banyak tempat — dari ruang rapat sampai ruang debat di televisi.

Orang yang paling keras suaranya kadang bukan yang paling tahu, tapi yang paling pandai memelintir logika sampai semua orang lelah mengikuti alurnya. Mereka bicara panjang lebar, muter ke mana-mana, dan pada akhirnya… tak ada yang berani membantah, bukan karena setuju, tapi karena tak paham lagi mereka sedang membahas apa.

Minggu, Gerbang Menuju Hari Baru

Minggu sering terasa seperti sore yang hangat di padang luas setelah hujan kerja keras. Udara lembut, cahaya keemasan, dan langit yang mulai memerah mengingatkan kita untuk menenangkan langkah sebelum memasuki minggu berikutnya. Tidak ada aktivitas yang tergesa, hanya waktu untuk merenung, menikmati napas, dan menata ulang hati.

Psikologi menyebut ini sebagai momen refleksi dan persiapan mental. Setelah Sabtu memberi energi baru, Minggu adalah waktu untuk menutup pekan dengan damai, menyusun prioritas, dan menerima bahwa besok hidup akan kembali sibuk.

Secara biologis, hormon kortisol mulai meningkat di sore hari, menandai kesiapan tubuh menghadapi rutinitas. Tapi saat Minggu sore, tubuh dan pikiran masih bisa menikmati jeda ringan —seperti langit yang perlahan berganti warna, menyiapkan malam dengan lembut.

November 01, 2025

Beda Tipis: Ngerjain Kerjaan dan Dikerjain Kerjaan

Di kantor atau tempat kerja, wajar kalau pembicaraan berkutat pada target, rapat, dan strategi. Tapi kalau lagi jalan-jalan masih bahas kerjaan, piknik ngobrol kerjaan, nongkrong di warung kopi pun topiknya tetap kerjaan — itu tanda bahwa batas antara hidup dan pekerjaan mulai kabur. Lama-lama, kita bukan lagi ngerjain pekerjaan, tapi justru dikerjain sama kerjaan.😅

Secara psikologis, fenomena ini disebut work-life blur — kondisi di mana batas waktu dan ruang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi hilang karena teknologi dan budaya produktivitas berlebih. Menurut penelitian dari American Psychological Association, individu yang sulit melepaskan diri dari urusan pekerjaan saat waktu pribadi lebih rentan mengalami stres kronis, insomnia, dan penurunan kepuasan hidup.

Sabtu, Oase di Padang Gersang

Hari Sabtu sering terasa seperti oase di tengah padang pasir panjang bernama rutinitas. Setelah lima hari berjalan di bawah teriknya tanggung jawab dan debu pekerjaan, tibalah satu hari yang memberi jeda — tempat kita meneguk air segar, menenangkan langkah, dan mengingat kembali arah perjalanan. Sabtu bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan napas yang menandai bahwa kita masih manusia, bukan mesin.

Dalam pandangan psikologi, manusia membutuhkan “ritme pemulihan” untuk menjaga keseimbangan mental dan emosi. Tanpa jeda, produktivitas menurun dan stres meningkat. Karena itu, hari Sabtu berperan seperti mata air: kecil, tapi menyelamatkan. Ia menampung segala lelah yang tak sempat dituang sepanjang minggu, memberi ruang bagi kepala yang penuh rencana untuk sekadar diam.

Oktober 31, 2025

Cahaya yang Menggantikan Kunang-Kunang

Saya baru menyadari, perjalanan pulang kampung kini lebih terang dari yang seharusnya. Lampu-lampu LED berderet di sepanjang jalan desa, menggantikan cahaya kunang-kunang yang dulu menuntun malam. Mobil melaju pelan di jalan beton yang dulu hanya berupa tanah merah. Malam terasa bersih, rapi, tapi dingin dan kosong. Tak ada suara jangkrik, tak ada nyanyian tonggeret. Bahkan bayangan capung di atas pematang pun sudah lama hilang.

Dulu, setiap malam di kampung adalah festival kecil. Jangkrik bernyanyi bersahut-sahutan, belalang melompat di rerumputan basah, dan kunang-kunang beterbangan di pinggir sawah seperti bintang jatuh yang tak habis-habis. Anak-anak menangkapnya dengan toples kaca, lalu melepaskannya lagi sebelum tidur. Sekarang, toples hanya berisi lampu senter dari ponsel.

Oktober 30, 2025

Ketika Logika Tak Berlaku, Diam Jadi Kemenangan

Ada orang yang kalau diajak diskusi, bukan mencari kebenaran, tapi kemenangan. Semakin kamu jelaskan, semakin dia yakin dirinya benar. Bahkan ketika bukti sudah segunung, dia tetap bertahan di atas keyakinan yang rapuh — yang lebih banyak disusun dari kebiasaan, bukan pemikiran.

Di dunia nyata, mereka bisa muncul di mana saja: di grup WhatsApp keluarga, di kolom komentar media sosial, di rapat kantor, bahkan di forum publik yang katanya “cerdas”. Ciri khasnya sederhana: mereka tak mendengarkan. Mereka hanya menunggu giliran bicara, sambil menyiapkan kalimat untuk memotong ucapanmu. Kadang nada suara ikut naik, seolah volume bisa menggantikan logika.

Oktober 29, 2025

Tahu kan Sukses Versi Laki-laki dan Perempuan?

Kata orang, laki-laki sukses itu yang bisa menghasilkan uang lebih banyak dari yang dihabiskan oleh istrinya. Sederhana terdengar, tapi kalau dipikir-pikir, itu berarti hanya segelintir laki-laki di dunia ini yang benar-benar bisa disebut sukses. Karena, mari jujur saja, kemampuan belanja seorang istri sering kali melampaui logika akuntansi, bahkan sebelum uangnya masuk kantong.

Fenomena ini bukan soal boros atau hemat, tapi soal naluri ekonomi yang terlatih. Dalam teori keuangan rumah tangga, ada istilah “penyesuaian kebutuhan terhadap pendapatan” —bedanya, kebutuhan istri sering kali lebih adaptif dibanding pendapatan suami. Maka ketika ada laki-laki yang penghasilannya tetap mampu melampaui kecepatan belanja pasangannya, ia bukan sekadar pekerja keras, tapi juga makhluk langka yang patut dilestarikan.

Oktober 28, 2025

Real Motivator Itu Bernama Debt Collector

Kedengarannya konyol, tapi kenyataannya begitu. Tak perlu ruangan ber-AC, panggung megah, atau tepuk tangan peserta seminar untuk membangkitkan semangat kerja. Cukup satu telepon dari debt collector di pagi hari —dan mendadak kamu jadi manusia paling produktif di dunia.

Di atas panggung, motivator bisa bicara panjang lebar soal passion, mimpi, dan sukses. Tapi di dunia nyata, ada sosok lain yang jauh lebih ampuh membangkitkan produktivitas: debt collector! Ia tak perlu mikrofon, tak butuh panggung, dan tak akan pernah berkata, “Temukan jati dirimu.” Cukup satu kata yang bisa memacu jantung dan adrenalin bersamaan: “Bayar!” —dan tiba-tiba semangat kerja pun muncul seketika.

Berakit-Rakit ke Hulu, Terbiasa Kemudian

Sejak kecil kita hafal pepatah itu: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Nasihat klasik yang terasa manis saat diucapkan guru SD, tapi getir ketika dijalani di usia dewasa. Karena kenyataannya, sebagian orang sudah terlalu lama main di “hulu” dan belum sempat ke “tepian”.

Kita bekerja keras dari pagi ke pagi, menabung waktu, tenaga, dan sisa makan. Katanya, semua itu demi masa depan yang lebih cerah. Tapi di tengah macet, cicilan, dan kerjaan yang nggak kelar-kelar, kita mulai bertanya: “Lalu kapan kemudian itu tiba?” Sebagian sudah lupa rasanya bersenang-senang — bukan karena tak mau, tapi karena tubuh dan kantong sudah kompak bilang, “nanti saja.”

Oktober 26, 2025

Satu Langkah Lebih Berharga Daripada Seribu Keinginan

Di warung kopi pinggir jalan, mimpi sering lahir tanpa seminar motivasi atau tepuk tangan penonton. Hanya ada meja kayu, gelas kopi hitam, dan obrolan ringan yang kadang lebih jujur daripada pidato politik di gedung dewan. Di situlah orang-orang sederhana berbagi cita-cita besar — walau besar hanya menurut versinya sendiri.

“Pengen punya usaha sendiri,” kata Darto, sopir angkot yang baru saja setor setengah hari. “Tapi kadang bingung, pengen buka warung, pengen ternak lele, pengen juga jualan online. Semua pengen dicoba, ujungnya nggak jalan-jalan.” Yang lain tersenyum, bukan karena mengejek, tapi karena mereka tahu persis rasanya.

Bantal Putih yang Jadi Kambing Hitam

Bangun tidur tadi pagi, leher terasa pegal luar biasa. Refleks, saya melirik bantal putih dengan tatapan curiga. Seolah benda tak berdosa itu adalah kambing hitam malam itu. Padahal, kalau dipikir logis, bantal itu cuma diam di tempat —yang berubah setiap malam justru posisi kepala saya sendiri. Tapi begitulah, manusia memang kerap mencari kambing hitam, meskipun yang ada adalah bantal putih.

Dalam psikologi, mekanisme ini disebut self-serving bias: kecenderungan untuk menyalahkan faktor luar ketika sesuatu berjalan buruk, dan mengklaim keberhasilan sebagai hasil usaha pribadi. Fenomena ini sering beririsan dengan perilaku playing victim, di mana kita sengaja menampilkan diri sebagai korban agar orang lain simpati. Kita pandai berkilah agar diri sendiri tampak sebagai korban situasi. Sakit punggung, nyalahin kursi. Gagal diet,  nyalahin teman. Telat bangun, nyalahin alarm. Semua salah, asal jangan diri sendiri.

Oktober 25, 2025

Diskon yang Tak Pernah Benar-Benar Diskon

Langkah kaki terhenti di depan etalase yang nyaris berteriak: DISKON 70%!. Lampu sorotnya terang, warnanya berpendar merah dan kuning mencolok, seolah ingin memastikan siapa pun yang lewat tak bisa berpaling. Di dalam, deretan manekin berdiri gagah dengan label harga yang digantung seperti medali kemenangan. Musik elektro house bergema, aroma kopi dan parfum bercampur jadi satu —suasana khas supermall yang dirancang untuk membuat pengunjung betah… dan kalap.

Saya tersenyum. Beginilah cara modern menggoda manusia. Tak ada rayuan lembut, tak perlu janji manis. Cukup selembar kertas bertuliskan Sale! berukuran setengah pintu, dan ribuan langkah kaki akan mengarah ke sana, seolah dikendalikan oleh insting yang takut kehilangan kesempatan.

Oktober 21, 2025

Mahalan Parkirnya daripada Barangnya

Pernahkah membeli barang seharga tujuh ribu tapi keluar sepuluh ribu hanya untuk parkirnya? Kadang hidup memang punya cara lucu mengajari kita tentang ketimpangan yang tak tercatat dalam buku ekonomi. Satu kawasan pertokoan bisa menjadi laboratorium sosial: di setiap lima puluh meter, ada satu orang dengan peluit dan rompi lusuh yang memungut “retribusi” dari siapa pun yang berhenti sejenak.

Motor baru berhenti, tangan belum lepas dari stang, tiba-tiba sudah ada suara: dua ribu, Bang. Lima toko didatangi demi satu barang sepele, dan setiap berhenti harus keluar dua ribu lagi. Kalau dikalkulasi, total ongkos parkirnya justru lebih mahal dari harga barang yang dibeli. Hukum pasar pun terdiam, mungkin ikut garuk-garuk kepala.

Oktober 20, 2025

Kapan Level Hidup Naik?

Beberapa waktu lalu saya lihat keponakan bermain game di ponselnya. Matanya fokus, jarinya lincah, tapi setiap kali kalah ia langsung keluar dan memulai dari awal. “Huh... capek, levelnya susah!” katanya. Saya hanya tertawa kecil mendengar kalimat yang terasa akrab di telinga orang dewasa.

Bukankah hidup kita juga sering begitu? Sekalinya ditantang pekerjaan baru, hubungan rumit, atau diberikan tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya, kita tergoda menekan tombol “exit”. Daniel Kahneman, peraih Nobel ekonomi, menyebutnya cognitive ease —kecenderungan manusia memilih yang nyaman dan mudah. Wajar sih. Siapa juga yang suka susah? Tapi kalau terus di zona nyaman, hidup tak akan pernah naik level. Aman, iya. Menenangkan? Belum tentu.

Oktober 19, 2025

Pelajaran dari Rumah yang Mendadak Rapi

Kadang kagum juga berkunjung ke rumah tetangga yang tampak serapi etalase IKEA. Bantal kursi tersusun simetris, lampu gantung berkilau, dan tak ada satu pun barang tercecer di lantai. Rumah terlihat sempurna —lapang, bersih, seolah penghuninya ditakdirkan rapi sejak lahir. Tapi sering kali, kerapian seperti itu bukan kebiasaan, melainkan pertunjukan kecil menjelang tamu datang.

Fenomena “mendadak rapi” ini ternyata nyasar juga ke ruang publik. Begitu tersiar kabar pejabat penting akan berkunjung —entah presiden, menteri, atau gubernur— jalan becek mendadak kering, cat tembok diperbarui, taman yang gersang tiba-tiba berbunga seperti disiram mukjizat. Semua tampak indah dan teratur, seperti kota yang siap difoto dari udara untuk brosur pariwisata.

Oktober 18, 2025

Kenapa Murid Nakal Sering Lebih Cerdas? (Tanya Ucup!)

“Meskipun sering tidak patuh, dia adalah murid yang sangat baik dan pintar,” kata Pak Guru menilai Ucup, suatu kali. Kalimat yang sederhana, tapi jarang terdengar di sekolah-sekolah yang lebih sering memuja kepatuhan daripada keingintahuan.

Ucup bukan anak yang sulit. Ia hanya sulit menyesuaikan diri dengan aturan yang baginya tak masuk akal. Kalau bel masuk belum bunyi tapi ia sudah di depan pintu kelas, mengapa tetap dianggap terlambat? Kalau tugas menggambar pohon, mengapa semua harus berwarna hijau? Pohon di hatinya mungkin sedang musim kemarau. Tapi sistem tak mengenal musim perasaan; ia hanya mengenal aturan penilaian.

Aroma yang Membuat Dunia Tergila-gila

“Inilah yang membuat bangsa Eropa ramai-ramai mendatangi negeri saya,” seloroh Haji Agus Salim ketika memperkenalkan aroma kepulan rokok kreteknya kepada Pangeran Philip pada saat penobatan Ratu Elizabeth II di Buckingham Palace, Inggris, tahun 1953. Bagi Salim, kretek bukan sekadar rokok, melainkan metafora kekayaan alam rempah-rempah Indonesia: wangi yang pernah menggoda dunia, tapi juga membawa petaka.

“Jangan sampai aroma itu terus-menerus dinikmati bangsa lain, yang belum tentu akan memberikan ‘kenikmatan’ kepada bangsa kita,” mungkin seperti itulah pesan yang pantas untuk meneruskan candaan Guru Bangsa itu. Sebab sejatinya, di balik kepulan asap kretek, tersimpan aroma sejarah dan jati diri yang tak lekang dimakan zaman.

Oktober 17, 2025

Ketika Komedi dan Akal Sehat Bertemu di Titik Waras

Di satu panggung, seorang komika berdiri dengan mikrofon, melontarkan lelucon politik yang membuat penonton tertawa. Tawa itu bukan sekadar lucu, tapi juga logis. Ia tak sekadar melucu; ia menertawakan hal-hal yang mestinya kita pikirkan, namun terlalu absurd untuk diterima tanpa tawa. Kata-katanya sederhana, tapi tiap tawa menyimpan tamparan lembut bagi logika yang sedang terluka.

Sementara di layar lain, seorang pengamat berbicara dengan bahasa yang tajam, penuh istilah dan contoh nyata. Ia tak membuat orang tertawa, tapi membuat banyak orang terdiam sejenak sebelum berdebat. Kalimatnya kerap memancing reaksi keras, tapi di baliknya ada niat yang sama: membangunkan akal sehat yang lama tertidur.

Oktober 16, 2025

Lega Tapi Sesak… Tapi Lega Sih!

Fenomena Kelegaan Massal di Tengah Sesaknya Harga Rokok


Pagi itu, saya mampir ke warung kopi sederhana pinggir jalan, di bawah pohon yang rindang. Kopi panas diseruput pelan-pelan sambil menatap rak deretan bungkus rokok. Aroma tembakau yang harum, bagi sebagian orang mungkin biasa saja, atau bisa juga menyesakkan. Tapi bagi para perokok terasa seperti bercengkrama dengan teman lama yang menyenangkan.

Lalu ponsel bergetar, muncul notifikasi: “Cukai Rokok 2026 Tidak Naik, Kebijakan Menkeu Purbaya Bikin Jutaan Buruh dan Petani Bernapas Lega.” Mantap! Baru sebulan menjabat Menteri Keuangan, sudah bikin penduduk negeri tersenyum. Tahun 2027 dan seterusnya? Entahlah… 😅 Yang lega sebenarnya bukan cuma jutaan buruh dan petani, tapi juga puluhan juta lagi: para “ahli hisap”.

Oktober 15, 2025

Ngaku Bela Pedagang Kecil, Tapi Kalau Nawar Setengah Mati!

Dipikir-pikir, lucu juga kelakuan kita ini. Di medsos kita sering tegas komen: “Dukung UMKM, lindungi pedagang kecil, jangan ditindas!” Tapi begitu turun langsung ke pasar atau ketemu penjual keliling di depan rumah, refleks keluar jurus maut: tawar setengah harga. Semangat membela pedagang kecil ternyata cuma retorika di dunia maya. Di dunia nyata, dompet tetap jadi panglima.

Pemandangan ini bukan hal baru. Di televisi dan media sosial, ramai-ramai orang mengutuk kebijakan yang dianggap mematikan pedagang kecil. “Kasihan pedagang kaki lima! Mereka tulang punggung ekonomi rakyat!” seru kita penuh semangat. Tapi saat bertemu pedagang kecil di pinggir jalan, sikap bisa berubah 180 derajat. Harga Rp10.000 ditawar jadi Rp5.000. Kalau bisa ditekan sampai separuh, baru hati lega. Ironinya, kalau beli secangkir kopi Rp50.000 di kafe, kita bayar tanpa banyak tanya, bahkan selfie sambil senyum bangga.

Oktober 14, 2025

Yang Berbeda Bukan Jalannya, tapi Cara Kita Menjalaninya

Kemarin sore, di tengah kemacetan yang seperti tak berujung, saya membayangkan jalanan itu seperti sebuah foto: sama di mata semua orang, tapi cara kita melihatnya bisa membuat maknanya berbeda-beda. Di sebelah kanan, ada pengendara tersenyum sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, seolah sedang memainkan drum. Sementara di sebelah kiri, ada pengendara yang menekan-nekan tombol klakson dengan wajah kesal. Jalanan sama, macetnya sama, tapi rasanya jelas berbeda. Bagaimana bisa begitu?

Psikolog Daniel Kahneman menyebutnya framing effect: cara kita membingkai pengalaman bisa mengubah seluruh rasanya. Otak kita punya kebiasaan aneh, lebih cepat menangkap ancaman ketimbang harapan. Maka, wajar kalau macet terasa seperti ujian kesabaran tingkat dewa, sementara hujan sore bisa membuat kita merasa dunia ikut muram.

Jari Hati, Tanda Cinta yang Bisa Jadi Duit

Sekarang gaya foto dengan isyarat jari hati lagi ngetren di mana-mana. Anak muda, pejabat, sampai ibu-ibu pengajian — semua merasa perlu mengangkat dua jari membentuk hati mini di depan kamera. Kadang lucu, kadang juga bikin geli, apalagi kalau dilakukan oleh bapak-bapak berperut buncit yang tampak kikuk, atau ibu-ibu polos yang matanya masih bingung antara senyum atau malu. Tapi ya begitulah, zaman ini memang suka memaksa kita memainkan permainan yang belum tentu ingin kita mainkan — demi terlihat kekinian
.

Yang menarik, buat sebagian orang Indonesia, bentuk jari itu bukan hal baru. Jauh sebelum K-pop mempopulerkannya sebagai simbol cinta, gerakan menyilangkan jari jempol dan telunjuk itu sudah lama jadi kode universal: uang. Biasanya disertai gerakan kecil — digesek-gesekkan sedikit — sebagai isyarat halus untuk minta uang atau persenan. Anak kecil pun tahu kalau kedua jari itu digosok-gosokkan, artinya bukan cinta, tapi: “duit, mana duit?”.

Oktober 13, 2025

Kenapa Kita Malah Merasa Bersalah Kalau Nggak Ngasih?

Di kampung kita, memberi itu seperti refleks. Ada tamu datang, kita suguhkan kopi. Ada tetangga hajatan, kita bantu suguhan. Ada tukang sampah lewat, kita kasih “uang rokok”. Bahkan kalau lagi senang hati, kita kasih keponakan uang jajan padahal dia nggak minta. Semua terasa alami, seperti bersin: keluar begitu saja.

Masalahnya mulai muncul ketika “refleks memberi” itu terbawa ke lingkungan formal. Orang tua murid kasih kue ke guru anaknya di akhir semester. Urus KTP, ada rasa kurang afdol kalau tidak kasih Pak RT. Urus izin usaha, kita spontan siapin amplop buat staf kelurahan. Tidak ada yang menyuruh, tapi tangan kita gatal. Kalau tidak memberi, yang ada malah rasa bersalah.

Lalu pertanyaan besar pun muncul: itu tadi sedekah, hadiah, atau sogokan?

Nama Boleh Lucu, Tapi Tanjakannya Serius: Tepung Kanjut

Sekali waktu melintasi bagian selatan Kota Banjar, Jawa Barat menuju Pangandaran, ada satu tanjakan yang tak cuma menanjak, tapi juga bikin ketawa setengah napas. Namanya: Tepung Kanjut. Iya, kamu tidak salah baca.

Begitu motor mulai menanjak dari arah rumpun bambu di bawah, jalan ini seperti menguji emosi jiwa. Aspalnya mulus, tikungannya melengkung cantik ke kiri, lalu terus meliuk ke kanan di bawah rimbun pepohonan. Angin yang tadinya sejuk pelan-pelan berubah jadi hembusan panas mesin yang kerja keras. Secara visual, ini tanjakan yang fotogenik — jalur favorit bagi pemotor yang suka sensasi menanjak sambil cornering ditemani hijaunya hutan kecil di sisi jalan. Tapi tentu saja, yang paling menempel di ingatan bukan tikungannya, melainkan namanya itu.

Tanda Kecil yang Pengertian Banget, Gitu Loh!

Di Masjid Agung Al-Imam Majalengka, ada satu papan kecil berwarna hijau dengan tulisan kuning yang sederhana: "Tempat Khusus Jamaah Sholat Jama dan Qoshor." Tulisannya ditempel di pilar marmer merah, letaknya di belakang agak jauh dari mimbar. Sekilas terlihat sepele, tapi papan itu menyimpan makna besar.

Bagi jamaah yang sedang dalam perjalanan jauh —seperti saya yang baru menempuh 350 km dari rencana 500 km— tulisan itu seperti sambutan hangat. Kita jadi tahu ada tempat khusus untuk melaksanakan shalat dengan cara yang disyariatkan bagi musafir. Namun bagi yang tidak terbiasa, papan itu juga menjadi pengingat bahwa tidak semua orang di dalam masjid sedang shalat dengan pola yang sama.

Oktober 12, 2025

Begitu Tahu Caranya, Kesulitan Terasa Jadi Lebih Mudah

Setiap keberhasilan selalu meninggalkan jejak — bukan hanya hasil akhirnya, tapi juga proses panjang di baliknya. Kita sering melihat orang lain tampak mudah mencapai sesuatu, lalu bertanya-tanya: kenapa aku tidak bisa seperti itu? Padahal mungkin bukan karena mereka lebih hebat, tetapi karena mereka sudah lebih dulu menemukan caranya.

Begitu juga dalam hidup, cara sering kali menentukan hasil. Ada orang yang memutar tuas dengan enteng karena tahu arah putarannya, sementara kita masih berjuang menebak ke kiri atau ke kanan. Dari luar tampak mudah, tapi sebenarnya mereka hanya sudah belajar lebih lama menghadapi yang sama.

Looping, Rekreasi Harian yang Bikin Hidup Nggak Monoton

Subuh belum benar-benar jadi pagi ketika motor mulai melaju. Jalan masih sepi, udara dingin menampar wajah, dan hanya sesekali ada angkot kosong melintas dengan lampu sorot yang seolah ngajak duel. Jalur yang diambil —seperti biasa— yang paling cepat dan aman: lurus, efisien, tanpa kejutan. Tapi nanti sore, pulangnya, itu cerita lain. Karena seperti hari-hari sebelumnya, rencananya mau looping —semacam rekreasi kecil buat orang yang tabungannya belum cukup untuk piknik beneran.

Istilah looping di sini bukan istilah teknis yang rumit atau teori besar ciptaan pakar transportasi. Ia lahir dari kebiasaan sederhana: biar hidup nggak terasa bosan. Pergi lewat rute A, pulang lewat rute B. Sekilas remeh, tapi buat sebagian orang, hal kecil seperti ini bisa jadi bentuk rekreasi harian —cara murah meriah untuk merasa masih punya kuasa atas hidup yang kadang terasa dikendalikan jam kerja, kuota internet, dan cicilan.

Oktober 09, 2025

Sabun Aja Rela Berkorban, Kamu Gimana?

Pernah nggak kamu merenung di kamar mandi sambil megang sabun, terus mikir: “Ternyata hidup ini mirip sabun juga, ya?” Kalau belum, berarti kamu terlalu cepat mandinya.

Sabun itu makhluk paling ikhlas di dunia. Tugasnya mulia: membersihkan kotoran. Tapi tiap kali berhasil, dia malah makin tipis. Jadi kalau kamu merasa hidupmu makin terkikis padahal selalu berbuat baik —tenang, kamu cuma sedang jadi sabun yang baik.

Ada juga sabun-sabun berkelas: bentuknya elegan, wanginya mewah, kemasannya eksklusif. Tapi begitu digosok, busanya banyak, hasilnya biasa aja. Mirip orang yang jago pencitraan —tampak hebat di luar, tapi di dalam ya begitu aja. Sementara sabun murahan di warung, bentuknya jelek, kadang penyok, tapi tetap bekerja dengan tulus tanpa perlu slogan “lembut di kulitmu.”

Inilah Sejarah yang Jadi Pengecualian di antara Sejarah Dunia yang Penuh Konon

“Konon.” Kata sederhana ini sering kali menjadi pintu masuk ke banyak cerita sejarah. Kita mendengar bahwa bangsa A dahulu membangun kota megah di tepi sungai, konon raja mereka punya ribuan pasukan, konon ada tradisi yang diwariskan turun-temurun. Tapi kata “konon” juga menjadi tanda tanya: seberapa jauh cerita itu benar, seberapa banyak mitos yang menyelinap, dan seberapa besar bagian yang hilang tanpa bisa diverifikasi?

Sejarah dunia, sejak manusia mengenal tulisan, penuh dengan “konon” semacam itu. Mesir kuno, Mesopotamia, Yunani, hingga peradaban Amerika pra-Kolumbus —semuanya meninggalkan jejak, tapi jejak yang kadang patah-patah, bolong, atau bertumpu pada satu-dua sumber yang masih diperdebatkan. Tidak jarang, pengetahuan kita tentang masa lalu lebih mirip puzzle yang keping-kepingnya tercecer dan sebagian sudah hancur.

Oktober 08, 2025

Kerja Keras Tak Selalu Menang dari Kerja Cerdas… Apalagi dari Kerja Dekat

Konon, di dunia kerja, meritokrasi adalah mimpi yang indah —sebuah dongeng yang diceritakan HRD setiap orientasi karyawan baru. Katanya, siapa pun yang bekerja keras dan berprestasi akan naik kelas. Tapi kenyataannya, banyak yang justru naik karena siapa yang kenal siapa, bukan siapa yang bisa apa.

Lalu jadilah dunia kerja seperti panggung sinetron: ada yang sungguh-sungguh berperan, ada yang hanya numpang eksis di layar, dan ada juga yang tak punya peran jelas, tapi selalu ingin muncul di setiap episode.

Fenomena ini bukan cuma soal individu, tapi soal kultur. Dalam banyak kantor, loyalitas sering lebih dihargai daripada kompetensi. Orang yang “patuh” lebih cepat naik jabatan daripada yang “pintar tapi terlalu kritis.” Akibatnya, organisasi dipenuhi para yes man yang lihai berkata “baik, Pak” meski dalam hati bergumam “nggak masuk akal, Pak.”

Oktober 06, 2025

Induk yang Terusir

Antara Polemik Aset dan Pertarungan Hukum yang Tak Kunjung Usai

 

Lahirkan kota lewat operasi sesar, kini induknya diusir dari rumah sendiri. Begitulah nasib Kabupaten Serang setelah enam kecamatannya dipaksa berpisah untuk membentuk Kota Serang pada 2007.

Delapan belas tahun berlalu, polemik aset tak kunjung usai: Pendopo bersejarah dipersoalkan, kantor pemerintahan diperebutkan, hingga delapan pulau di Teluk Banten ikut digugat. Konflik anak dan induk ini kian panas, meninggalkan pertanyaan besar: sampai kapan para pejabat temporer membiarkan drama ini tetap abadi?

Dari Provinsi Baru ke Kota Baru: Sejarah Pemisahan yang "Disesar"
Provinsi Banten resmi terbentuk pada tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.Penetapan Serang sebagai ibukota provinsi membawa konsekuensi logis: wilayah induk, Kabupaten Serang, harus “merelakan” sebagian tubuhnya dijadikan ibukota provinsi. Tujuh tahun kemudian, keluarlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 yang melahirkan Kota Serang dengan memisahkan enam kecamatan.

Semua Bisa Gaspol, Tapi Tangguh di Jalur Hancur?

Minggu pagi rombongan motor bergerombol di pelataran pos ronda berpaving blok di komplek sebuah perumahan. Udara masih dingin tapi tegur sapanya hangat, dan candaan sudah mulai memanas. Ada anak muda usia 20-an penuh percaya diri, ada yang 30-an dengan semangat membara, bahkan ada yang sudah kepala lima tapi tak mau kalah gaya.

Kemarin itu awalnya niat Sunmori (Sunday Morning Ride) cuma “jalan santai”. Tapi begitu gas dipelintir dan ban ketemu aspal, suasana langsung berubah. Knalpot bobokan meraung, badan condong ke depan, dan tanpa aba-aba, para biker muda mendadak jadi pembalap jalanan.

“Ayo Bro! Di belakang mulu… Lélét!” teriak seseorang sambil melirik spion.

Oktober 05, 2025

Senin, Gaspol!

Ada satu fenomena universal yang sulit dibantah: wajah-wajah bete setiap Senin pagi. Jalanan macet, halte mengular, media sosial penuh keluhan “Monday Blues”. Sejak lama, Senin memang dicap sebagai hari paling berat. Bukan hanya karena akhir pekan terlalu singkat, tapi karena rutinitas menunggu tanpa kompromi.

Senin punya reputasi buruk, bukan karena hari itu jahat, tapi karena ia menandai akhir dari kebebasan dua hari yang terlalu cepat berlalu. Orang belum selesai berdamai dengan Minggu malam, tapi sudah harus berhadapan dengan to-do list dan target mingguan. Tak heran kalau banyak yang menjuluki hari ini sebagai simbol perjuangan modern —antara kemalasan dan kewajiban.

Oktober 04, 2025

Ngundeur Cai: Tradisi Sakral yang Membisikkan Pesan Sungai Cibanten

Gambar ilustrasi
Kabut pagi tipis menyelimuti ketika warga Ciomas berjalan perlahan menuju mata air. Udara dingin menusuk kulit, aroma tanah basah bercampur harum bambu dan rumput pagi. Suara burung berkicau dan gemericik air sungai menciptakan irama alam yang menenangkan. Mereka membawa kendi tanah liat dan sesaji sederhana. Inilah Ngundeur Cai, tradisi sakral masyarakat hulu Sungai Cibanten yang lebih dari sekadar mengambil air —ia adalah doa, pengingat, dan janji.

Sejak zaman nenek moyang, masyarakat Kabupaten Serang, Banten memahami bahwa sungai adalah urat nadi peradaban. Air yang mengalir bukan sekadar kebutuhan, tapi guru yang menuntun manusia hidup selaras dengan alam. Ritual Ngundeur Cai menyatukan warga lintas usia dan iman dalam kesadaran ekologis. Setiap kendi yang dibawa, setiap tetes air yang dilarung, membawa pesan sederhana: jaga sungai, jaga hidup.

Dari Warkop ke Coffee Shop, Dari Cita Rasa ke Citra Diri

Lucu juga, dulu kopi dianggap teman begadang para pekerja malam, kini justru jadi alasan orang nongkrong di siang bolong. Bedanya cuma di wadah: yang dulu gelas kaca tebal, sekarang gelas plastik tipis. Tapi entah kenapa, makin tipis gelasnya, makin tebal pula harganya. Dari warkop pinggir jalan yang berantakan sampai coffee shop bergaya minimalis, kopi seolah naik kasta —dari kebutuhan jadi gaya hidup, dari pengusir kantuk jadi pemancing konten.

Namun di balik tren ngopi yang merajalela, ada kontradiksi yang menarik. Dahulu, ngopi identik dengan bapak-bapak ronda yang ngobrol soal harga pupuk atau cuaca. Sekarang, kopi naik kasta: dari obrolan rakyat jadi bahan diskusi tentang single origin dan aftertaste. Ironisnya, makin tinggi kelas kopinya, makin sunyi percakapannya —karena semua sibuk membalas notifikasi yang datang lebih cepat dari pada obrolan.

Oktober 02, 2025

Dunia Terlalu Cepat, atau Kita Terlalu Lambat?

Perasaan baru kemarin Jumat, sekarang sudah Jumat lagi. Seolah-olah satu pekan hanya sekilas bayangan di kaca spion. Pertanyaannya, apakah dunia yang berputar terlalu cepat, atau kita yang berjalan terlalu lambat?

Sejak dulu waktu memang licin. Dipegang erat, tetap lolos dari genggaman. Satu hari terasa panjang jika kita sedang menunggu kabar penting, tapi bisa terasa singkat ketika kita sedang larut dalam kesibukan. Ahli psikologi menyebutnya time perception —cara otak kita mengukur panjang-pendeknya waktu bukan berdasarkan jam di dinding, melainkan intensitas pengalaman. Itulah sebabnya satu jam menunggu antrean bisa terasa seperti seharian penuh, sedangkan satu jam menonton serial favorit tiba-tiba sudah habis.

Oktober 01, 2025

Bau Tanah Setelah Hujan, Charger Alami untuk Meredakan Stress

Sore itu saya memutuskan ke luar rumah dengan motor. Jalanan masih basah, genangan tipis menempel di aspal, dan udara menyimpan sisa hujan deras yang baru saja reda. Di antara deru mesin dan lalu-lalang orang pulang kerja, ada sesuatu yang lebih kuat terasa: bau tanah yang khas, menyelinap masuk lewat helm dan jaket yang sedikit terbuka. Aroma itu seketika menggeser suasana sore, membuat hati lebih tenang meski jalanan ramai.

Fenomena sederhana ini ternyata punya nama keren: petrichor. Istilah yang lahir dari bahasa Yunani: petra (batu) dan ichor (darah para dewa). Terdengar berlebihan, tapi memang begitulah cara manusia berabad-abad lalu menamai aroma yang mengesankan itu. Secara sains, bau ini muncul dari geosmin, senyawa yang diproduksi bakteri tanah bernama actinomycetes. Selama hari-hari panas, ia tersembunyi di permukaan tanah. Begitu hujan turun, air yang menghantam tanah memercikkan aerosol —partikel kecil yang membawa geosmin dan minyak alami dari tanaman— lalu naik ke udara, mengisi atmosfer dengan aroma segar yang khas.

Skill vs Will: Empat Wajah di Dunia Kerja

Tadi pagi itu saya berkunjung ke sebuah kantor perusahaan di pinggiran kota. Ruangan terbuka, deretan meja kerja berjajar, komputer menyala, suara ketikan bersahutan. Dari sudut pandang tamu, saya bisa menyaksikan empat wajah berbeda yang seolah mewakili seluruh dunia kerja.

Ada pegawai muda yang cekatan menjawab telepon sementara tangan lainnya bergerak lincah di keyboard laptop, dan sesekali melempar senyum pada setiap yang lewat. Malah mungkin kalau bisa, dia akan juggling bola di udara untuk membuktikan bahwa multitasking bukan mitos. Di sebelahnya, staf senior duduk dengan wajah datar. Ilmunya segudang, pengalamannya seabrek, tapi sorot matanya mengatakan: “Ah... kemarin begitu, sekarang begini, besok juga masih ada hari.” Tak jauh, tampak pegawai baru yang sering salah klik, salah ketik, salah cetak laporan. Tapi ia rajin bertanya, semangatnya mengalahkan powerbank 20 ribu mAh. Dan di pojok ruangan, ada yang sibuk menatap layar ponsel lebih lama daripada nunggu antrean sembako gratis, wajahnya masam seolah menunggu jam pulang.

September 27, 2025

Healing Kok Bikin Pusing

Konon healing itu untuk menyegarkan jiwa. Tapi di kafe berlatar sawah yang saya lihat akhir pekan ini, yang segar justru cuma filter kamera. Kopi susu dengan gambar hati dibiarkan mendingin, tawa riuh terdengar tapi lebih sering ditujukan pada hasil foto. Semua sibuk mencari sudut terbaik, tapi lupa menemukan rasa tenang. “Healing,” kata mereka, sambil bersandar di kursi kayu yang lebih sering dipakai selfie daripada dipakai menikmati pemandangan.

Saya sempat berpikir, mungkin ada yang salah dengan definisi. Healing, dalam arti menyembuhkan, mestinya membawa tubuh dan pikiran ke arah sehat. Tapi yang saya lihat justru sebaliknya: leher kaku karena menunduk berjam-jam, kantong terkuras demi tiket masuk yang lebih mahal dari nasi rames tiga kali sehari, dan ironisnya pikiran makin kusut karena harus membandingkan jumlah like di Instagram.

September 26, 2025

Haruskah Polisi Tidur yang Membuat Kita Bangun?

Gas saya tarik agak dalam, motor meraung kecil seperti ayam jago baru bangun subuh. Jalan kampung masih sepi, hanya ada emak-emak yang sibuk nyapu halaman sambil teriak ke anaknya yang belum mandi. Angin pagi enak juga, bikin badan segar.

Tiba-tiba.... duk! Motor saya menghentak ke atas, pantat hampir mental. Bukan batu, bukan lubang. Ah, ternyata saya baru “disapa” polisi tidur. Diam, kaku, tapi sukses bikin jantung saya ikut melompat.

Asal-usul istilah ini cukup menarik. Konon, sejak tahun 1970–1980-an, jalan-jalan di Indonesia mulai ramai kendaraan, dan masalah ngebut sering memicu kecelakaan. Warga atau pihak berwenang membuat gundukan di jalan untuk memaksa kendaraan melambat. Karena fungsinya mirip polisi lalu lintas yang menahan pengendara, orang-orang pun memberi julukan jenaka: “Polisi Tidur”. Nama ini melekat hingga sekarang, meski istilah resminya adalah “pembatas kecepatan” atau speed bump/hump. Belanda sana mereka menyebutnya “slapende agent”, dan di Malaysia pun ada istilah serupa, "bonggol" atau "polisi tidur" juga.

September 24, 2025

Amplop, Pusaka Leluhur yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi

Budaya memberi di negeri ini bukan barang baru. Di zaman kerajaan, rakyat biasa membawa hasil bumi untuk dipersembahkan pada raja atau adipati. Di masa kolonial, petani menyetor sebagian hasil panen kepada tuan tanah. Bahkan setelah merdeka, kita masih terbiasa memberi oleh-oleh untuk pejabat yang datang berkunjung —mulai dari ayam kampung di keranjang bambu sampai amplop yang sudah tidak bisa lagi dilipat.

Antropolog Koentjaraningrat menyebut pola ini sebagai sistem patron-klien. Ada yang melindungi (patron), ada yang dilindungi (klien). Hubungan itu dijaga dengan saling memberi: patron memberi rasa aman atau perlindungan, klien memberi upeti atau tanda hormat. Hasilnya? Semua hidup tenteram.

September 23, 2025

Kriminalitas yang Selalu Dimaafkan

Pernah terjebak obrolan santai yang tiba-tiba berubah tegang, mirip debat kusir tanpa ujung? Suasana hangat penuh tawa mendadak redup, seperti lampu padam, lalu berganti drama kecil yang bikin kikuk. Tenang, tentu tak sampai berujung tonjok-tonjokan. Sebab, pada akhirnya, tak mungkin juga bencana besar lahir hanya gara-gara tragedi kecil: curanrek —pencurian korek api.

Korek api, si mungil yang seolah remeh, ternyata punya daya magis. Dari sisi psikologi, ia bukan sekadar alat penyulut rokok, melainkan simbol kendali. Ia menjaga ritme sosial udud, mengatur kelanjutan percakapan, sekaligus menguji kesabaran individu.

Yang sering terjadi justru kocak: tangan bergerak otomatis memasukkan korek ke kantong sendiri tanpa sadar. Dalam istilah psikologi, ini mirip automatisme —gerakan spontan tanpa niat. Kalau pakai kacamata studi perilaku, bisa disebut micro-theft: pencurian mikro akibat impuls sesaat. Dan ketika sang pemilik korek sadar “hartanya” lenyap, drama pun dimulai: tangan panik meraba kantong, mata gelisah menerka tersangka utama, suasana mendadak canggung sesaat.

September 22, 2025

📰 Special Series : Trilogi Sejarah yang Berulang

Sejarah kerap berulang dengan wajah berbeda. Dulu, bangsa asing datang dengan kapal layar dan meriam, menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Kini, mereka hadir dengan proposal pinjaman, investasi, dan janji pembangunan. Sama-sama meyakinkan, sama-sama meninggalkan jejak panjang. Akibatnya, bisa kita lihat dan rasakan hari ini. 

Trilogi ini mencoba membaca pola lama dalam wajah baru. Dari satir sejarah yang nakal, analisis pembangunan ala paylater, hingga kisah rakyat kecil yang tersisih di tanahnya sendiri —semuanya menyimpan pertanyaan yang sama: apakah kita masih tuan rumah di negeri sendiri, atau hanya penonton di panggung pembangunan?

Selamat menyimak 3 seri tulisan berikut ini:
· Seri 1 — Pinjaman Lebih Romantis daripada Meriam

Seri 3 - Ketika Rakyat Hanya Jadi Penonton di Tanah Sendiri

Di banyak sudut negeri, kisah pembangunan besar selalu datang dengan gegap gempita. Spanduk warna-warni terpasang, pejabat datang berkunjung, janji kemajuan dilontarkan. Tapi setelah suara alat berat reda, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan?

Seringkali jawabannya bukanlah rakyat sekitar. Nelayan yang sejak turun-temurun melaut di perairan tertentu tiba-tiba menemukan lautnya penuh dermaga dan kapal asing. Petani yang mengolah sawah warisan keluarga harus angkat kaki karena tanahnya masuk peta kawasan industri. Warga yang tadinya hidup tenang mendadak hanya bisa menonton pagar tinggi membatasi akses ke tanah yang dulu mereka pijak bebas.